Mohon tunggu...
amir amirudin
amir amirudin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Ayah Korban

27 Juni 2022   12:42 Diperbarui: 27 Juni 2022   13:04 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku Ayah Korban

Oleh: Amirudin

'Ciiit'!... Sontak aku kaget mendengar bunyi rem mobil yang memekakkan telinga, tidak berselang lama disusul terdengar bunyi 'Brak'!... Mendengar bunyi hantaman yang keras itu, aku pun bergegas untuk melihatnya. Jalanan itu biasa kulalui sehari-hari menuju tempat kerja. Instingku sebagai kuli tinta mengharuskanku terlatih reflek ingin mengetahui dengan cepat apa sebenarnya yang terjadi. 

Perkenalkan, aku seorang wartawan surat kabar harian online terkemuka. Baru satu bulan aku magang bekerja sebagai jurnalis peliput berita straight news atau berita yang ditulis secara ringkas, lugas, apa adanya, yang menginformasikan kejadian sehari-hari, bukan kategori berita investigasi serius dan mendalam layaknya depth news atau investigation news. 

Senior sekaligus mentorku, Soni Ginting, berpesan, "Kamu harus pasang telinga dan mata ke mana pun kamu pergi, biasakan penasaran terhadap segala sesuatu dan hampiri segera peristiwanya." Arahan dan bimbingannya terngiang terus di telingaku. Sekejap aku membatin sambil berlari, "Inilah Bang, waktu yang tepat. Aku akan membuktikan kesungguhanku dalam bekerja, hingga kelak aku bisa diangkat sebagai pewarta tetap di sana."  

Berada sekitar 30 meter dari asal mula bunyi tempat kejadian, tidak bisa membawaku terbang langsung berada di depan korban meski aku lari bergegas secepat yang kumampu. Peristiwa itu menyedot perhatian warga sekitar maupun pengendara yang melintas. Saat lari dari kejauhan kulihat samar-samar korban sudah melengkung di depan mobil. Korban tidak bisa mengelak ketika mobil itu datang tiba-tiba, pikirku. 

Bunyi rem berdecit yang kudengar ngilu tadi sudah menunjukkan bahwa mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan garis roda yang direm di aspal itu terlihat jelas bekasnya. Aku sudah berusaha merangsek masuk ke tengah kerumunan warga yang sudah terlebih dahulu mengerumuni korban.  

Aku mencari segala cara untuk bisa menyeruak masuk ke tengah orang banyak itu. Terngiang kembali obrolanku dengan Bang Ginting, sapaanku, sambil berusaha mengakrabkan diri dengan orang yang membimbingku itu di kantor. "Menjadi wartawan itu harus jujur, tidak boleh menyiarkan berita berdasarkan prasangka. 

Kamu harus bisa menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak ngarang sendiri. Jadilah wartawan yang ulet mengejar berita dan menggunakan cara-cara profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik," nasehatnya. "Jangan jadi wartawan 'kaleng-kaleng', tidak tekun menjalani tugas jurnalistik. ujilah informasi, beritakan secara berimbang, dan tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta terapkan asas praduga tak bersalah," imbuhnya. Aku pun mengiyakannya, "Baik Bang, semua nasehat dan arahan Abang jadi ilmu buat aku. 

Terima kasih banyak ya Bang sudah mengajariku lika-liku kode etik jurnalistik." Dalam hatiku bergumam, bekal pengetahuan ini sudah aku pelajari dulu saat di bangku kuliah. Kala waktu mengikuti training dan pelatihan saat aktif di organisasi mahasiswa pun, aku sudah mengenal wawasan tentang dunia insan pers. Namun, baru kali ini nasehat itu terasa seolah baru pertama kali aku mendengarnya. Bagaimana pun, kuakui Bang Ginting telah menjadi guruku dan inspirasiku.

Aku berusaha menerobos kerubungan orang banyak di sekitar korban. Sambil berusaha kembali bangkit satelah terhempas akibat dorongan lingkaran kerumunan itu, aku mencari ide liar. Kuketuk-ketuk kepalaku dengan kedua kepalan tanganku, sambil berkata, "Ayo dong, bagaimana caranya bisa merangsek ke tengah-tengah khalayak ramai itu?". Bak Archimedes, ilmuwan asal Yunani abad ke-16, dengan setengah berteriak, mata melotot dan mulut terbuka lebar, aku berkata, "Eureka!, aku menemukan ide!". Jika saat itu saking senangnya Archimedes menemukan teori baru, dikabarkan ia langsung keluar dari bathtubnya saat mandi, berlari-lari ke luar rumah dalam keadaan telanjang sambil berteriak "Eureka!, maka seolah melakukan hal serupa aku langsung melompat kegirangan saat menemukan ide agar bisa menyelinap masuk ke tengah orang-orang yang bergerombol mengerumuni korban itu. 

Meski itu adalah ide gila dan dusta, aku coba berdamai dengan nuraniku di rentang waktu itu secepat mungkin. Wajah guruku saat di pesantren dulu berkelebat. Terekam jelas Beliau memberikan wejangan saat Haflah Akhirussanah, Wisuda Pelepasan Santri, "Anak-anakku, jangan pernah menghalalkan segala cara untuk meraih sesuatu. Hiasi hidupmu dengan wara', kesederhanaan, dan pengabdian. Jangan minta dilayani, tapi layanilah orang lain. Terakhir, Ayah selaku khadimul Ma'had, pengasuh pesantren, berpesan kepada kalian anak-anakku, peganglah kejujuran di saat apa pun dan di mana pun. Kejujuran membawamu kepada kebaikan. Kebaikan mengantarkanmu ke Surga. Demikian sabda kanjeng Nabi Muhammad SAW." 

Syahdan, tubuhku sudah melayang menyeruak ke tengah kerumuman sambil berteriak keras, meluncur deras dari mulutku, "Aku ayahnya, aku ayah korban." Berulang-ulang. Sekonyong-konyong semua orang di sekitar korban yang sejak tadi berkerumun melihat ke arahku yang berteriak keras tanpa peduli tatapan mereka. Tanpa komando, sontak mereka beringsut membelah diri, memberikan celah lebar kepada badanku untuk melesap masuk ke tengah-tengah kerumunan khalayak ramai, tepat di depan korban. Aku berdiri menatap nanar melihat korban, persis di hadapannya dengan jelas kulihat jasad utuh korban itu. Kupandang terang korban yang sudah tergeletak melengkung itu. Mataku terbelalak. Tercengang aku melihat korban yang sudah tidak bernyawa lagi. "Allahu rabbi.... Ya Allah, Tuhanku...", kusebut Ismul a'zham, nama Mulia itu.  

Semua orang mendelik mendongak kepadaku. Semesta pasang mata melirik tertuju pada batang tubuh ini yang tersipu. Pandangan ganjil orang ramai membuatku gelagapan, panik, gugup, malu tanpa ampun. Perasaan salah tingkah tak terkira baru kualami saat itu seumur hidupku. Ya, seorang wartawan yang berusaha mendapatkan berita A1, menyajikan informasi yang berasal dari sumber dengan reputasi terpercaya, tanpa motif tertentu, dan telah diverifikasi kebenarannya. Aku telah berikhtiar dan mencari akal guna menyuguhkan sepenggal berita langsung dari TKP, Tempat Kejadian Perkara, serta melihat dan mendengar dengan mata kepala dan telinga sendiri, demi teori jurnalistik 'menguji informasi' dan menghasilkan berita yang akurat. Kala itu tak terbayang olehku bahwa korban tabrakan itu ternyata seekor anak monyet. Terngiang-ngiang dan berkumandang tumpah di kupingku, pengukuhanku sendiri, "Aku ayah korban. Aku ayahnya". Bergema berkali-kali. Tamat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun