Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggagas Museum Komunitas dari Desa Pelosok

3 Agustus 2022   15:48 Diperbarui: 3 Agustus 2022   15:50 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyiapkan Minyak Sumbawa (Foto: Akahito Sanjaya)

Sebagai masyarakat yang berpegang kepada nilai-nilai Islam, masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat menempatkan bulan Muharram dalam kalender hijriyah sebagai salah satu momen untuk melakukan hal-hal yang dipandang mulia. Bulan Muharram juga sering diberi atribut sebagai saat yang tepat untuk melakukan penyucian kembali, tentu saja selain bulan Ramadhan. Kalau Ramadhan sering difokuskan pada laku individu, maka Muharram lebih sering dikaitkan dengan laku komunitas.

Maka rentang antara 1 sampai 10 Muharram selalu dipandang sebagai momen yang tepat untuk melakukan lompatan kontemplasi, termasuk bagi masyarakat Desa Batu Rotok yang kami kunjungi. Menyambut Muharram 1444H, warga Desa Batu Rotok menggelar Festival Kebudayaan yang direncanakan selama 10 sepuluh hari. Gairah itu terpancar keluar dari raut wajah warga yang meski berbalut jaket plus sarung, getarnya menembus dinginnya udara malam saat pembukaan tepat di penghujung Bulan Juni tahun 2022 ini.

Festival Kebudayaan Batu Rotok (koleksi pribadi)
Festival Kebudayaan Batu Rotok (koleksi pribadi)

Menyiapkan Festival Kebudayaan Batu Rotok (Foto: Akahito Sanjaya)
Menyiapkan Festival Kebudayaan Batu Rotok (Foto: Akahito Sanjaya)
Undangan dari pelosok Sumbawa ini terasa sangat menggoda. Undangan yang mengalahkan godaan kemungkinan rasa letih. Lebih tepat terasa sebagai rayuan, ahaii….!
ak-foto3-62ea31a708a8b555ae5ecee2.jpeg
ak-foto3-62ea31a708a8b555ae5ecee2.jpeg
Permainan rakyat (Foto: Akahito Sanjaya)

Menyiapkan Minyak Sumbawa (Foto: Akahito Sanjaya)
Menyiapkan Minyak Sumbawa (Foto: Akahito Sanjaya)
Elevasi sekitar 4000 kaki di atas permukaan laut menjadikan wilayah ini relatif tidak padat dengan pemukiman. Gabungkan elevasi yang tinggi dengan jumlah penduduk yang jarang maka kita akan memahami kenapa akses transportasi ke Batu Rotok tidak semulus di wilayah pesisir pantai namun tidak berarti sulit dikunjungi. Kalaupun ada yang merasa sulit, maka itu lebih karena sulit keluar dari kebiasaan, atau bahasa kerennya zona nyaman. Padahal nyaman atau tidaknya sesuatu sangat tergantung dari persepsi individual.

Mencoba melawan persepsi tersebut, kami menyusuri perjalanan yang silih berganti antara jalan aspal dan jalan berbatu. Tanjakan beriring kelokan tajam mengiringi roda mobil 4x4 yang kami tumpangi. Semakin tinggi elevasi, semakin dekat tujuan semakin merapat juga jurang di kiri kanan lintasan jalan yang kami rayapi.

Sesekali berpapasan dengan pengendara trail membonceng karung berisi biji kopi menandakan bahwa kami tidak sedang menuju ke daerah tak bertuan. Tamanan pakis yang melambai di pinggir jalan menegaskan bahwa kami memang sedang berada di atap Pulau Sumbawa.

Dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dari Kota Sumbawa Besar untuk mencapai Desa Batu Rotok.

Dibutuhkan jaket dan selimut tebal kalau hendak melewatkan malam di Batu Rotok, dan diperlukan ketegaran badan kalau anda hendak mandi baik sore maupun pagi. Brrrr……!

whatsapp-image-2022-08-03-at-15-21-20-62ea30b808a8b511ea1ee448.jpeg
whatsapp-image-2022-08-03-at-15-21-20-62ea30b808a8b511ea1ee448.jpeg
Pemuka agama di Batu Rotok (Dokumentasi pribadi)

Suasana pagi Desa Batu Rotok (Dokumentasi pribadi)
Suasana pagi Desa Batu Rotok (Dokumentasi pribadi)
Kalau anda penikmat kopi, maka Desa Batu Rotok bersama beberapa desa tetangga lainnya merupakan tempat yang tepat mendapatkan kopi alami karena wilayah Batu Rotok berada pada bentang alam yang menjadi kawasan tumbuh dan berkembangnya kopi di Kabupaten Sumbawa. Suka tidak suka, untuk hal ini kita harus berterima kepada Kolonial Belanda yang telah mewariskan perkebunan kopi bagi desa-desa yang berada di atap Pulau Sumbawa ini.

Nah di geografis seperti itulah mencuat gagasan berani dari komunitas setempat untuk mendirikan museum.

Dalam bincang-bincang dengan Kepala Desa dan beberapa tokoh masyarakat samar-samar tertangkap kebanggaan bahwa komunitas setempat masih memiliki dan menyimpan warisan perkakas hidup leluhur mereka. Iklim yang dingin ternyata membantu sehingga perkakas berburu, menangkap ikan, mengolah lahan dan menyimpan kekayaan masih relatif terjaga kondisinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun