Dari sekian banyak ragam tulisan, fiksi bagi sebagian mungkin dipandang remeh. Tidak ada aturan baku yang menentukan alur sebuah fiksi disajikan. Tidak juga ada kewajiban untuk merujuk ke tulisan lain dari pihak yang dipandang kredibel sebagai rujukan. Apalagi ketika fiksi itu mengambil bentuk puisi.Â
Bahkan dengan berlindung pada litentia poetica, penulis seolah memiliki kemewahan untuk bereksperimen dengan pilihan kata tanpa batas dalam struktur kalimat yang tidak baku sekalipun.
Pada tulisan nonfiksi, rumusnya jelas. Alur sajian runut, tampilan data harus terverifikasi, rujukan ke tulisan lain harus jujur diungkap dan simpulan atau penutup harus mampu menjawab judul atau rumusan yang disajikan di bagian-bagian awal. Tambah lagi kalau menulis pada media tertentu, harus pandai-pandai memeriksa ejaan yang digunakan, plus tema sesuai dengan ideologi pemilik media.
Namun fakta bahwa fiksi memiliki segmen penulis dan pembaca atau penikmatnya sendiri akan membawa kita pada hipotesis bahwa tidak semua ungkapan pikiran, dalam bentuk tulisan, harus disajikan dalam kerangka logika yang kaku dan lurus-lurus.Â
Pemenang Nobel Sastra banyak dikenal karena tulisan fiksinya yang menantang, menggugah bahkan menohok pembaca.
Rasanya masuk akal, karena bukankah ada yang menikmati pikiran yang dituangkan lewat lagu, lintasan ucapan pada sebuah foto dan bukankah meme-pun banyak penikmatnya?
Rasa penasaran semacam itu, yang dipantik oleh beberapa Kompasianer yang konsisten menulis dalam jalur fiksi, mendorong saya untuk mencoba menikmati dan membaca fiksi. Selain beberapa tulisan di Kompasiana, pilihan yang tidak terlalu jauh meninggalkan mindset saya sebelumnya adalah mencoba menikmati cerita pendek di KOMPAS. Kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Penerbit Buku KOMPAS dari beberapa tahun edisi itu menjadi awal perkenalan serius dengan dunia fiksi.
Jadi fiksi itu dinikmati atau dianalisis?
Hal pertama saya lakukan adalah mencoba menyadarkan diri bahwa tulisan ada yang bercorak kreatif dan ada juga yang bercorak empiris. Meski kedua corak tersebut dalam proses penulisannya saling memperkuat, tapi paling tidak pengolahan gagasan antara keduanya berbeda.Â
Kalau tulisan bercorak empiris bertabur data dan fakta dan diuraikan dengan logika yang ketat, maka yang kedua bebas dari aturan ketat tersebut. Namanya juga kreatif.