Yang bagi penulis patut untuk ditelusuri. Yakni, mengenai status kehormatan tertinggi yang dimiliki oleh beberapa pemain, meskipun pemain tersebut sering bergonta-ganti klub. Salah satu contohnya ialah Bambang Pamungkas, sang legenda Persija---penulis sempat kesal dengan keputusannya hengkang, dan merumput ke Pelita Bandung Raya, kala itu.
Gugurnya persepsi umum yang menganggap bahwa kesetiaan pemain pada klub, sebagai satu-satunya faktor yang dapat mengantarkan pemain mendapat gelar "legenda".Â
Tak pelak, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam benak penulis, yakni; Adakah syarat-syarat mutlak agar gelar "legenda" layak diberikan kepada pemain/pelatih?, dan siapa yang berhak menentukan? Apakah fans klub, atau komentator olahraga, atau bahkan ditentukan oleh para penulis seperti saya?Â
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "legenda" memiliki arti yakni: "cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah" dan "tokoh terkenal".Â
Dari kedua arti tersebut, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kata "legenda" mengacu pada nama seseorang atau tempat yang memiliki daya pikat, juga menyimpan histori bagi sebagian orang.
Definisi "legenda" yang terdapat di atas, tidak lalu membuat kita dapat sekonyong-konyong menjadikannya sebagai tolok ukur untuk menentukan secara sepihak siapa saja pemain yang berhak mendapatkan gelar tersebut. Dalam hal ini, penulis juga menahan diri agar tidak beropini seenak jidat, seperti halnya ketika kita memberi julukan kepada para pemain lokal berbakat dengan sebutan; Messi-nya Indonesia, atau CR-nya Indonesia, dsb.
Sah-sah saja sebenarnya, bila kita berasumsi bahwa pemain legendaris harus memiliki jasa besar, dicintai fans dan loyal terhadap klub yang dibelanya.Â
Nama-nama beken seperti: Boaz Solossa bagi Persipura, Bambang Pamungkas (sudah disebutkan di awal), dan Cristian Gonzales bagi Arema, walaupun ketiganya tidak berhasil memenuhi satu dari ke-tiga syarat di atas. Atau contoh pemain "legenda" yang memenuhi ketiga syarat, yakni: Gianluigi Buffon dan Alessandro Del Piero bagi Juventus.
Melihat hal tersebut, penulis merasa tidak puas jika hanya mengandalkan penilaian subyektif dari klub, fans, dan mungkin pengamat sepakbola sekalipun. Sebab, masing-masing dari mereka pasti memiliki standarnya sendiri dalam menilai siapa saja pemain yang layak disebut "legenda". Berbeda halnya jika terdapat lembaga yang sah; menentukan syarat-syarat mutlak; kesepakatan bersama; dengan bertujuan untuk memberi gelar "legenda" kepada pemain.Â
Amat disayangkan, asosiasi sepakbola terbesar seperti FIFA, AFC, dsb hanya sekedar memberikan penghargaan terhadap pemain-pemain terbaik, terkecuali AFC (sepengetahuan penulis).