Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Flores Vitae, Warna Kehidupan dari Timur

19 September 2020   14:32 Diperbarui: 20 September 2020   18:05 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah melalui pemeriksaan dokumen perihal kesehatan, kami melangkah naik ke kapal Ferry yang akan menyeberangkan kami dari daratan Pulau Sumbawa menuju Pulau Flores tepatnya ke Labuhan Bajo. 

Pelabuhan penyeberangan Sape
Pelabuhan penyeberangan Sape
Pelabuhan Sape sendiri dicapai sekitar 1 jam perjalanan darat dari Kota Bima menyusuri lekuk-lekuk pegunungan yang menyajikan pemandangan indah diselingi perkampungan dan persawahan yang ditanami bawang. 

Ya, daerah ini memiliki hamparan penanaman bawang yang cukup banyak yang produksinya menjangkau sampai Makassar atau Surabaya.

Aktivitas masyarakat di Pelabuhan Sape
Aktivitas masyarakat di Pelabuhan Sape
Perjalanan menggunakan Ferry cukup ramah bagi kantong, hanya sekitar 85 ribu rupiah untuk penumpang dewasa. Dibanding menggunakan penerbangan tentu saja tarif ini sangat terjangkau. 

Meski dari sisi waktu tempuh kita harus siap-siap menikmati perjalanan laut sekitar 8 jam namun tanpa terlalu dikejar waktu, perjalanan seharian itu kesempatan untuk menikmati betapa kayanya Nusantara dengan pulau-pulau kecil dan eksotis.

Pemukiman warga di daerah Pelabuhan Sape
Pemukiman warga di daerah Pelabuhan Sape
Fery angkat jangkar pukul 10 pagi, meski jadwal resminya pukul 9 pagi. Terlambat 1 jam itu sudah biasa, kata Iwan Fals. Namun kami sudah bersiap bahwa sehari penuh adalah waktu untuk menyeberang sehingga meleset 1 atau 2 jam tidak terlalu berpengaruh terhadap rencana perjalanan selanjutnya karena tetap saja jadwalnya kami akan sandar pada sore hari di Pelabuhan Labuhan Bajo.

Pelan-pelan ujung barat Pulau Sumbawa mengecil penampakannya di ufuk, semakin samar juga terlihat puncak Gunung Tambora di kejauhan meski matahari semakin mendekat ke ufuk.

Tinggallah menikmati ayunan gelombang yang membuai. 

Di geladak fery Sape - Labuan Bajo
Di geladak fery Sape - Labuan Bajo
Ayunan gelombang yang menjadi teman bermain dalam keseharian rakyat-rakyat di gugusan kepulauan yang berbaris membentuk rangkaian ibarat Sabuk Nusantara.

Memandang pulau-pulau kecil di arah Selatan rute perjalanan kami, ibarat memandang kanvas sejarah maritim Nusantara. Indonesia timur yang kaya dengan pulau-pulau menjadikan wilayah ini juga memiliki kekayaan alam yang menggiurkan sampai ke Eropa. 

Bukalah pelajaran sejarah kembali, maka kita akan menemukan kisah bahwa di Timur Indonesia ini lah dulunya bangsa Eropa mulai saling bertarung di laut berebut hegemoni komoditi rempah-rempah dan hasil bumi.

Di sela-sela gugusan pulau-pulau itu pula batasan antara bajak laut dan raja laut terkadang kabur karena ditentukan oleh kekuatan kelompok atau armada masing-masing.

Ibarat bunga, keindahan dan kemolekannya telah memancing kedatangan bangsa dari belahan utara untuk beradu kekuatan, bertanding senjata dan menguji keahlian bernavigasi di jaman ketika peta pun mungkin belum sempurna. 

Saya tidak bercerita sejarah di sini, hanya untuk mengusir kesuntukan karena perjalanan 8 jam bukan waktu yang singkat apalagi ketika sinyal telekomunikasi terkadang meredup.

Sore hari Ferry merapat dengan selamat di Labuhan Bajo, pintu masuk ke Pulau Flores selain Bandara Komodo. Setelah melewati pemeriksaan dokumen kesehatan yang diatur dalam protokol kesehatan penanganan pandemi Covid-19 kami kemudian menuju ke kediaman salah seorang keluarga yang sudah lama bermukim di sini.

Mendarat di Labuhan Bajo
Mendarat di Labuhan Bajo
Lepas dari daerah kawasan pelabuhan, kota Labuhan Bajo sebagian besarnya berada di punggung perbukitan. Jalanan di daerah pelabuhan sepi dari turis asing yang biasanya lalu lalang di antara kafe-kafe, pertokoan dan gerai penyedia layanan wisata. Pandemi Covid-19 rupanya mempengaruhi keberadaan mereka.

Setelah membersihkan badan, duduk di teras belakang rumah ternyata menyajikan pemandangan malam yang indah. Mata memandang ke arah barat dan disajikan keelokan panorama pelabuhan di waktu malam.

dokpri
dokpri
Teluk yang tenang menjadi tempat kapal-kapal lego jangkar dengan tenang. Kapal barang, kapal fery, kapal pesiar dan kapal-kapal kecil terbuai dalam dekapan teluk Pelabuhan Bajo. Tak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Komodo telah menjadi daya tarik utama geliat perekonomian daerah ini.

Kadal raksasa yang keberadaannya bukanlah di Pulau Flores ini telah mendatangkan penghidupan bagi para pendatang dan tentu juga imbasnya bagi penduduk setempat melalui rantai pariwisata. Bahkan Presiden Joko Widodo pun lalu menetapkan Labuhan Bajo sebagai destinasi pariwisata premium, tentu karena keunikannya.

Sunset tampak dari Labuhan Bajo
Sunset tampak dari Labuhan Bajo
Sunset tampak dari Labuhan Bajo
Sunset tampak dari Labuhan Bajo
Sembari kembali mengenang betapa diaspora suku-suku Nusantara berlabuh, menetap lalu beranak pinak di Pulau Flores ini, terbayang rencana besok pagi untuk mencoba menjamah pulau-pulau kecil yang terserak di depan.

Malam kami beristirahat sesekali ditingkahi suara adzan dari mesjid yang bersebelahan dengan gereja.

Suasana pagi di teluk Pelabuhan Bajo
Suasana pagi di teluk Pelabuhan Bajo
Menyapa pulau

Pulau yang menjadi tujuan favorit wasatawan umumnya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar. Habitat komodo yang utama berada di Komodo dan Rinca dan sedikit sekali di Pulau Padar. Kesepakatan dengan rombongan akhirnya kami menetapkan tujuan ke Pulau Padar.

Hunian penduduk di pulau-pulau kecil
Hunian penduduk di pulau-pulau kecil
Perjalanan ke Pulau Padar ditempuh sekitar 3 jam, menyusuri tepi pulau-pulau kecil yang sebagiannya berpenghuni sebagian lagi tidak berpenghuni. Sesekali melewati gundukan pasir putih yang muncul ketika air surut
Mendarat di Pulau Padar
Mendarat di Pulau Padar

Sampai di Pulau Padar
Sampai di Pulau Padar
Dermaga di Pulau Padar tampak dari ketinggian
Dermaga di Pulau Padar tampak dari ketinggian
Padar menawarkan spot untuk berfoto yang luar biasa, meski untuk menggapai tempat favoritnya di ketinggian anda harus menaiki 800-an anak tangga. Capek? Tentu pendakian setinggi itu menguras stamina. 

Khas wilayah Nusa Tenggara yang didominasi rumput dan ilalang, dengan udara yang cukup kering tanpa rimbunan pepohonan tempat berteduh, perjalanan mendaki juga cukup menguji semangat.

Uji semangat menaklukkan 809 anak tangga
Uji semangat menaklukkan 809 anak tangga
Jagawana (ranger) yang menemani meyakinkan kami bahwa sekalipun ada beberapa ekor Komodo di pulau ini, namun rute yang kami lalui aman dari kadal raksasa.

Dan sesampai di ujung pendakian, panorama yang terhampar memang luar biasa. 

Padar dan pendar kecantikannya
Padar dan pendar kecantikannya
Terbayar rasa letih, lelah dan hampir putus asa ketika mendaki anak tangga yang rasanya tidak habis-habis ditapaki tadi. Dari ketinggian nampaklah betapa indah Nusantara, kayak kalimat di lagu Koes Plus he he. 

Pasir yang memendarkan warna pink diterpa sinar matahari dan dengan lekuk pantai yang eksotis, tidak heran banyak yang ingin mendaki ke sini. Apalagi kalau ingin mendapatkan spot selfie yang unik.

Pulau Kelor
Pulau Kelor
Pulau Kelor
Pulau Kelor
Hmm, kalau saja ada tempat menginap di pulau ini, tentu akan banyak yang ingin langsung ke tempat ini tanpa perlu ke daratan Labuhan Bajo. Tapi tempat ini bagian dari Taman Nasional Komodo sehingga cukuplah mengambil gambar sebagai pelepas rasa lelah.

Selepas mengikuti beberapa acara keluarga di kota Labuhan Bajo ini, kami meneruskan perjalanan ke arah timur. Tujuan kami adalah perbatasan Manggarai dan Manggarai Timur tepatnya di Kecamatan Reo yang kalau tidak salah kampung halamannya Pak Menteri Jhony Plate.

Perjalanan darat yang kami tempuh menyusuri punggung bukit dan gunung sehingga didominasi oleh jalan yang berkelok-kelok nyaris tanpa putus. 

Selama sekitar 5 jam perjalanan, gambaran Nusa Tenggara sebagai daerah yang kering, tandus dan hanya dipenuhi oleh savana terpatahkan oleh pemandangan hamparan alam yang subur.

Saya menemukan jawaban kenapa pulau ini dinamakan Flores yang berarti bunga oleh bangsa Portugis dulu. Keindahan panorama alamnya yang sesekali menampakkan persawahan bertingkat (terasering) membuat perjalanan 5 jam tidak terlalu terasa membosankan. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan anak yang pulang dari sekolah Minggu di gereja.

Kehidupan yang lebih berwarna juga terasa sesampainya kami di Reo. Keindahan yang mengalir bersama keteduhan. 

Biska (bis kayu), salah satu moda transportasi, truk yang dimodifikasi diberi tempat duduk bagi penumpang
Biska (bis kayu), salah satu moda transportasi, truk yang dimodifikasi diberi tempat duduk bagi penumpang
Matahari terbit di timur, pagi hari di muara sungai Reo
Matahari terbit di timur, pagi hari di muara sungai Reo
Mesjid yang berdekatan dengan gereja sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda intoleransi. Ah jangan-jangan intoleransi yang sering diteriakkan di media hanya mainan para elit.

Kami memilih destinasi Reo, selain karena ada keluarga yang menetap di sana, juga karena kami berencana memilih rute kembali ke Pulau Sumbawa melalui Pelabuhan Kedindi di Reo ini dengan menumpang kapal Sabuk Nusantara, semacam kapal perintis.

Suasana Pelabuhan Kedindi, Reo
Suasana Pelabuhan Kedindi, Reo
Kapal perintis yang melayani rakyat kecil ini, tiket dari Reo ke Bima hanya 25 ribu rupiah per orang, akan membawa kami berlayar kembali ke Pulau Sumbawa dalam perjalanan melintasi malam. 

Berangkat sore dari Pelabuhan Kedindi dan masuk Pelabuhan Bima keesokan harinya bersamaan dengan terbitnya fajar. 

Jelang fajar memasuki Pelabuhan Bima
Jelang fajar memasuki Pelabuhan Bima
Bulan terbenam di ufuk daratan Pulau Sumbawa
Bulan terbenam di ufuk daratan Pulau Sumbawa
Bulan yang terbenam seolah mengirimi kami salam perpisahan mengakhiri episode perjalanan penuh bunga yang mewarnai sepotong kehidupan di Nusantara. Sembari merenguk secangkir Kopi Flores dan seiring matahari terbit, salam dari timur. Salam dari Flores Vitae

*Catatan: semua foto koleksi pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun