Mohon tunggu...
Amin Wahyu Faozi
Amin Wahyu Faozi Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Belajar Tentang Perceraian di Era Kecerdasan Buatan

6 Maret 2024   22:08 Diperbarui: 6 Maret 2024   22:22 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1. Berikan analisis terhadap artikel “Dampak Perceraian dan Pemberdayaan Keluarga Studi Kasus di Wonogiri” , jurnal Buana Gender PSGA LPPM IAIN Surakarta, Vol 1,No1 Januari-Juni 2016.

        Faktor-faktor penyebab perceraian yaitu: tidak tanggung jawab, tidak memberi nafkah, perselingkuhan, perselisihan dan pertengkaran, tinggal wajib, belum dikarunia anak, meninggalkan kewajiban, penikahan pada usia muda.

          Kurang optimalnya peran KUA melalui fungsi BP4 yang memberikan nasehat pernikahan. Kebanyakan masyarakat yang datang ke BP4 sudah kondisi kronis hubungan pernikahannya, sehingga tidak maksimal dalam menyelesaikan masalah. Sementara dari aspek hukum, pengadilan memberikan akses kemudahan dalam pengajuan perkara di Pengadilan Agama, seperti dengan adanya sidang keliling yang lebih pada penjemputan bola bagi para pihak yang berperkara. Asas pernikahan yang kekal untuk selamanya, perceraian dipersulit belum bisa mengerem laju tingkat perceraian.

        Kebijakan dan pelayanan pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga melalui pembinaan baik secara ekonomi maupun keagamaan perlu digalakkan kembali. Melalui pemberdayaan keluarga kualitas bangsa dapat diraih.

2. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian

      Tampak bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan tersebut menyebabkan dalam pengajuan perceraian, harus terdapat alasan-alasan yang kuat dan cukup, sehingga terlihat bahwa sebenarnya proses perceraian tidak mudah untuk dilakukan.

Alasan-alasan perceraian dalam UU Perkawinan tidak diatur secara limitative. Ketentuan terkait alasan-alasan perceraian secara limitatif diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP 9/1975) dan KHI. Pada Pasal 19 PP 9/1975 mengatur bahwa:

“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

3. Selanjutnya, Pasal 116 KHI secara limitatif juga mengatur alasan-alasan perceraian, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

6. Suami melanggar taklik talak;

peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.”

4. Apa dampak dan akibat dari perceraian?

         Dampak perceraian bisa sangat beragam, termasuk emosional, finansial, dan sosial. Beberapa dampaknya termasuk stres, kecemasan, depresi, konflik dalam keluarga, dan masalah keuangan. Anak-anak juga bisa terpengaruh secara emosional dan perilaku oleh perceraian orang tua mereka. Terkadang, perceraian juga dapat mengarah pada masalah kesehatan fisik dan psikologis bagi pasangan yang bercerai. Dampaknya bisa berbeda-beda tergantung pada kondisi individu dan keluarga. Beberapa dampak dan akibat umumnya meliputi:

1. Stres Emosional: Perceraian dapat menyebabkan stres emosional yang signifikan bagi kedua pasangan dan juga anak-anak, jika ada. Ini bisa mencakup perasaan kesedihan, kemarahan, kehilangan, dan kebingungan.

2. Masalah Psikologis: Perceraian dapat meningkatkan risiko masalah psikologis seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.

3. Perubahan Keuangan: Perceraian dapat mempengaruhi situasi keuangan kedua pasangan, terutama jika ada pembagian aset dan kewajiban finansial seperti dukungan anak.

4. Perubahan Gaya Hidup: Setelah perceraian, pasangan akan menghadapi perubahan dalam gaya hidup mereka, termasuk tempat tinggal, rutinitas sehari-hari, dan jaringan sosial.

5. Dampak pada Anak: Perceraian bisa berdampak negatif pada anak-anak, termasuk masalah emosional, penurunan prestasi akademis, dan masalah perilaku.

Namun, penting untuk dicatat bahwa dampak perceraian dapat bervariasi tergantung pada situasi dan respon individu. Banyak orang juga mampu mengatasi perceraian dan menemukan kebahagiaan dan kedamaian di masa depan. Terapi dan dukungan sosial sering kali dapat membantu mengatasi dampak perceraian. 

5. Cara mengatasi masalah perceraian di Indonesia memerlukan pendekatan holistik. Pertama, perlu peningkatan pendidikan dan keterampilan komunikasi dalam program perkawinan. Sosialisasi mengenai pentingnya komitmen, toleransi, dan pemahaman bersama dapat mengurangi konflik. Selain itu, perlu penguatan peran lembaga agama dan konseling pernikahan.

Pemerintah perlu meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental dan konseling, membantu pasangan menangani tekanan ekonomi dan emosional. Reformasi hukum keluarga juga perlu dipertimbangkan untuk memastikan perlindungan hak-hak perempuan dan anak.

Pendidikan seksual dan tanggung jawab pernikahan sebaiknya menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan. Dukungan masyarakat dalam membentuk norma positif terkait pernikahan dan keluarga juga penting.

Dalam menghadapi dampak perceraian, pemerintah dapat mengembangkan program rehabilitasi psikososial bagi keluarga yang terkena dampak, terutama anak-anak. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga non-profit diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pernikahan yang sehat dan keberlanjutan keluarga.

Nama kelompok :

Hanifa Putri Auliya 222121010

Alfian Apriansyah 222121021

Muhammad Nurul Fahmi 222121022

Amin Wahyu Faozi 222121026

Aswin Nur Ulinuha 222121037

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun