Mohon tunggu...
Amir Idris
Amir Idris Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia biasa

Hidupilah hobimu sebelum hobi menghidupimu | Bukan expertise. GPP (Ganti Pola Pikir) adalah sebuah mini seri “ringan” yang ditulis untuk mengupas sedikit banyak cara pandang orang awam atas isu di masyarakat (akupun termasuk dalam kategori masyarakat awam).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anti Kritik: Budaya yang Tidak Sengaja Diciptakan dan Dilestarikan di Indonesia. GPP6

12 Oktober 2024   16:00 Diperbarui: 14 Oktober 2024   14:19 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kritik merupakan salah satu kemampuan termahal yang bisa dimiliki oleh warga negara Indonesia. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan, sama seperti kenapa harimau sumatera, burung cenderawasih, dan satwa lainnya yang semakin hari semakin terpojokkan di tepi jurang kepunahan; ada yang menganggapnya sebagai suatu ancaman, ada juga yang memandangnya sebagai sebuah hal yang memiliki nilai tinggi untuk 'dipajang di ruang tamu'.

Lantas, apa-apa sahaja yang menyebabkan budaya kritik dan mengkritisi isu tertentu menjadi sebuah kebudayaan yang tidak sengaja tercipta dan dilestarikan?

  • Kumpulan Masalah

Eksistensi dari UU ITE, UU Pencemaran Nama Baik, dan segala tindak represif potensial lainnya merupakan penghambat yang logis bagi seseorang untuk dapat mengasah kemampuannya dalam mengkritisi isu-isu yang ada. Tak lupa juga, masyarakat Indonesia memiliki 'hobi' dalam memandang suatu perkara secara subjektif tanpa mau membuka diri terhadap sebuah pandangan baru, sehingga kritik dan mengkritisi sebuah isu tertentu menjadi sebuah hal yang eksklusif dan tabu.

Terlebih lagi, kondisi ini diperparah dengan ketidaksesuaian teori dan output dari kurikulum yang ada dan digunakan di Indonesia. Pembiasaan dalam penggunaan soal bertipe HOTS yang seharusnya lebih sering digunakan sejak Kurikulum 2013, pada realisasinya hanya digunakan saat Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester sahaja.

Selain itu, kemajuan di bidang iptek, khususnya Artificial Intelligence (AI) yang masif dan hampir tidak terkontrol, juga menyumbang banyak dosa karena membuat masyarakat di Indonesia, khususnya para siswa, menjadi semakin malas untuk mengingat dan berpikir dengan menggunakan otaknya. Parahnya, aku pribadi pernah beberapa kali menjumpai mahasiswa, bukan siswa sekolah dasar atau menengah, yang menggunakan AI untuk menulis paper dan karya ilmiah lainnya tanpa melalui proses penggubahan dan revisi sama sekali. Bahkan sumber referensi dari tulisan-tulisan tersebut tidak dapat ditemukan di internet alias fiktif.

  • Literature Review

Aku menemukan sebuah jurnal menarik, karya dari Agus Nuryanto, yang berjudul Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi. Jurnal ini di-publish di The Journal of Society and Media pada tahun 2017 yang lalu. Sudah 7 tahun, memang, tapi aku rasa tulisan ini malah menjadi semakin relevan untuk di-cocoklogi-kan dengan keadaan yang terjadi di Indonesia dewasa ini.

Pada intinya, beliau menggambarkan tentang bagaimana ideologi pendidikan yang seharusnya berlandaskan keilmuan yang lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik, perlahan malah berubah haluan menjadi ideologi pasar yang pragmatis-materialistik.

"Tidak  mengherankan  jika  saat  ini  banyak  sivitas  akademika lebih suka  membuat karya  ilmiah  tidak berbasis  pada buku,  tapi  berbasis  internet  yang  lebih mudah, instan, dan tidak  perlu bersusah payah.  Banyak mahasiswa  lebih suka  membaca buku-buku  "how  to"  yang  ringan  dan  mudah  dibaca  tapi  tidak  mempertajam  akal-budi  daripada buku-buku  filsafat  yang  kaya  pengetahuan,  inspiratif,  dan  mempertajam  akal-budi  dan  nurani. Mahasiswa  lebih  banyak  memilih  Prodi-Prodi  yang  menjanjikan  peluang  kerja  di  masa  depan daripada  Prodi-Prodi  yang  berbau  pemikiran.  Walhasil,  saat  ini  pendidikan  tinggi  telah direduksi  maknanya  sebatas  investasi  ekonomi  untuk  mendapat  lapangan  pekerjaan,  tidak  lagi dimaknai secara lebih substantif, yaitu menyiapkan  manusia  untuk hidup  di  dan bersama  dunia."

Dari tulisan Om Agus ini, aku menyimpulkan bahwa masih banyak pihak, dan mungkin akan terus bertambah kuantitasnya, yang memiliki cara pandang yang salah dan keliru ketika memandang, mendiskusikan, dan membangun pendidikan di Indonesia. Banyak dari pejabat dan pembuat keputusan di wilayah pendidikan yang tak lagi peduli dengan ilmu dan asas keilmuan. Mereka hanya berfokus pada materi yang bisa dihasilkan jika memiliki ilmu semata.

  • Kesimpulan

Pemerintah bersama masyarakat sama-sama berdosa dalam menciptakan generasi penerus yang tumpul; tidak mampu melayangkan kritik dan terbatasi banyak hal yang bersifat mengancam jikalau mampu. Hal ini tentu mencederai salah satu semangat UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan hal ini, seolah-olah, ada pihak yang tidak ingin masyarakat di Indonesia berpikiran kritis yang gemar mengkritisi berbagai isu yang ada.

Dengan keadaan yang memprihatinkan seperti ini, lantas, bagaimana caranya agar kita dapat menciptakan Indonesia emas di tahun 2045 yang berpikiran kritis dan gemar mengkritisi berbagai hal?

Referensi:

Nuryanto, A. (2017). KRITIK BUDAYA AKADEMIK DI PENDIDIKAN TINGGI. The Journal of Society and Media, 1(1), 35--42. https://doi.org/10.26740/jsm.v1n1.p35-42

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun