Masih teringat lagu yang sering diajarkan di masa kanak-kanak dulu. Lagu yang dinyanyikan dengan ceria di bangku-bangku sekolah.
Kupu kupu yang lucu
Kemana engkau terbang
Hilir mudik mencari
Bunga bunga yang kembang
Berayun ayun
Pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu
Merasa Lelah
Â
Kupu kupu yang elok
Bolehkah saya serta
Mencium bunga-bunga
Yang semerbak baunya
Sambil bersenda
Semua kuhampiri
Bolehkah kuturut
Bersama pergi
Lagu yang ditulis oleh Bu Sud, pelopor lagu-lagu anak di Indonesia, tersebut menemani hari-hari pertumbuhan anak-anak generasi 70--80 an dalam lingkungan yang batas terluarnya adalah lingkaran pertemanan atau perkenalan yang terbangun di dunia nyata.Â
Lagu tersebut juga mengajarkan untuk mencintai lingkungan beserta segala satwa dan tanaman yang hidup di dalamnya.
Dan kini anak-anak itu sebagian besar berada pada usia matang. Mereka kini menjadi penentu apa yang sedang terjadi di hamparan permukaan bumi ini. Baik langsung maupun tidak langsung, setiap tindakan mereka meninggalkan jejak di planet ini.
Term mereka di atas bisa berarti atau sesungguhnya adalah kita. Kita itu sangat mungkin adalah saya dan Anda yang sedang membaca tulisan ini. Oleh karena itu, selanjutnya saya akan menggunakan term kita.
Salah satu nilai yang ingin ditanamkan melalui pengajaran lagu tersebut adalah kecintaan pada lingkungan. Seturut waktu, kini kita mempertanyakan apakah kecintaan tersebut sungguh-sungguh tertanam dan lalu tumbuh membentuk pohon nilai yang kokoh dalam diri kita?
Faktanya, menurut Global Forest Resources Assessment 2020, meski laju pengurangannya terus menurun, sejak tahun 1990 sampai 2020 hutan di dunia berkurang 178 juta ha, atau seluas negara Libya.Â
Jumlah tersebut merupakan netto dari wilayah-wilayah yang hutannya berkurang dan adanya beberapa wilayah yang hutannya bertambah. Wilayah yang luas hutannya berkurang adalah Afrika dan Amerika (Latin, Selatan dan Tengah) sedangkan wilayah yang bertambah adalah Asia (0,19%), Eropa (0,03%) dan Oseania (0,23%).
Sekalipun Asia menunjukkan penambahan luas hutan, namun ternyata apabila dilihat lebih detail penambahan tersebut didominasi di Asia Timur sebesar 0,73% dan Asia Barat-Tengah yang bertambah sebesar 0,39% Â sementara Asia Selatan dan Asia Tenggara justru berkurang 0,31%.
Hebatnya pada interval 2010-2020 Indonesia termasuk 10 negara di dunia dengan rerata kehilangan luas hutan tahunan tertinggi yaitu 753 hektar per tahun dan berada di peringkat ketiga di bawah Brazil dan Republik Kongo.
Tetangga kita di Asia menambah kapasitas paru-paru dunia dengan menambah luas hutannya, kita justru mengurangi luas hutan kita. Tentu alasan yang dapat kita ajukan adalah karena kebutuhan untuk pertumbuhan ekonomi agar masyarakat kita sejahtera.
Kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk membutuhkan tambahan lahan untuk menanam dan memproduksi lebih banyak bahan pangan.Â
Dengan luas daratan total di muka bumi tetap, maka kebutuhan penambahan luas lahan untuk pertanian mengharuskan adanya alih fungsi lahan. Belum lagi kebutuhan untuk pemukiman, infrastruktur dan sejenisnya.
Lahan pertanian meluas, pemukiman semakin berkembang maka hutan pun menciut. Tepi hutan pun terasa menjauh dari pemukiman. Lambat laun hutan menjadi gambaran yang samar-samar, timbul tenggelam muncul di benak. Hutan semakin jarang menjadi bagian lingkungan keseharian.
Bahkan dongeng tentang peri penunggu hutan sayup-sayup meredup dalam percakapan orang tua dan anak-anak belia. Mendongeng kini diambil alih oleh gawai. Lagu anak pun kini rasanya tidak terlalu kentara bedanya dengan lagu dewasa.
Siapa yang masih ingat lagu kupu-kupu? Itu pertanyaan bagi saya dan anda yang berada di kelompok paruh baya.
Siapa yang tahu dan bisa menyanyikan lagu kupu-kupu? Itu pertanyaan bagi anak-anak masa kini.
Sepertinya jawaban kedua pertanyaan tersebut akan tersajikan lewat gelengan kepala sebagian orang.
Gelengan kepala kelompok paruh baya boleh jadi adalah gerakan mekanis badan untuk mencoba membuka kembali memori yang sudah berdebu dan berkarat.Â
Adapun gelengan kepala anak-anak hari ini boleh jadi gambaran bahwa lagu tersebut sesuatu yang asing dan tergantikan oleh lagu-lagu dari negeri lain yang tanpa kenal batas usia menyerbu masuk ke ruang sosial dan ruang privat keluarga-keluarga kita hari ini.
Lebih akrab kita dengan kejadian nun jauh di belahan lain dunia ini, ketimbang menyadari bahwa hutan kita sedang semakin menjauh dari keseharian. Getir melihat banyak anak-anak kota bermain di sawah atau masuk ke hutan sebagai pengalaman baru dan unik.Â
Sawah dan hutan bukan bagian dari ruang di mana mereka tumbuh dan berkembang. Mal dan game centre apalagi gadget lebih diakrabi ketimbang meniti pematang sawah, menelusuri sungai dan menjelajah hutan.
Sembari mengeluh betapa anak-anak kita lebih suka menghabiskan waktu di kamar di depan layer gadget, kita berupaya mengingatkan mereka ancaman perubahan iklim. Melimpahnya bahan di dunia maya memudahkan kita menjelaskan betapa kepak sayap kupu-kupu di rimba Amazon dapat memicu badai tornado di bagian dunia yang lain atau apa yang sering disebut sebagai efek kupu-kupu (butterfly effect).
Sebagai pengetahuan mungkin hal tersebut mudah dijelaskan, apalagi dengan bantuan teknologi yang menjadikan simulasi rentetan kejadian tersebut nampak nyata. Nyata namun sesungguhnya maya.
Apakah pengetahuan tersebut berdampak pada tindakan? Kita bisa menjawabnya sendiri bahwa faktanya hutan semakin menciut luasannya. Kapasitas bumi menyerap emisi semakin berkurang dibuktikan suhu permukaan bumi semakin meningkat.
Menurut Laporan Iklim Global 2022 dari NOAA National Centers for Environmental lnformation, Tahun 2022 adalah tahun terhangat keenam sejak pencatatan global dimulai pada tahun 1880 dengan suhu 0,86C (1,55F) di atas rata-rata abad ke-20 sebesar 13,9C (57,0F).Â
Nilai ini 0,13C (0,23F) lebih rendah dari rekor yang dibuat pada tahun 2016 dan hanya 0,02C (0,04F) lebih tinggi dari nilai tahun lalu (2021), yang kini menempati peringkat ketujuh tertinggi. 10 tahun terhangat dalam rekor 143 tahun semuanya terjadi sejak 2010, dengan sembilan tahun terakhir (2014--2022) peringkat sebagai sembilan tahun terhangat dalam catatan.
Sayangnya informasi semacam ini meredup dalam aksi karena hanya mengendap sebagai data dalam memori. Disadari atau tidak beberapa jenis tanaman dan binatang perlahan-lahan kemunculannya kini hanya dalam bentuk gambar.Â
Sebagaimana hutan yang semakin berjarak dari keseharian, keberadaan kupu-kupu yang hinggap di tangkai bunga pun sayup-sayup hanya menjadi cerita. Kupu-kupu yang berperan dalam penyerbukan tanaman semakin jarang terlihat di dunia nyata.
Kupu-kupu yang lucu, kemana engkau terbang?
Kalimat dalam lagu tersebut sepertinya harus diganti menjadi
Kupu-kupu yang lucu, dimana engkau kini?
Sang kupu-kupu kemungkinan besar akan menjawab bunga-bunga yang kembang kini hanya ada dalam bentuk kertas atau plastik yang tidak membutuhkan kupu-kupu untuk penyerbukannya, bahkan tidak butuh penyerbukan lagi.
Bagaimana menceritakan keindahan Kupu-kupu Raja (Monarch butterfly; Danaus plexippus) dengan corak sayapnya yang berwarna jingga dan hitam disertai bintik-bintik putih di bagian tepi sayap dan tubuhnya? Kupu-kupu semakin jarang terlihat, bahkan lagunya pun kini semakin asing.
Cukupkah hanya mengenali dengan melihat gambar atau videonya? Kalaupun cukup, apa lagi manfaat tersisa dari mengenalkannya kepada generasi muda kalau makhluknya sendiri sudah semakin menyusut keberadaannya.
Efek kupu-kupu lambat laun hanya akan muncul dalam pendidikan sebagai ancaman bencana ketimbang manfaat positif kepak sayap kupu-kupu terhadap pembiakan tanaman.
Kita tak bisa lagi meminta kepada kupu-kupu
Bolehkah saya serta
Mencium bunga-bunga
Yang semerbak baunya
Kalau mengharapkan kehadiran kupu-kupu di halaman rumah kita tidak mungkin lagi, apakah menyanyikan lagu kupu-kupu juga tidak bermanfaat lagi bagi pendidikan generasi hari ini?
Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H