Disisi lainnya soal konflik juga tidak terlepas pembahasan dengan soal pelanggaran HAM berat juga mulai level ketinggian, kemasuki akhir ujung bulan Oktober tahun 2004 harus dibicarakan ulangi lagi soal kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang paling sulit dilupakan bagi masyarakat Patani.
Karena salah satu faktual dan realitas dengan fenomenal peling mengerikan atas pembantaian brutal kejahatan kemanusiaan yang tidak senada dengan sesuai prinsepel hukum dan HAM, namun kondisi kekinian dunia juga belum mencatat sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Tanggal 25 Oktober 2004 M. kebersamaan 11 Ramadhan 1425 H. pada 14 tahun yang lalu adalah salah satu hari pelanggaran HAM berat, sebagai tragedi ketidak manusiawi namanya "Tragedi Takbai atau Peristiwa Taba" berlakunya di samping garis perbatasan wilayah negara antara Thailand dan Malaysia.Â
Dimana hari tersebut adanya Ribuan demontrasi tuntutan keadilan, sebagai massa aksi bergabung untuk memprotes secara nirkekerasan kepada aparat polisi Thailand di depan kantor Polisi kabupaten Takbai, Provinsi Narathiwat. mereka berunjuk rasa untuk menuntut kebebasan 6 orang tersengka atas tuduhan kasus memberian senjata api kepada pejuang Patani Merdeka.
Tragisnya, pembubaran demonstrasi itu tidak lain melainkan secara kekerasan sehingga efeknya dengan jumlah korban berbagai-bagai versi dari laporan Tim Pencarian Fakta (TPF) oleh lembaga independen, instansi pemerintah maupun dilanserkan oleh media yang masing-masing melegetimasikan upaya menghindarkan kesalahan dan bertanggungjawab.Â
Selama 14 tahun sejak berlaku peristiwa tersebut, konflik Thailand-Patani semakin hari semakin memanas dan tidak bisa dijangkauan waktu bahwa kapannya perang diakhiri atau revolusi belum selesai, Patani belum merdeka ataupun Thailand ingin kembali ke kondisi pra tahun 2000, dengan wacana tersebut harus dinamakan "perang asimetris" kerana aktor perang masing-masing telah mengadopsi ideologi Nasionalisme "Siam-Budhis versus Melayu-Islam".
Disebalik konfliknya telah menemui faktual yang ditemukan data-data, informasi baik angka pelanggaram HAM dan statistik insiden perang yang lanser dari Deep South Watch-DSW diperolehkan sejak awal tahun 2004 hingga Oktober 2018 ini telah menelan dampak impak fatal hampir 6,871-an ditewas dan 13.460 luka-luka.Â
Terus muncul pertanyaan bagaimanakah nasib penduduk di wilayah tersebut, meskipun seberapa banyaknya mereka yang menimpa nasib seperti itu, seperti; mereka dipaksa hilang, dipenjara, dibunuh, mereka tidak bisa bersama keluarga, atau mereka dipaksa masuk hutan untuk memperjuangkan hak-hak melalui angkat senjata secara illegal sekalipun, bahkan diluar negeri tidak bisa masuk kembali.
Sedangkan secara; de jure dengan adanya undangan-undang istimewa yang berlaku adanya tiga lapisan hukum yakni; UU Darurat Militer (Martial Law Act, 1914). UU Dikrik Darurat (Emergency Decree, 2005).Â
UU Keamanan Domestik (Domestic Security, 2008). Dengan struktural hukum tersusun maka sangat wajar dapat memberi wewenang penuh mandate dan ruang melakukan kekerasan bagi aparatur pemerintah Thailand khususnya militer dan polisi terhadap masyarakat sipil dapat melakukan sesuatu hal menjadi dibenarkan dan tidak ada yang kesalahan bagi aparatur. Bahkan sering kali di imunitas dan impunitas.