Kritik merupakan salah satu kemampuan termahal yang bisa dimiliki oleh warga negara Indonesia. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan, sama seperti kenapa harimau sumatera, burung cenderawasih, dan satwa lainnya yang semakin hari semakin terpojokkan di tepi jurang kepunahan; ada yang menganggapnya sebagai suatu ancaman, ada juga yang memandangnya sebagai sebuah hal yang memiliki nilai tinggi untuk 'dipajang di ruang tamu'.
Lantas, apa-apa sahaja yang menyebabkan budaya kritik dan mengkritisi isu tertentu menjadi sebuah kebudayaan yang tidak sengaja tercipta dan dilestarikan?
- Kumpulan Masalah
Eksistensi dari UU ITE, UU Pencemaran Nama Baik, dan segala tindak represif potensial lainnya merupakan penghambat yang logis bagi seseorang untuk dapat mengasah kemampuannya dalam mengkritisi isu-isu yang ada. Tak lupa juga, masyarakat Indonesia memiliki 'hobi' dalam memandang suatu perkara secara subjektif tanpa mau membuka diri terhadap sebuah pandangan baru, sehingga kritik dan mengkritisi sebuah isu tertentu menjadi sebuah hal yang eksklusif dan tabu.
Terlebih lagi, kondisi ini diperparah dengan ketidaksesuaian teori dan output dari kurikulum yang ada dan digunakan di Indonesia. Pembiasaan dalam penggunaan soal bertipe HOTS yang seharusnya lebih sering digunakan sejak Kurikulum 2013, pada realisasinya hanya digunakan saat Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester sahaja.
Selain itu, kemajuan di bidang iptek, khususnya Artificial Intelligence (AI) yang masif dan hampir tidak terkontrol, juga menyumbang banyak dosa karena membuat masyarakat di Indonesia, khususnya para siswa, menjadi semakin malas untuk mengingat dan berpikir dengan menggunakan otaknya. Parahnya, aku pribadi pernah beberapa kali menjumpai mahasiswa, bukan siswa sekolah dasar atau menengah, yang menggunakan AI untuk menulis paper dan karya ilmiah lainnya tanpa melalui proses penggubahan dan revisi sama sekali. Bahkan sumber referensi dari tulisan-tulisan tersebut tidak dapat ditemukan di internet alias fiktif.
- Literature Review
Aku menemukan sebuah jurnal menarik, karya dari Agus Nuryanto, yang berjudul Kritik Budaya Akademik di Pendidikan Tinggi. Jurnal ini di-publish di The Journal of Society and Media pada tahun 2017 yang lalu. Sudah 7 tahun, memang, tapi aku rasa tulisan ini malah menjadi semakin relevan untuk di-cocoklogi-kan dengan keadaan yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Pada intinya, beliau menggambarkan tentang bagaimana ideologi pendidikan yang seharusnya berlandaskan keilmuan yang lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik, perlahan malah berubah haluan menjadi ideologi pasar yang pragmatis-materialistik.
"Tidak mengherankan jika saat ini banyak sivitas akademika lebih suka membuat karya ilmiah tidak berbasis pada buku, tapi berbasis internet yang lebih mudah, instan, dan tidak perlu bersusah payah. Banyak mahasiswa lebih suka membaca buku-buku "how to" yang ringan dan mudah dibaca tapi tidak mempertajam akal-budi daripada buku-buku filsafat yang kaya pengetahuan, inspiratif, dan mempertajam akal-budi dan nurani. Mahasiswa lebih banyak memilih Prodi-Prodi yang menjanjikan peluang kerja di masa depan daripada Prodi-Prodi yang berbau pemikiran. Walhasil, saat ini pendidikan tinggi telah direduksi maknanya sebatas investasi ekonomi untuk mendapat lapangan pekerjaan, tidak lagi dimaknai secara lebih substantif, yaitu menyiapkan manusia untuk hidup di dan bersama dunia."
Dari tulisan Om Agus ini, aku menyimpulkan bahwa masih banyak pihak, dan mungkin akan terus bertambah kuantitasnya, yang memiliki cara pandang yang salah dan keliru ketika memandang, mendiskusikan, dan membangun pendidikan di Indonesia. Banyak dari pejabat dan pembuat keputusan di wilayah pendidikan yang tak lagi peduli dengan ilmu dan asas keilmuan. Mereka hanya berfokus pada materi yang bisa dihasilkan jika memiliki ilmu semata.
- Kesimpulan
Pemerintah bersama masyarakat sama-sama berdosa dalam menciptakan generasi penerus yang tumpul; tidak mampu melayangkan kritik dan terbatasi banyak hal yang bersifat mengancam jikalau mampu. Hal ini tentu mencederai salah satu semangat UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan hal ini, seolah-olah, ada pihak yang tidak ingin masyarakat di Indonesia berpikiran kritis yang gemar mengkritisi berbagai isu yang ada.
Dengan keadaan yang memprihatinkan seperti ini, lantas, bagaimana caranya agar kita dapat menciptakan Indonesia emas di tahun 2045 yang berpikiran kritis dan gemar mengkritisi berbagai hal?
Referensi:
Nuryanto, A. (2017). KRITIK BUDAYA AKADEMIK DI PENDIDIKAN TINGGI. The Journal of Society and Media, 1(1), 35--42. https://doi.org/10.26740/jsm.v1n1.p35-42
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H