Mohon tunggu...
Amir Idris
Amir Idris Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia biasa

Hidupilah hobimu sebelum hobi menghidupimu | Bukan expertise. GPP (Ganti Pola Pikir) adalah sebuah mini seri “ringan” yang ditulis untuk mengupas sedikit banyak cara pandang orang awam atas isu di masyarakat (akupun termasuk dalam kategori masyarakat awam).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Feminisme: Warisan R.A. Kartini yang Mulai Terbiaskan oleh Zaman

21 April 2024   20:02 Diperbarui: 22 April 2024   15:56 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Feminisme merupakan sebuah gerakan yang sejatinya telah eksis sejak awal abad ke-18. Dengan menjadikan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan sebagai tujuan utamanya, feminisme harus mengalami banyak pertarungan dan pertaruhan untuk bisa ada sampai sekarang. 

Tantangan terbesar dari feminisme adalah budaya patriarki yang senantiasa mengkotak-kotakkan laki-laki dan perempuan sebagai dua entitas yang berbeda dan menempatkan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi perempuan dalam hampir segala hal.

Tapi, apakah feminisme masih relevan dan dibutuhkan di Indonesia pada era sekarang ini?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami makna sebenarnya dari feminisme. Feminisme di abad ke-21 ini merupakan feminisme gelombang ketiga, yang dimana mengangkat isu kesetaraan hak bagi laki-laki dan perempuan. 

Hak yang diperjuangkan juga bukan hanya sekadar hak untuk memilih dan atau berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik sahaja seperti yang diangkat oleh para aktivis feminisme dari gelombang pertama, tapi hak di segala aspek kehidupan, seperti hak mendapatkan upah, kesempatan bekerja, akses pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta perlindungan hukum yang setara baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Setidaknya, itulah makna dari feminisme yang sesungguhnya, yang seharusnya dapat dengan mudah dipahami oleh setiap orang sehingga menjadikan feminisme sebagai sebuah paham dan atau ideologi yang layak untuk diperjuangkan baik oleh perempuan maupun laki-laki.

Namun, ada beberapa pihak yang menolak adanya feminisme. Sebagian karena memang merasa bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda. Dan karena perbedaan alamiah inilah, laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan hak yang berbeda pula. 

Ada hal yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan, seperti hamil dan melahirkan, ada pula sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh pria karena kelebihannya dalam kekuatan dan ketahanan fisiknya.

Sebagian lagi, mereka yang menolak feminisme mungkin pernah bertemu dengan seseorang yang memasukkan kepentingan pribadinya ke dalam ideologi tersebut sehingga mereka, orang yang menolak ini, menjadi salah paham dan tidak mengenal feminisme yang sejati. 

Oknum yang memelintir feminisme demi keuntungan pribadi biasanya memiliki ciri yang serupa, yaitu alih-alih membuat feminisme sebagai sebuah cara pandang yang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan, oknum tersebut malah berperilaku seakan-akan perempuan lebih superior dan bisa segalanya dibandingkan laki-laki. Sebuah tindakan yang ironi, sebenarnya, mengingat feminisme sendiri sangat memerangi misoginis.

Selain itu, ada beberapa pihak yang menganggap bahwa tujuan utama dari feminisme telah tercapai sehingga tidak perlu untuk dilanjutkan lagi perjuangannya. Umumnya, orang yang berpandangan demikian hidup di negara yang memiliki tingkat demokrasi yang tinggi sehingga kesenjangan antar gender agak sedikit tersamarkan. Mereka tidak mengetahui bahwa di belahan bumi bagian lain, masih terdapat perempuan-perempuan yang direbut paksa hak nya hanya karena mereka terlahir sebagai seorang perempuan.

Di India contohnya, perempuan di sana tidak memiliki kedudukan yang setara dengan para laki-laki yang ada. Banyak diantaranya yang sampai dibuang hanya karena orang tuanya berpikiran bahwa perempuan hanyalah aib dan yang mereka butuhkan adalah anak laki-laki sebagai penerus keluarga. 

Selain di India, di Indonesia juga masih ada beberapa tempat yang warganya berpikiran jikalau wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya perempuan hanya akan menjadi seorang ibu rumah tangga setelah menikah. Bahkan tak jarang juga ditemui orang tua yang memilih untuk menikahkan anak perempuannya di usia belia sehingga ia tidak dapat merasakan indahnya bangku SMA.

Kesalahpahaman yang lain adalah banyak orang yang masih berpikiran bahwa hanya perempuan sahaja yang bisa dan boleh mendukung feminisme. Mereka menganggap bahwa laki-laki tak berhak untuk ikut campur dan menjustifikasi laki-laki yang membantu memperjuangkan feminisme memiliki kelainan seksual. 

Padahal, jikalau menilik ajaran di hampir semua agama yang ada, hampir semuanya menunjukkan kepeduliannya terhadap perempuan dan berusaha untuk menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan itu memiliki derajat yang cukup tinggi. 

Dan jikalau kita menelisik sedikit lebih jauh, tidak ada seorangpun nabi yang merendahkan perempuan, yang membuktikan bahwa deskriminasi jenis kelamin akan selalu ada dan feminisme akan senantiasa dibutuhkan di segala macam zaman. Tentu sahaja, ini hanya berlaku untuk feminisme yang asli, yang tidak dicemari oleh kepentingan pribadi atau golongan dan tidak menjadi alat kampanye politik pihak tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun