Mohon tunggu...
Johan Lamidin
Johan Lamidin Mohon Tunggu... Freelancer - Aktivis dan Jurnalis Freelance asal Pattani, Thailand

Aktivis dan Jurnalis Freelance asal Pattani, Thailand

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

14 Tahun Rawat Ingatan Tragedi Tak Bai, Pelanggaran HAM Berat di Thailand Selatan

24 Oktober 2018   20:18 Diperbarui: 25 Oktober 2018   13:50 2592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Statistik Insiden di Patani, Thailand Selatan pada bulan September 2018 kemarin/ deepsouthwatch.org

Penulis; John Patanisia

"Tragedi Takbai kasus pelanggaran HAM Berat di Thailand Selatan yang belum di-Internasionalisasi-kan."

Patani merupakan salah satu wilayah "pemerintahan istimewa" sebagaimana kewilayahan penuh dengan sistem militerisasi dan sekuritisasi oleh tentara Thailand masih aktif di wilayah ujung Selatan Thailand yang selama ini masih menjadi perhatian publik dan dunia internasional karena situasinya yang jauh dari kesan kondusif dan aman.

Patani masih mengalami gejolak terus-menerus sejak berada di bawah administrasi dan pemerintahan negera Kerajaan Thailand sebagai wilayah jajahan, sejak dari hasil penyerahan  pada perjanjian "Anglo-Siam Treaty, 1909" oleh bangsa kolonia antara kerajaan British Malaya dan kerajaan Siam (kini Thailand) telah memisahkan "Patani-Kelantan" bekas negeri Melayu Utara, sehingga konflik entonationalis "Siam-Melayu" mulai meningkat.

Selanjutnya stustus ke-Patani-an tetap resmi ataupun memaksa menjadi bagian dari wilayah Thailand, berdasarkan sejak pembentukan konstitusionalis Thailand pasca "Revolusi Siam, 1932" sehingga waktu transisi sistem politik dan pemerintahan Diraja dari monarki absolut ke monarki konstitusi dengan kerajaan pusat di Bangkok ibukota negara Thailand menjadi sentaralistik sebagimana posisi residensinya menduduki pegantian menjadi jabatan Gubenur yang ditunjuk dan menghapuskan kuasa kesultanan lokal.

Kemudian Patani telah dianeksasi dengan "provincilization system" menjadi salah satu provinsi "Pa(t)tani" sebagai sebagian negara-bangsa (nation-state) Thailand. Dengan pelbagai kebijakan pemerintahan pusat salah satunya adalah "dipecah dan perintah" menjadi provisi Pattani, Yala, Narathiwat dan sebagian Songkhla. Sehingga muncul perlawanan gerakan rakyat lokal hingga sampai kini.

Dengan pelbagai problematika dari kebijakan negara dalam mengupayakan penduduk asal pribumi di Patani harus memaksa bergabung menjadi multination sebagai warganegara Thailand, namun disisi sebaliknya penuh dengan diskriminasi dengan membatasasi hak-hak sipil, orang Patani tetap menjadi warga kelas kedua karena salah satu faktor sebagai minoritas dalam mayoritas yang sangat berbeda. 

Pasca Perang Dunia  II dasar-dasar penghapusan kolonia dan imprial bangsa dijajah dapat kemerdekaan. Bangsa Patani juga mulai tuntutan hak-hak kebebasan sebagai "hak pertuanan" melalui gerakan nasionalisme Melayu-Patani untuk pembebasan yang melawan pemerintah upaya menyampai aspirasi rakyat Patani yakni Merdeka.

Pembubaran aksi ujuk rasa TAK BAI oleh Aparat Thailand akibatnya puluhan pengujukrasa korban mati, seakan memicu kekerasan dan membarakan konflik Patani yang tak usai padam. afp/gettyimage
Pembubaran aksi ujuk rasa TAK BAI oleh Aparat Thailand akibatnya puluhan pengujukrasa korban mati, seakan memicu kekerasan dan membarakan konflik Patani yang tak usai padam. afp/gettyimage
 Konflik merupakan suatu hal yang lumrah.

Pada 1960, gerakan nasionalis Patani memuncak operasi kekerasan yang akibat tidak bertahan lagi soal diskriminasi bagi masyarakat Melayu Muslim tidak kunjung usai. Konflik mulai meredam ketika memasuki tahun 1980, para pemimpin gerakan nasionalis mulai menyerahkan diri. 

Hasilnya, tahun 1990-an merupakan saat dimana Thailand berada dalam kondisi politik internal berstabilitas namun dalam prihal konflik, meskipun masih terdapat 233 kematian yang terjadi karena konflik politik yang menyebar di Pattani, Yala dan Narathiwat, terhitung sejak 1979-2003. Namun, ternyata keadaan stabil tidak berlangsung lama. Sehingga awal tahun 2004 mulai kembali semakin tinggi hingga sekarang.

Disisi lainnya soal konflik juga tidak terlepas pembahasan dengan soal pelanggaran HAM berat juga mulai level ketinggian, kemasuki akhir ujung bulan Oktober tahun 2004 harus dibicarakan ulangi lagi soal kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang paling sulit dilupakan bagi masyarakat Patani.

Karena salah satu faktual dan realitas dengan fenomenal peling mengerikan atas pembantaian brutal kejahatan kemanusiaan yang tidak senada dengan sesuai prinsepel hukum dan HAM, namun kondisi kekinian dunia juga belum mencatat sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Tanggal 25 Oktober 2004 M. kebersamaan 11 Ramadhan 1425 H. pada 14 tahun yang lalu adalah salah satu hari pelanggaran HAM berat, sebagai tragedi ketidak manusiawi namanya "Tragedi Takbai atau Peristiwa Taba" berlakunya di samping garis perbatasan wilayah negara antara Thailand dan Malaysia. 

Dimana hari tersebut adanya Ribuan demontrasi tuntutan keadilan, sebagai massa aksi bergabung untuk memprotes secara nirkekerasan kepada aparat polisi Thailand di depan kantor Polisi kabupaten Takbai, Provinsi Narathiwat. mereka berunjuk rasa untuk menuntut kebebasan 6 orang tersengka atas tuduhan kasus memberian senjata api kepada pejuang Patani Merdeka.

Tragisnya, pembubaran demonstrasi itu tidak lain melainkan secara kekerasan sehingga efeknya dengan jumlah korban berbagai-bagai versi dari laporan Tim Pencarian Fakta (TPF) oleh lembaga independen, instansi pemerintah maupun dilanserkan oleh media yang masing-masing melegetimasikan upaya menghindarkan kesalahan dan bertanggungjawab. 

Selama 14 tahun sejak berlaku peristiwa tersebut, konflik Thailand-Patani semakin hari semakin memanas dan tidak bisa dijangkauan waktu bahwa kapannya perang diakhiri atau revolusi belum selesai, Patani belum merdeka ataupun Thailand ingin kembali ke kondisi pra tahun 2000, dengan wacana tersebut harus dinamakan "perang asimetris" kerana aktor perang masing-masing telah mengadopsi ideologi Nasionalisme "Siam-Budhis versus Melayu-Islam".

Disebalik konfliknya telah menemui faktual yang ditemukan data-data, informasi baik angka pelanggaram HAM dan statistik insiden perang yang lanser dari Deep South Watch-DSW diperolehkan sejak awal tahun 2004 hingga Oktober 2018 ini telah menelan dampak impak fatal hampir 6,871-an ditewas dan 13.460 luka-luka. 

Terus muncul pertanyaan bagaimanakah nasib penduduk di wilayah tersebut, meskipun seberapa banyaknya mereka yang menimpa nasib seperti itu, seperti; mereka dipaksa hilang, dipenjara, dibunuh, mereka tidak bisa bersama keluarga, atau mereka dipaksa masuk hutan untuk memperjuangkan hak-hak melalui angkat senjata secara illegal sekalipun, bahkan diluar negeri tidak bisa masuk kembali.

Statistik Insiden di Patani, Thailand Selatan pada bulan September 2018 kemarin/ deepsouthwatch.org
Statistik Insiden di Patani, Thailand Selatan pada bulan September 2018 kemarin/ deepsouthwatch.org
Namun jika bicara konteks hukum dan HAM, wilayah Patani atau Provinsi Perbatasan Selatan Thailand (dalam Bahasa pemerintah Thai) telah terjadi wilayah operasi militer baik secara de jure dan de facto dengan buktinya secara; de facto Patani tetap menjadi salah satu wilayah paling termiliterisasi yang mana seorang tentara atau polisi mengawasi 100 warga sipil dengan jumlah prajurit sebanyak 65.000 tentara Thailand yang siap bertempur dengan gerilyawan.

Sedangkan secara; de jure dengan adanya undangan-undang istimewa yang berlaku adanya tiga lapisan hukum yakni; UU Darurat Militer (Martial Law Act, 1914). UU Dikrik Darurat (Emergency Decree, 2005). 

UU Keamanan Domestik (Domestic Security, 2008). Dengan struktural hukum tersusun maka sangat wajar dapat memberi wewenang penuh mandate dan ruang melakukan kekerasan bagi aparatur pemerintah Thailand khususnya militer dan polisi terhadap masyarakat sipil dapat melakukan sesuatu hal menjadi dibenarkan dan tidak ada yang kesalahan bagi aparatur. Bahkan sering kali di imunitas dan impunitas.

Baik secara hukum, dengan undangan-undang istimewa tersebut dapat memberi kuasa penuh bagi aparat dalam penyelidikan apapun saja yang dinginkan sehingga beberapa kasusnya seperti orang dipaksa hilang juga menjadi kasus hitam yang tidak dapat penyelidikan, undang-undang tentang tempat kejadian perkara contoh jasad juga tidak dapat melakukan pencarian fakta disebalik pembuhuan extrajudicial killings, struktural hukum tidak jernis maka muncul emosional sosial bagi masyarakat.

Bahkan kasus-kasus yang lain juga membuat mekanisme prosesi keadilan begitu macet sangat jelas namun begitu saja tidak diperbaiki. Secara komprehensif verivikasi juga sangat kondusif dalam menginterogasi untuk mendapatkan berbagai informasi rahasia dari pihak musuhnya, maka tidak terlepas dari intimidasi, penyiksaan pada hal mereka hanya tersengka yang dituduhan.]

85 orang warga Patani korban mati dengan sebab tanpa oxeyen untuk bernafas seketika berangkat ke kamp Tentara Ingkayud di Pattani, mereka juga dalam kedaan berpuasa di bulan Ramadhan/afp/gettyimage
85 orang warga Patani korban mati dengan sebab tanpa oxeyen untuk bernafas seketika berangkat ke kamp Tentara Ingkayud di Pattani, mereka juga dalam kedaan berpuasa di bulan Ramadhan/afp/gettyimage
Cerita lama tidak bisa dilupakan.

Beberapa hal yang disebutkan ini adalah bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan suatu kegagalan oleh Negara Thailand. Kasus-kasus lama pelanggaran HAM masa lalu dan pelanggara HAM masa kini di era konflik ini juga tetap membanyagi upaya serius pembangun perdamaian.

Pemerintah dan masyarakat Thailand yang selama ini kurang memahami soal kedudukan sipil di Patani, karena tidak belajar dari pengalaman, Pemerintah Thailand kembali melakukan tindakan represif dan tidak proporsional kepada demonstran yang merupakan Muslim dalam aksi nirkekerasan menuntut pembebasan kawan-kawannya yang juga seorang Muslim.

Mereka ditahan dengan tuduhan menyelundupkan senjata milik negara untuk kelompok oposisi, padahal mereka secara sukarela menjadi satuan pertahanan desa di Selatan Thailand.

Demonstrasi dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2004 di depan lahan seberang kantor polisi yang terletak di Takbai, Narathiwat dengan jumlah massa aksi sekitar seribuan orang, dengan tuntutan membebaskan kawan-kawan yang dituduh menyelundupkan senjata. 

Aksi demonstrasi yang berlangsung menjadi peristiwa berdarah ketika ada batu yang dilempar kepada aparat kepolisian tanpa diketahui siapa yang pelaku pelempar.

 Seketika itu juga, polisi menganggap para demonstran akan melakukan suatu gerakan perlawanan dan segera membalas dengan menyemprotkan gas air mata dan penembakan senjata api. Tindakan aparat yang tanpa mengira nyawa orang, tentunya brutal.

Hanya Pembayaran ganti rugi terhadap warga korbannya, sedangkan aparat Thailand tanpa dikenai sanksi dan hukum/afp/gettyimage
Hanya Pembayaran ganti rugi terhadap warga korbannya, sedangkan aparat Thailand tanpa dikenai sanksi dan hukum/afp/gettyimage
TPF berpihak.

Menurut laporan Tim Pencarian Fakta (TPF) yang dibentuk oleh pemerintah Thailand dengan mengangkat seorang anggota Senator sebagai ketua TPF untuk melakukan resit khusus untuk kasus Kresik dan Takbai pada tahun 2005 telah menemui hasil fakta bahwa 85 tewas dengan sebab tanpa oxeyen untuk bernafas seketika berangkat ke kamp Tentara Ingkayud di Pattani.

Sedangkan laporan yang lainnya juga tidak sama seperti Amnesty International-AI Thailand, Human Rights Watch-HRW Thailand, BBC Thai dll. telah melaporkan dalam Laporan Tahun oleh organisasi intersional masing-masing telah membantahkan laporan pihak TPF bahwa laporan tersebut tidak layak serta tidak meleputi sepertinya seberapa banyak jumlah yang telah ditembak ketika pemubaran demontran dan jumlah dipaksa hilang? Sehingga angka kematian tidak sama dengan ikatan keluarga korban yang melaporkan bahwa si didalam keluarganya telah kehilangan yang akibat dari demo tersebut.

Kebijakan Pemerintah Thailand kebelakangan ini telah mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi kasus tersebut dengan mengganti rugi sebanyak jumlah dengan 7 juta-an bath perorang, namun respon masyarakat sangat tidak memuaskan sehingga bebrapa CSOs Patani sering memproteskan kepada pemerintah bahwa kasus ini adakah suatu sudah termasuk sifat keadilan atau tidak.

Jika pemerintah sudah berhasil dalam mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM mengapakah kasus yang lain semakin dan masih terjadi lagi sampai kini pun masih berterusan berlaku terhadap warga sipil yang di daerah lainnya.

Sebagaimana jika dibandingkan studi kasus tragedi pelanggaran HAM antara "tragedi Takbai, 2004" dengan "tragedi Santa Cruz, 1999" di Dili, Timor Leste adalah kasus yang hampir sama,  dengan suatu yang layak dikatakan "modern genocide" di Asia Tenggara dan kondisi Rohingya lebih parah kalau dibanding dengan Patani.

Kondisi dan situasi, pra dan pasca

Secara konologi tragedi Takbai dimulai dengan memicu  dengan akibat pasca tragedi Takbai juga tidak bisa terlepas faktor luka hati yang membarakan api sejarah namun jarang ketahui orang lainnya bahwa adalah salah satunya "Tragedi 131" pada 2005 yaitu penggusi asal Patani melarikan diri masuknya ke Malaysia untuk mencari suaka sebagai tempat perlindungan konfliknya sehingga sampai sekarang kasus ini juga belum selesai.

Dan terdapat beberapa talaah pustaka, arsip dokumen laporan dan laporan media juga meninjauan kasus tragedi Takbai selama ini 14 tahun telah berlalu belum memasuki dijadikan agenda serius bagi mekanisme HAM internasional baik di Divisi HAM, Direktorat Politik dan Keamanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (PERBARA) atau Human Rights Division, Political & Security Directorate, ASEAN., ataupun Komisi Hak Asasi Manusia Permanen Independen Independent Permanent Human Rights Commission-IPHRC oleh OIC/OKI,. Bahkan Dewan HAM PBB maupun United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) juga belum menerima laporan.

Sedangkan ditahun 2006 pernah ada seorang perwakilan asal dari Patani menuju ke Den Haag dan Amstedam, ibukota Belanda untuk mengajukan laporan banyangan tragedi Takbai serta VCD ke kantor International Criminal Court-ICC dan International Court of Justice-ICJ/CIJ untuk membuktikan keadilan atas misi diplomatic humaniter namun ditolak laporan kurang memadai.

Di akhir ini, kasus tersebut terdapat kesimpulan adanya empat poin penting. Pertama; laporan TPF yang diselenggarakan oleh pemerintah Thailand tersimpul bahwa korban tersebut menginggal dunia sebabnya akibat tidak ada oxeyen untuk bernafas ketika angkut ke kamp tentara. Kedua; tidak ada pelaku atas kesalahan secara proses hokum, baik aparat pemerintah maupun instansi manapun, bahkan sering kali di imunitas dan impunitas. 

Ketiga; tidak ada mekanisme peradilan yang adil. Keempat; pemulihan dengan membayar “uang ganti rugi” oleh pemerintah terlalu banyak persyaratan tuntutannya sehingga muncul perpecahan diantara ikatan keluarga korban.  

Tragedi Tak Bai sebagai salah satu pelanggaran HAM berat di Asia Tenggara yang belum sesuai dengan prisep keadilan, perjalanannya sudah 14 tahun yang lalu, secara hukumnya usia kakus peradilan Thailand punya “lawsuit” berlaku selama 20 tahun berati masih ada waktu “enam tahun” lagi untuk menuntut secara peradilan, tapi akan pasti dicatat sebagai sejarah kejam bagi masyarakat Patani selama-lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun