Kita menempa diri dengan belajar banyak hal. Bukan cuma sini akting tapi juga belajar membaca dan menulis, kepekaan terhadap lingkungan sekitar, berdiskusi berbagai fenomena aktual di masyarakat selain mengasah pikiran kritis lewat berbagai sumber ilmu pengetahuan, dari mulai ilmu sosial sampai kepada buku-buku pengantar filsafat.Â
"Itu kami lakoni bukan karena tuntutan untuk membedah materi naskah pertunjukan teater, tetapi juga sebagai referensi menulis artikel dan karya sastra. Waktu itu, saya merasa punya sekolah kedua, bernama teater, " jelas Conie.Â
Tentu ada suka dan dukanya berteater itu. Tapi secara pribadi, kata Conie, lebih banyak sukanya.Â
"Saya merasa ada kegembiraan berkumpul dan berkarya, " ungkap Conie.Â
Mungkin karena saat itu masih bujangan dan belum berkeluarga.Â
Conie menceritakan, sekitar tahun 1980 sampai 1990-an iklim berteater di Palembang cukup baik. Puluhan teater tumbuh bersama kegiatan-kegiatan pentas dan ajang festival.Â
Para pekerja dan penggiat teater sempat juga mendirikan wadah perhimpunan di Paguyuban Teater Palembang.Â
Demikian pula halnya pembinaan dari pemerintah melalui dinas pendidikan dan kebudayaan berjalan dengan baik.Â
Bukan cuma teater tetapi juga ke giatan sastra seperti lomba baca puisi, musik, pameran seni rupa dan diskusi kebudayaan cukup kondusif.Â
Bagaimana dengan kondisi sekalrang?Â
Justru kebalikannya. Sangat memprihatinkan. Penyebabnya sangat kompleks. Terutama dari internal pelaku kesenian itu sendiri.Â