Sebagai masyarakat yang berpegang kepada nilai-nilai Islam, masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat menempatkan bulan Muharram dalam kalender hijriyah sebagai salah satu momen untuk melakukan hal-hal yang dipandang mulia. Bulan Muharram juga sering diberi atribut sebagai saat yang tepat untuk melakukan penyucian kembali, tentu saja selain bulan Ramadhan. Kalau Ramadhan sering difokuskan pada laku individu, maka Muharram lebih sering dikaitkan dengan laku komunitas.
Maka rentang antara 1 sampai 10 Muharram selalu dipandang sebagai momen yang tepat untuk melakukan lompatan kontemplasi, termasuk bagi masyarakat Desa Batu Rotok yang kami kunjungi. Menyambut Muharram 1444H, warga Desa Batu Rotok menggelar Festival Kebudayaan yang direncanakan selama 10 sepuluh hari. Gairah itu terpancar keluar dari raut wajah warga yang meski berbalut jaket plus sarung, getarnya menembus dinginnya udara malam saat pembukaan tepat di penghujung Bulan Juni tahun 2022 ini.
Undangan dari pelosok Sumbawa ini terasa sangat menggoda. Undangan yang mengalahkan godaan kemungkinan rasa letih. Lebih tepat terasa sebagai rayuan, ahaii….!
Elevasi sekitar 4000 kaki di atas permukaan laut menjadikan wilayah ini relatif tidak padat dengan pemukiman. Gabungkan elevasi yang tinggi dengan jumlah penduduk yang jarang maka kita akan memahami kenapa akses transportasi ke Batu Rotok tidak semulus di wilayah pesisir pantai namun tidak berarti sulit dikunjungi. Kalaupun ada yang merasa sulit, maka itu lebih karena sulit keluar dari kebiasaan, atau bahasa kerennya zona nyaman. Padahal nyaman atau tidaknya sesuatu sangat tergantung dari persepsi individual.
Mencoba melawan persepsi tersebut, kami menyusuri perjalanan yang silih berganti antara jalan aspal dan jalan berbatu. Tanjakan beriring kelokan tajam mengiringi roda mobil 4x4 yang kami tumpangi. Semakin tinggi elevasi, semakin dekat tujuan semakin merapat juga jurang di kiri kanan lintasan jalan yang kami rayapi.
Sesekali berpapasan dengan pengendara trail membonceng karung berisi biji kopi menandakan bahwa kami tidak sedang menuju ke daerah tak bertuan. Tamanan pakis yang melambai di pinggir jalan menegaskan bahwa kami memang sedang berada di atap Pulau Sumbawa.
Dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dari Kota Sumbawa Besar untuk mencapai Desa Batu Rotok.
Dibutuhkan jaket dan selimut tebal kalau hendak melewatkan malam di Batu Rotok, dan diperlukan ketegaran badan kalau anda hendak mandi baik sore maupun pagi. Brrrr……!
Kalau anda penikmat kopi, maka Desa Batu Rotok bersama beberapa desa tetangga lainnya merupakan tempat yang tepat mendapatkan kopi alami karena wilayah Batu Rotok berada pada bentang alam yang menjadi kawasan tumbuh dan berkembangnya kopi di Kabupaten Sumbawa. Suka tidak suka, untuk hal ini kita harus berterima kepada Kolonial Belanda yang telah mewariskan perkebunan kopi bagi desa-desa yang berada di atap Pulau Sumbawa ini.
Nah di geografis seperti itulah mencuat gagasan berani dari komunitas setempat untuk mendirikan museum.
Dalam bincang-bincang dengan Kepala Desa dan beberapa tokoh masyarakat samar-samar tertangkap kebanggaan bahwa komunitas setempat masih memiliki dan menyimpan warisan perkakas hidup leluhur mereka. Iklim yang dingin ternyata membantu sehingga perkakas berburu, menangkap ikan, mengolah lahan dan menyimpan kekayaan masih relatif terjaga kondisinya.