Pertanyaan seperti ini tentu saja tidak akan muncul kalau kapasitas keuangan pemerintah tidak terbatas. Faktanya kapasitas keuangan selalu dalam kondisi terbatas (scarcity) dibanding kebutuhan sehingga selalu dibutuhkan pilihan tindakan dengan dampak positif terbesar.
Sebenarnya bagaimana mengukur nilai ekonomi sebuah warisan budaya?
Paling gampang tentu dengan menghitung berapa uang yang bisa dihasilkan dari keberadaannya. Tiket untuk menyaksikan, misalnya, masuk dalam kategori nilai langsung. Adapun kesediaan orang untuk datang menyaksikan akan menghasilkan uang secara tidak langsung melalui penyewaan kendaraan, membayar penginapan, membeli makanan dan seterusnya yang  dapat kita kategorikan sebagai nilai tidak langsung namun berdampak pada skala yang lebih luas.
Pada sisi lain terdapat aspek kesediaan membayar atau mengeluarkan uang dari calon pengunjung. Willingness to pay merupakan indikasi dari potensi nilai ekonomi.
Praktiknya dalam pengambilan kebijakan publik, valuasi ekonomi dari sebuah warisan budaya seringkali tidak didasari oleh pemahaman konseptual yang utuh tentang tipologi penilaiannya sendiri.
Terlalu sering isu konservasi, restorasi atau rehabilitasi dibicarakan dalam perspektif populis atau politis yang tidak menyentuh akar masalah atau penggerak utama ekonomi dari keberadaan sebuah warisan budaya. Dan sering juga penganggaran untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dikalahkan oleh kepentingan penganggaran populis yang sifatnya sesaat.Â
Maka pertanyaan mendasar sesungguhnya adalah siapa sebenarnya publik yang berkepentingan dalam pelestarian warisan budaya?
Frasa kepentingan dalam pertanyaan di atas harus juga dilekatkan di dalamnya konsekuensi kesediaan mengalokasikan sumber daya yang merupakan kata lain dari mengorbankan pilihan alokasi yang lain.
Silahkan lihat dan nilai dalam praktiknya.
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H