Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Investasi dan Kesejahteraan, Rindu Dendam Berbalut Regulasi

24 Oktober 2020   20:20 Diperbarui: 25 Oktober 2020   10:15 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (freeimages.com/Ricardo Marques) 

Menyimak ragam argumen seputar Omnibus Law (UU Cipta Kerja) secara substansi paling tidak kita akan mendapat 2 (dua) kelompok argumen. 

Kelompok pertama meyakini bahwa UU Cipta Kerja akan menjadi perangsang bagi pemilik modal untuk segera melakukan investasi. Hal-hal yang sering menjadi hambatan berusaha pada masa lalu akan dibenahi melalui UU ini, sehingga segera akan terjadi penciptaan lapangan kerja baru dan pada akhirnya kesejahteraan akan didorong naik.

Berbeda dengan kelompok pertama yang optimis memandang ke depan, kelompok kedua mendasarkan penilaiannya dari pengalaman masa lalu dan hari ini. Akumulasi getir dan sakit akibat tindak-tanduk investor, yang diwakili oleh pengusaha, dinilai tidaklah pernah berpihak kepada kesejahteraan mayoritas.

Ketika kita membuka-buka buku tentang investasi, maka kita akan menemukan bahwa kinerja pengusaha atau ukuran keberhasilan investasi yang utama adalah tingkat pengembalian modal, baik diukur dalam jumlah maupun waktu pengembaliannya. Pekerja hanya menjadi faktor untuk mendorong pertumbuhan kapital. 

Karyawan yang hanya akan memperbesar biaya produksi bukan insentif terhadap tingkat pengembalian investasi. Apalagi kelompok di luar yang potensial dirugikan tidak akan menjadi perhatian utama, kecuali kalau akan mengganggu arus kas masuk atau menghambat proses produksi.

Keberpihakan kepada investor karenanya dipandang akan membuat pekerja dan kelompok lain di luar investor akan terpinggirkan.

Tentu akan selalu ada kejadian atau tindakan yang benturan keduanya tidak terjadi. Investasi dan tindakan pengusaha ada yang tetap menjaga tingkat dan kualitas kesejahteraan karyawannya dan juga memperhatikan dengan serius dampak lingkungan.

Investasi sesungguhnya memang dirindukan. Tambahan investasi memberi peluang bergeraknya ekonomi lebih cepat yang pergulirannya juga mendorong perputaran sumber daya yang sebagiannya akan dinikmati oleh karyawan dan masyarakat luas.

Namun investor yang tidak menjamin kesejahteraan karyawan dan mengancam kualitas hidup masyarakat akan dimasukkan dalam stigma dendam. 

Kemudahan berinvestasi, banyaknya investor dan tingginya nilai investasi tidaklah serta merta memberi kepercayaan publik akan meningkatnya kesejahteraan.

Algoritma informasi melalui media sosial atau media berbasis teknologi informasi (internet) mendukung pengerasan posisi kelompok yang berseberangan dalam memandang suatu isu publik. Kecerdasan buatan yang menjadi salah satu dasar pengumpulan, pengolahan dan penyajian informasi dirancang untuk memahami keinginan pencari informasi.

Ini yang menjadi penjelasan ketika kita melakukan pencarian di mesin peramban dengan ciri tertentu, maka saat berkunjung berikutnya informasi dengan ciri serupa akan disajikan bahkan meski kita tidak sedang membutuhkannya. Contohnya kalau Anda pernah melakukan pencarian produk pupuk tanaman, maka kunjungan berikutnya informasi serupa akan lebih banyak ditampilkan. Kalau pada kunjungan awal Anda disajikan apa yang dibutuhkan, maka kesempatan berikutnya Anda akan disajikan apa yang "mungkin" dibutuhkan tentu dengan titipan pesan sponsor.

Singkatnya informasi yang akan Anda dapatkan tergantung apa yang Anda cari. Apa yang Anda cari tentu apa yang akan menyenangkan pikiran dan perasaan atau memenuhi kebutuhan. 

Ketika pakem ini yang terjadi, kembali ke tema awal tulisan ini, pendukung kelompok kedua akan dibanjiri informasi yang mendukung pendapatnya untuk menolak. Demikian pula kelompok pertama akan semakin kaya data dan informasi untuk menguatkan posisi pendapatnya ikhwal manfaat UU ini.

Pada kontek UU Cipta Kerja, pola di atas sadar atau tidak membawa ketegangan pada kedua belah pihak. Penolak menyajikan argumentasi yang mendukung sikap penolakannya. Pendukung akan semakin kuat menekankan agar UU segera dieksekusi dan tidak boleh ada penolakan.

Kelompok pertama memandang sikap kelompok kedua sebagai keonaran, pembangkangan dan atribut berbau diksi pelanggaran hukum lainnya. Kelompok kedua sebaliknya semakin memandang kelompok pertama sebagai pendukung oligarki, tidak demokratis dan mengabaikan prinsip akuntabilitas.

Apa yang harus dilakukan?

Sebelum mencoba menjawab hal tersebut, mari coba melihat data.

Data yang dibutuhkan untuk mendukung investasi tentu gambaran seputar mudah tidaknya melakukan investasi. 

Merujuk kepada Doing Business 2020 yang diterbitkan World Bank, kita menemukan bahwa peringkat kemudahan berusaha di Indonesia berada di posisi 73, di bawah Malaysia 12, Thailand 21, Brunei 66 dan Vietnam 70. Jangan sebut Singapura yang berada di peringkat 2 dunia di bawah Selandia Baru.

Apa artinya?

Dokumen tersebut memetakan regulasi yang ada terutama yang berkaitan dengan efisiensi dan dukungan kebebasan berusaha dengan penekanan pada aspek penyederhanaan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung sektor swasta dan pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi atau investasi.

Rangking tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tidak lebih seksi dibanding Brunei, Vietnam Thailand dan Malaysia dalam menarik investasi, bahkan Rwanda di Afrika berada jauh di atas Indonesia (posisi 38). 

Di era di mana persaingan begitu ketat dewasa ini, rangking tersebut menunjukkan bahwa banyak hal yang memang harus diperbaiki, namun daftar tersebut terdiri dari 190 negara sehingga untuk menghibur diri, kita dapat mengatakan bahwa rangking tersebut "tidak buruk-buruk amat".

Menggunakan informasi ini argumentasi pentingnya UU Omnibus mendapat pembenaran, meski masih harus dibuktikan juga apakah substansi UU Cipta Kerja memang akan memperbaiki skor untuk perangkingan tersebut di tahun-tahun mendatang.

Di sisi lain, mengatakan rangking tersebut "tidaklah buruk-buruk amat" menjadikan argumen peringkat yang tidak cukup tinggi ini tidak dianggap terlalu penting oleh penentang UU Cipta Kerja.

Kita abaikan dulu klaim para pakar hukum yang menilai prosedur dan substansi UU Cipta Kerja mengandung banyak cacat. Sembari menunggu naskah final dan resmi dari Pemerintah agar kita tidak dituding menyebar hoaks, lebih aman kalau kita mencoba menelusuri betulkah investasi berhubungan dengan kesejahteraan.

Janji kesejahteraan yang dihubungkan dengan tingkat investasi dapat kita telusuri buktinya, paling tidak dengan menelaah data. Data untuk menilai kesejahteraan dapat kita gunakan laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan oleh UNDP, lembaga yang bernaung di bawah PBB. 

IPM merupakan indikator global untuk membandingkan kemajuan pembangunan antar negara yang mencakup penilaian dari aspek kesehatan (angka harapan hidup), pendidikan (lama bersekolah) dan ekonomi (pendapatan per kapita).

Dalam rilis terakhir, IPM Indonesia berada di rangking 111 dengan skor 0,707. Bandingkan dengan Singapura rangking 9 skor 0,935, Malaysia 61/0,804, Thailand 77/0,765, Brunei 43/0,845 dan Vietnam 118/0,693. Rwanda yang kemudahan berusahanya jauh di atas Indonesia, memiliki peringkat pembangunan manusia 157 dengan skor 0,536.

Apa yang dapat disimpulkan dari kedua data tersebut?

Secara sederhana terlihat bahwa peringkat kemudahan berusaha tidak cukup kuat berhubungan dengan peringkat kesejahteraan. 

Singapura yang kemudahan berusahanya di peringkat 2, ternyata tingkat kesejahteraannya ada di peringkat 9. 

Rwanda yang peringkat kemudahan berusahanya jauh di atas Indonesia, 38 dibanding 73, ternyata peringkat kesejahteraan penduduknya ada di 157 atau cukup jauh di bawah Indonesia.

Menggunakan kedua data tersebut dan mencoba menelusuri argumen kedua kelompok yang disebut di awal tulisan ini, kita akan menemukan masih adanya ruang kosong penjelasan dari pembuat undang-undang untuk membuktikan bahwa investasi atau kemudahan berusaha otomatis akan menghasilkan kesejahteraan terutama kesejahteraan pekerja.

Informasi dan penjelasan yang tersampaikan seputar hubungan antara investasi dan kesejahteraan nyatanya tidak sampai membuat kita mengatakan dengan mantap bahwa quod erat demonstrandum, frasa Latin yang kira-kira artinya apa yang ditanyakan sudah ditunjukkan bukti jawabannya.

Bahwa investasi penting, tidak ada yang membantah. Namun kesejahteraan yang tidak kuat jaminannya, paling tidak dalam persepsi pekerja, tidak juga bisa dikesampingkan karena para pekerja lah yang merasakannya.

Kajian akademis yang seyogianya menjawab ketidakrunutan penjelasan yang beredar di media akhirnya digantikan oleh argumentasi klaim dari masing-masing kelompok beserta stigma hoaks yang mengikutinya.

Investasi yang dirindukan, dendam hubungan industrial yang tidak harmonis sepertinya hanya akan bisa dipertemukan dengan mesra kalau kecurigaan dan saling tidak percaya mendapat ruang yang cukup untuk saling berbagi keluh-kesah. 

Ibarat sepasang kekasih yang saling membutuhkan, keterbukaanlah yang bisa mengurai kenapa keduanya memandang ke arah yang berlawanan. Membiarkan ruang pemisah diisi oleh pihak ketiga hanya akan menambah runyam soal.

Penulis teringat petuah Bugis:

Duami passaleng nasabari nasisala rupa tauwwe ri lalenna lino, iyanaritu:

  1. Anu temmanessae
  2. Anu tenripahangnge

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah:

Hanya dua hal penyebab perselisihan antar sesama manusia di dunia, yaitu (1) hal yang tidak jelas dan (2) hal yang tidak dipahami.

Dalam kontek investasi dan pekerja, maka tentu saja kejelasan dan pemahaman haruslah berlaku timbal balik. Pengusaha dan pembuat undang-undang memahami perasaan pekerja lalu memberi kejelasan dan sebaliknya pekerja juga memahami posisi pengusaha dan memberi kejelasan dan jaminan bahwa pekerja tidak akan menjadi penghambat pengembalian modal yang ditanam.

Bagaimana dengan aspek lain seperti lingkungan hidup atau peran birokrasi?

Mungkin kesempatan lain atau penulis lain yang akan membahasnya kelak.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun