Zikir Ayah untuk Sang Putri
Oleh: Amirudin
"Tangan Ayah sangat dingin, mengapa Ayah memaksakan datang malam-malam seperti ini?" sanggah Fatimah kepada sang ayah.
Cuaca kota Madinah saat itu sangat dingin. Musim dingin di kota itu terjadi selama 2,9 bulan, dari akhir tahun sampai awal tahun di bulan kedua dalam perhitungan tahun masehi. Suhu tertinggi harian rata-rata bisa mencapai di bawah 28 derajat celsius. Cuaca paling dingin dalam setahun di kota Madinah berlangsung di awal tahun masehi dengan rata-rata terendah 13 derajat celsius dan tertinggi 24 derajat celsius.Â
Sang ayah terlihat memaksakan diri datang malam itu menemui putrinya. Ia baru saja tiba dari perjalanan dakwah. Letih dan lelah perjalanan dakwah secara fisik menyertai tantangan dan rongrongan dakwah itu sendiri dari orang-orang kafir.Â
Sebenarnya, bagi lazimnya orang tua, bisa saja sang ayah mendatangi kediaman putrinya tersebut keesokan harinya, tidak malam itu yang telah sangat larut, dan di tengah cuaca yang tidak bersahabat. Demi memenuhi keinginan putrinya, Fatimah, sang ayah malam itu juga melangkahkan kaki menuju rumah putri kesayangannya. Ia ingin segera memenuhi keinginan Fatimah.Â
Di mata sang ayah, Fatimah tetaplah putri kecilnya dahulu yang belum bisa ia lepas sendiri dengan tenang, meski putri kesayangannya itu sudah hidup berkeluarga bersama seorang qawwam laki-laki shaleh, kuat, dan pejuang Islam. Kasih sayang dan perhatian sang ayah tidak terputus meski Fatimah sudah berkeluarga.Â
Malam itu juga, sang ayah bergegas menuju rumah Fatimah setelah ia mendapatkan cerita istrinya, setibanya di rumah,
"Putrimu baru saja datang kemari. Ia mengeluhkan tangannya yang melepuh akibat menumbuk dan menggiling sendiri gandum di rumahnya. Kita tahu putrimu mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya sendiri. Suaminya bekerja dengan orang lain untuk mendapatkan upah. Tak jarang suaminya bekerja  di kebun kurma milik orang Yahudi untuk mendapat upah. Kita juga tahu perjuangan dakwah Islam banyak menyita waktunya sepulang bekerja. Mereka hidup sederhana tanpa pembantu di rumah. Putrimu tahu engkau beberapa hari yang lalu membawa banyak tawanan yang bisa dijadikan pembantu di rumah. Ia meminta seorang tawanan untuk membantu pekerjaan di rumahnya", sang istri menutup ceritanya.
Masyarakat Madinah mafhum bahwa tawanan yang didapatkan sang ayah tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Ghanimah atau harta rampasan perang termasuk para tawanan itu digunakan untuk sebesar-besarnya keperluan perjuangan Islam. Tawanan-tawanan itu pada saatnya nanti akan dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai para sahabat yang membutuhkan.Â
Terdapat beberapa sahabat yang tidak memiliki rumah, lalu mereka ditampung di masjid Nabawi, menjadi pelajar di Suffah, seperti Abu Hurairah dan lain-lain. Mereka dikenal dengan Ahlus Suffah. Suffah sendiri berarti beranda. Ahlus Suffah ialah orang yang mendiami beranda masjid Nabawi. Terdapat suatu tempat di sebuah sudut masjid yang beratap untuk menampung mereka yang hijrah dari Makkah ke Madinah yang tidak memiliki tempat tinggal.Â
Beranda yang ada di sudut masjid inilah yang dinamakan Suffah dan orang-orang pengungsi yang tinggal di tempat ini dinamai Ahlus Suffah (penghuni Suffah). Mereka inilah yang mendapat subsidi atau beasiswa dari hasil penjualan tawanan tersebut. Dengan demikian, dana-dana itu digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari para sahabat yang membutuhkan dan menangani serta mengcover perjuangan Islam lainnya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh", terdengar ucapan salam dari sang ayah, memecah keheningan malam. Â
Fatimah dan suaminya sudah berada di tempat tidur mereka. Malam sebenarnya telah sangat larut, di tengah cuaca yang sangat dingin di luar rumah.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh", jawab sang putri dari dalam rumah.
"Labbaik, Ayah", lanjut sambutan Fatimah kepada ayahnya.
"Biarlah Ayah yang masuk, kalian tidak perlu bangun, tetaplah di tempat tidur kalian", timpal sang ayah.
Sang ayah tidak ingin menyusahkan putrinya, Fatimah. Sang putri tidak perlu menyambut dan memperlakukannya dengan istimewa. Ia ingin mengajarkan bahwa seorang ayah semestinya tidak mengharapkan sambutan berlebihan dari anaknya saat ia datang. Ia juga tidak mengharapkan perlakuan istimewa dari anak-anaknya kala dirinya berkunjung.
"Perkenankan Ayah masuk ke kamar kalian", pinta sang ayah.
Setelah dipersilahkan masuk, sang ayah mengambil posisi duduk di tengah-tengah tempat tidur antara Fatimah dan suaminya. Ia tidak menjaga jarak di antara keduanya. Sang ayah tetaplah agung, mulia dan disegani sebagai orang tua dan mertua di hadapan mereka. Sebuah pemandangan yang syahdu, indah, dan mulia. Bentang alam yang menunjukkan kedekatan antara ayah dengan putrinya, seorang laki-laki separuh baya dengan menantunya. Lanskap itu menggambarkan tidak ditemukannya kebencian dan kemarahan antar keduanya, orang tua-anak, orang tua-menantu. Keharmonisan antar ayah-anak, ayah-menantu nampak terang dalam panorama detik itu, bukan sekadar retorika atau teori ilmu berumah tangga, Fiqh al-Usrah bertemakan Parenting: Membina Hubungan Rumah Tangga. Interaksi yang selaras dan sepadan antar mereka berhasil tercipta dalam balutan keakraban natural keimanan di antara mereka.
"Ayah sudah mendengar keluh-kesahmu. Ayah juga mengerti apa yang kalian alami. Ayah ikut prihatin dengan keadaan kalian," sang ayah membuka pembicaraan malam itu.
"Tapi, Ayah ....?" Fatimah menyanggah, merasa prihatin dengan kondisi ayahnya yang memaksakan datang malam itu.
"Tidak apa-apa, Nak, Ayah sehat dan baik-baik saja," sang ayah menenangkan.
"Tapi tangan Ayah sangat dingin, dan cuaca di luar sangat dingin," ujar Fatimah sambil memegang tangan dan kaki ayahnya. Dinginnya kaki sang ayah sempat dirasakan dada suaminya yang mendekat.
"Maukah aku ajarkan kalian sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta?" bujuk ayahnya, untuk tidak secara langsung menolak permintaan putri kesayangannya.
"Ayah punya yang sesuatu yang lebih hebat dari pembantu yang kalian butuhkan," sang ayah berjanji.
Fatimah dan sang suami penasaran. Mereka tidak lagi menghiraukan permintaan mereka sebelumnya.
"Apakah itu wahai Ayah?" mereka mulai tertarik.
"Jika kalian sudah berada di tempat tidur kalian, bacalah takbir (Allahu Akbar) tiga puluh empat kali, hamdalah (Alhamdulillah) tiga puluh tiga kali, dan tasbih (Subhaanallah) tiga puluh tiga kali. Â Sesungguhnya bacaan-bacaan ini lebih baik dari apa yang kalian berdua memintanya." Demikian petuah sang ayah kepada mereka.
Semenjak mendengar petuah sang ayah tadi, keduanya tak pernah lalai membaca wirid tersebut. mereka selalu membacanya. Bahkan hingga setelah istrinya meninggal, Â sang suami tidak melupakan wasiat ini. Sang suami berkata,
"Semenjak aku mendengar dari Beliau, aku tidak pernah meninggalkan wasiat itu".
Ada yang bertanya,
"Tidak pula pada malam perang Shiffin?"
 Sang suami, Sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab,
"Tidak pula pada malam perang Shiffin".
Orang-orang kemudian, para pengamal wirid ini mengakui,
"Setelah malamnya membaca wirid dari Sang ayah, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami bangun pagi dalam keadaan segar-bugar dan penuh semangat. Tidak terasa lagi kelelahan dan kepenatan sebelumnya. Nampaknya kami tidak memerlukan  khadim, khadimat, ART (Asisten Rumah Tangga), bahkan suplemen kesehatan sekali pun." Tamat.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H