Singapura yang kemudahan berusahanya di peringkat 2, ternyata tingkat kesejahteraannya ada di peringkat 9.Â
Rwanda yang peringkat kemudahan berusahanya jauh di atas Indonesia, 38 dibanding 73, ternyata peringkat kesejahteraan penduduknya ada di 157 atau cukup jauh di bawah Indonesia.
Menggunakan kedua data tersebut dan mencoba menelusuri argumen kedua kelompok yang disebut di awal tulisan ini, kita akan menemukan masih adanya ruang kosong penjelasan dari pembuat undang-undang untuk membuktikan bahwa investasi atau kemudahan berusaha otomatis akan menghasilkan kesejahteraan terutama kesejahteraan pekerja.
Informasi dan penjelasan yang tersampaikan seputar hubungan antara investasi dan kesejahteraan nyatanya tidak sampai membuat kita mengatakan dengan mantap bahwa quod erat demonstrandum, frasa Latin yang kira-kira artinya apa yang ditanyakan sudah ditunjukkan bukti jawabannya.
Bahwa investasi penting, tidak ada yang membantah. Namun kesejahteraan yang tidak kuat jaminannya, paling tidak dalam persepsi pekerja, tidak juga bisa dikesampingkan karena para pekerja lah yang merasakannya.
Kajian akademis yang seyogianya menjawab ketidakrunutan penjelasan yang beredar di media akhirnya digantikan oleh argumentasi klaim dari masing-masing kelompok beserta stigma hoaks yang mengikutinya.
Investasi yang dirindukan, dendam hubungan industrial yang tidak harmonis sepertinya hanya akan bisa dipertemukan dengan mesra kalau kecurigaan dan saling tidak percaya mendapat ruang yang cukup untuk saling berbagi keluh-kesah.Â
Ibarat sepasang kekasih yang saling membutuhkan, keterbukaanlah yang bisa mengurai kenapa keduanya memandang ke arah yang berlawanan. Membiarkan ruang pemisah diisi oleh pihak ketiga hanya akan menambah runyam soal.
Penulis teringat petuah Bugis:
Duami passaleng nasabari nasisala rupa tauwwe ri lalenna lino, iyanaritu:
- Anu temmanessae
- Anu tenripahangnge
Terjemahan bebasnya kira-kira adalah:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!