Setelah melalui pemeriksaan dokumen perihal kesehatan, kami melangkah naik ke kapal Ferry yang akan menyeberangkan kami dari daratan Pulau Sumbawa menuju Pulau Flores tepatnya ke Labuhan Bajo. Pelabuhan Sape sendiri dicapai sekitar 1 jam perjalanan darat dari Kota Bima menyusuri lekuk-lekuk pegunungan yang menyajikan pemandangan indah diselingi perkampungan dan persawahan yang ditanami bawang.Â
Ya, daerah ini memiliki hamparan penanaman bawang yang cukup banyak yang produksinya menjangkau sampai Makassar atau Surabaya.
Perjalanan menggunakan Ferry cukup ramah bagi kantong, hanya sekitar 85 ribu rupiah untuk penumpang dewasa. Dibanding menggunakan penerbangan tentu saja tarif ini sangat terjangkau.Â
Meski dari sisi waktu tempuh kita harus siap-siap menikmati perjalanan laut sekitar 8 jam namun tanpa terlalu dikejar waktu, perjalanan seharian itu kesempatan untuk menikmati betapa kayanya Nusantara dengan pulau-pulau kecil dan eksotis.
Fery angkat jangkar pukul 10 pagi, meski jadwal resminya pukul 9 pagi. Terlambat 1 jam itu sudah biasa, kata Iwan Fals. Namun kami sudah bersiap bahwa sehari penuh adalah waktu untuk menyeberang sehingga meleset 1 atau 2 jam tidak terlalu berpengaruh terhadap rencana perjalanan selanjutnya karena tetap saja jadwalnya kami akan sandar pada sore hari di Pelabuhan Labuhan Bajo.
Pelan-pelan ujung barat Pulau Sumbawa mengecil penampakannya di ufuk, semakin samar juga terlihat puncak Gunung Tambora di kejauhan meski matahari semakin mendekat ke ufuk.
Tinggallah menikmati ayunan gelombang yang membuai.Â
Ayunan gelombang yang menjadi teman bermain dalam keseharian rakyat-rakyat di gugusan kepulauan yang berbaris membentuk rangkaian ibarat Sabuk Nusantara.Memandang pulau-pulau kecil di arah Selatan rute perjalanan kami, ibarat memandang kanvas sejarah maritim Nusantara. Indonesia timur yang kaya dengan pulau-pulau menjadikan wilayah ini juga memiliki kekayaan alam yang menggiurkan sampai ke Eropa.Â
Bukalah pelajaran sejarah kembali, maka kita akan menemukan kisah bahwa di Timur Indonesia ini lah dulunya bangsa Eropa mulai saling bertarung di laut berebut hegemoni komoditi rempah-rempah dan hasil bumi.
Di sela-sela gugusan pulau-pulau itu pula batasan antara bajak laut dan raja laut terkadang kabur karena ditentukan oleh kekuatan kelompok atau armada masing-masing.
Ibarat bunga, keindahan dan kemolekannya telah memancing kedatangan bangsa dari belahan utara untuk beradu kekuatan, bertanding senjata dan menguji keahlian bernavigasi di jaman ketika peta pun mungkin belum sempurna.Â
Saya tidak bercerita sejarah di sini, hanya untuk mengusir kesuntukan karena perjalanan 8 jam bukan waktu yang singkat apalagi ketika sinyal telekomunikasi terkadang meredup.
Sore hari Ferry merapat dengan selamat di Labuhan Bajo, pintu masuk ke Pulau Flores selain Bandara Komodo. Setelah melewati pemeriksaan dokumen kesehatan yang diatur dalam protokol kesehatan penanganan pandemi Covid-19 kami kemudian menuju ke kediaman salah seorang keluarga yang sudah lama bermukim di sini.
wisata. Pandemi Covid-19 rupanya mempengaruhi keberadaan mereka.
Lepas dari daerah kawasan pelabuhan, kota Labuhan Bajo sebagian besarnya berada di punggung perbukitan. Jalanan di daerah pelabuhan sepi dari turis asing yang biasanya lalu lalang di antara kafe-kafe, pertokoan dan gerai penyedia layananSetelah membersihkan badan, duduk di teras belakang rumah ternyata menyajikan pemandangan malam yang indah. Mata memandang ke arah barat dan disajikan keelokan panorama pelabuhan di waktu malam.
Kadal raksasa yang keberadaannya bukanlah di Pulau Flores ini telah mendatangkan penghidupan bagi para pendatang dan tentu juga imbasnya bagi penduduk setempat melalui rantai pariwisata. Bahkan Presiden Joko Widodo pun lalu menetapkan Labuhan Bajo sebagai destinasi pariwisata premium, tentu karena keunikannya.
Malam kami beristirahat sesekali ditingkahi suara adzan dari mesjid yang bersebelahan dengan gereja.
Menyapa pulau
Pulau yang menjadi tujuan favorit wasatawan umumnya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar. Habitat komodo yang utama berada di Komodo dan Rinca dan sedikit sekali di Pulau Padar. Kesepakatan dengan rombongan akhirnya kami menetapkan tujuan ke Pulau Padar.
Perjalanan ke Pulau Padar ditempuh sekitar 3 jam, menyusuri tepi pulau-pulau kecil yang sebagiannya berpenghuni sebagian lagi tidak berpenghuni. Sesekali melewati gundukan pasir putih yang muncul ketika air surut
Padar menawarkan spot untuk berfoto yang luar biasa, meski untuk menggapai tempat favoritnya di ketinggian anda harus menaiki 800-an anak tangga. Capek? Tentu pendakian setinggi itu menguras stamina.Â
Khas wilayah Nusa Tenggara yang didominasi rumput dan ilalang, dengan udara yang cukup kering tanpa rimbunan pepohonan tempat berteduh, perjalanan mendaki juga cukup menguji semangat.
Jagawana (ranger) yang menemani meyakinkan kami bahwa sekalipun ada beberapa ekor Komodo di pulau ini, namun rute yang kami lalui aman dari kadal raksasa.Dan sesampai di ujung pendakian, panorama yang terhampar memang luar biasa.Â
Terbayar rasa letih, lelah dan hampir putus asa ketika mendaki anak tangga yang rasanya tidak habis-habis ditapaki tadi. Dari ketinggian nampaklah betapa indah Nusantara, kayak kalimat di lagu Koes Plus he he.ÂPasir yang memendarkan warna pink diterpa sinar matahari dan dengan lekuk pantai yang eksotis, tidak heran banyak yang ingin mendaki ke sini. Apalagi kalau ingin mendapatkan spot selfie yang unik.
Hmm, kalau saja ada tempat menginap di pulau ini, tentu akan banyak yang ingin langsung ke tempat ini tanpa perlu ke daratan Labuhan Bajo. Tapi tempat ini bagian dari Taman Nasional Komodo sehingga cukuplah mengambil gambar sebagai pelepas rasa lelah.
Selepas mengikuti beberapa acara keluarga di kota Labuhan Bajo ini, kami meneruskan perjalanan ke arah timur. Tujuan kami adalah perbatasan Manggarai dan Manggarai Timur tepatnya di Kecamatan Reo yang kalau tidak salah kampung halamannya Pak Menteri Jhony Plate.
Perjalanan darat yang kami tempuh menyusuri punggung bukit dan gunung sehingga didominasi oleh jalan yang berkelok-kelok nyaris tanpa putus.Â
Selama sekitar 5 jam perjalanan, gambaran Nusa Tenggara sebagai daerah yang kering, tandus dan hanya dipenuhi oleh savana terpatahkan oleh pemandangan hamparan alam yang subur.
Saya menemukan jawaban kenapa pulau ini dinamakan Flores yang berarti bunga oleh bangsa Portugis dulu. Keindahan panorama alamnya yang sesekali menampakkan persawahan bertingkat (terasering) membuat perjalanan 5 jam tidak terlalu terasa membosankan. Sesekali kami berpapasan dengan rombongan anak yang pulang dari sekolah Minggu di gereja.
Kehidupan yang lebih berwarna juga terasa sesampainya kami di Reo. Keindahan yang mengalir bersama keteduhan.Â
Mesjid yang berdekatan dengan gereja sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda intoleransi. Ah jangan-jangan intoleransi yang sering diteriakkan di media hanya mainan para elit.Kami memilih destinasi Reo, selain karena ada keluarga yang menetap di sana, juga karena kami berencana memilih rute kembali ke Pulau Sumbawa melalui Pelabuhan Kedindi di Reo ini dengan menumpang kapal Sabuk Nusantara, semacam kapal perintis.
Kapal perintis yang melayani rakyat kecil ini, tiket dari Reo ke Bima hanya 25 ribu rupiah per orang, akan membawa kami berlayar kembali ke Pulau Sumbawa dalam perjalanan melintasi malam.Â
Berangkat sore dari Pelabuhan Kedindi dan masuk Pelabuhan Bima keesokan harinya bersamaan dengan terbitnya fajar. Kopi Flores dan seiring matahari terbit, salam dari timur. Salam dari Flores Vitae
Bulan yang terbenam seolah mengirimi kami salam perpisahan mengakhiri episode perjalanan penuh bunga yang mewarnai sepotong kehidupan di Nusantara. Sembari merenguk secangkir*Catatan: semua foto koleksi pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H