Meski itu adalah ide gila dan dusta, aku coba berdamai dengan nuraniku di rentang waktu itu secepat mungkin. Wajah guruku saat di pesantren dulu berkelebat. Terekam jelas Beliau memberikan wejangan saat Haflah Akhirussanah, Wisuda Pelepasan Santri, "Anak-anakku, jangan pernah menghalalkan segala cara untuk meraih sesuatu. Hiasi hidupmu dengan wara', kesederhanaan, dan pengabdian. Jangan minta dilayani, tapi layanilah orang lain. Terakhir, Ayah selaku khadimul Ma'had, pengasuh pesantren, berpesan kepada kalian anak-anakku, peganglah kejujuran di saat apa pun dan di mana pun. Kejujuran membawamu kepada kebaikan. Kebaikan mengantarkanmu ke Surga. Demikian sabda kanjeng Nabi Muhammad SAW."Â
Syahdan, tubuhku sudah melayang menyeruak ke tengah kerumuman sambil berteriak keras, meluncur deras dari mulutku, "Aku ayahnya, aku ayah korban." Berulang-ulang. Sekonyong-konyong semua orang di sekitar korban yang sejak tadi berkerumun melihat ke arahku yang berteriak keras tanpa peduli tatapan mereka. Tanpa komando, sontak mereka beringsut membelah diri, memberikan celah lebar kepada badanku untuk melesap masuk ke tengah-tengah kerumunan khalayak ramai, tepat di depan korban. Aku berdiri menatap nanar melihat korban, persis di hadapannya dengan jelas kulihat jasad utuh korban itu. Kupandang terang korban yang sudah tergeletak melengkung itu. Mataku terbelalak. Tercengang aku melihat korban yang sudah tidak bernyawa lagi. "Allahu rabbi.... Ya Allah, Tuhanku...", kusebut Ismul a'zham, nama Mulia itu. Â
Semua orang mendelik mendongak kepadaku. Semesta pasang mata melirik tertuju pada batang tubuh ini yang tersipu. Pandangan ganjil orang ramai membuatku gelagapan, panik, gugup, malu tanpa ampun. Perasaan salah tingkah tak terkira baru kualami saat itu seumur hidupku. Ya, seorang wartawan yang berusaha mendapatkan berita A1, menyajikan informasi yang berasal dari sumber dengan reputasi terpercaya, tanpa motif tertentu, dan telah diverifikasi kebenarannya. Aku telah berikhtiar dan mencari akal guna menyuguhkan sepenggal berita langsung dari TKP, Tempat Kejadian Perkara, serta melihat dan mendengar dengan mata kepala dan telinga sendiri, demi teori jurnalistik 'menguji informasi' dan menghasilkan berita yang akurat. Kala itu tak terbayang olehku bahwa korban tabrakan itu ternyata seekor anak monyet. Terngiang-ngiang dan berkumandang tumpah di kupingku, pengukuhanku sendiri, "Aku ayah korban. Aku ayahnya". Bergema berkali-kali. Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H