Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mewarnai Hitam, Menceritakan Putih

24 Mei 2020   12:12 Diperbarui: 24 Mei 2020   13:52 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesulit apapun masalah yang kita hadapi, ketika kita mencoba menuangkannya melalui teknologi komputer atau informatika, seketika masalah itu akan menjadi sederhana bagi perangkat mesin yang menanganinya.

Tanpa rasa, tanpa tanya dan tanpa tendensi mesin segera menerjemahkan rumusan masalah yang disajikan menjadi rangkaian dari sejumlah kombinasi angka 1 dan 0. 

Seketika pula 1 dan 0 menjadi rangkaian gelombang listrik berupa deretan sinyal hidup (on) dan mati (off). Dan bergantung seberapa panjang dan banyak kombinasi 1 dan 0 yang disodorkan, dengan segera mesin mengeluarkan kesimpulan. Kita akan menerima atau tidak simpulan tidak menjadi soal bagi mesin, bahkan untuk mengulangpun dengan segera akan dilakukan kalau diperintahkan.

Dua hal yang menarik dari fakta ini.

Pertama, rumusan masalah yang jelas akan mampu diselesaikan oleh komputer atau mesin. Keluaran dari proses ini merupakan keluaran yang obyektif dan paling jujur tanpa polesan untuk menjilat. Ironi bahwa dewasa ini banyak sekali masalah yang dihadapi manusia ternyata penyelesaiannya dibantu oleh benda mati. 

Lebih dari sekadar dibantu, banyak juga situasi yang justru kesimpulannya ditentukan langsung oleh komputer dan manusia tinggal menerima. Contohnya kelulusan seseorang dalam seleksi calon karyawan baru sering diatur dan ditentukan oleh rangkaian algoritma yang dieksekusi oleh komputer.

Kenyataan itu memaksa kita untuk jujur mengakui bahwa kemampuan mental manusia dalam memperhitungkan sesuatu (calculating) dan atau sekadar menghitung (counting) ternyata bisa dikerjakan oleh benda mati. 

Benda mati bahkan bisa melakukannya dengan teliti, obyektif dan tidak mendua (ambigu). Kalau tidak 1 ya 0, tidak ada nilai tengah di antara hidup (on) dan mati (off) ketika alternatif disodorkan.

Kalkulasi dan perhitungan tidak ada yang rumit, yang sulit barangkali keterbukaan pemilik masalah, keluasan wawasan perumus masalah dan ketegasan bersama keduanya untuk jujur mendedah semua variabel yang terlibat.

Tapi justru di sinilah tahap yang paling sulit. 

Hal menarik lainnya, terkadang tanpa kita sadari ternyata sesuatu yang awalnya dipandang hitam bisa saja berubah menjadi putih. Hal yang semula dihargai putih perlahan berganti hitam.

Ketegasan atau kejujuran sering dimaknai dengan pemilihan hitam atau putih yang tegas. Katakan hitam kalau hitam, ungkapkan sebagai putih kalau putih

Mengatakan dengan lantang antara hitam atau putih di situlah masalah sesungguhnya.

Saya atau anda juga barangkali seringkali terjebak dalam godaan untuk melihat lebih dalam jangan-jangan sesuatu yang awalnya kita lihat sebagai hitam nyatanya mengandung sesuatu misteri. 

Banyak citra yang melekat pada warna hitam. Kesederhanaan, kegelapan, ketegasan, asal mula penciptaan merupakan beberapa contoh dari cara kita menafsirkan warna hitam.

Bukan sekadar mengatakan bahwa hitam merupakan ketiadaan cahaya putih yang kemudian ditafsirkan sebagai simbol kegelapan. 

Pada skala kosmos, terdapat suatu tempat di ruang semesta yang sedemikian masifnya sehingga ruang dan waktu melengkung ditarik oleh grafitasinya. Dan cahayapun tidak bisa melewatinya, tersedot tenggelam ke dalam “lubang hitam”

Maka tidak cukup kita mendefinisikan bahwa hitam berarti ketiadaan cahaya belaka, karena teori lubang hitam menerangkannya berbeda. Materi dan gelombang yang tertelan mengartikan cahaya pun juga tertelan dan berakumulasi atau lubang hitam justru menguasai cahaya.

Sampai kapan dan sebatas apa, entah. Boleh jadi pada saat lubang hitam itu memuntahkan kembali semua materi dan gelombang yang ditelan melalui “lubang putih” yang identik dengan penciptaan kembali. Pemikiran demikian tentu berangkat dari dogma bahwa segala sesuatu diciptakan berpasangan di semesta, sehingga hitam mestilah memiliki pasangan bernama putih. Dan hitam-putih dalam dunia grafis tidak disebut sebagai warna melainkan komplemen atau pelengkap. Masih ingat dulu foto hitam-putih atau warna, TV hitam-putih atau warna, baju warna-warni atau hitam-putih?

Demikian pula sesuatu yang awalnya terlihat putih bersih ternyata mengandung banyak spektrum ketika dilewatkan melalui prisma. Mari kita lihat prisma sebagai sesuatu yang memaksa kita berbelok dalam perjalanan kehidupan sebagaimana berkas cahaya yang berbelok ketika melintasi prisma. Proses cahaya berbelok itu menunjukkan betapa putih sesungguhnya mengandung banyak warna dan boleh saja kita mengatakannya sebagai keindahan lewat guratan berwarna pelanginya. 

Ilmu pengetahuan menjelaskannya sebagai pembiasan yang melibatkan banyak hal atau variabel. Sudut datang, sudut pergi, jarak dan orientasi antar bidang ketika cahaya datang dan cahaya meninggalkan prisma semuanya akan menghasilkan sesuatu yang berbeda.

Analogikan prisma dan cahaya dengan situasi kehidupan nyata kita maka menjadi jelas kenapa sesuatu (niat) yang awalnya putih tulus bisa berbias menjadi bermacam (warna) kepentingan yang tidak lagi terfokus bersama ke satu titik.

Sudut sinar putih datang yang tunggal ternyata bisa berubah menjadi bermacam sudut pergi dari masing-masing spektrum cahaya. Lalu saya bergumam sedih kenapa ungkapan dan pernyatan saya menjadi bias dan anda menafsirkannya berbeda. Tidakkah warna putih yang saya sorotkan dari awalnya memang sudah memuat banyak spektrum warna kepentingan?

Hitam dan putih ternyata tidak sesederhana seperti kita sering menuntut “katakan hitam kalau hitam, katakan putih kalau putih”. Kalau hitam dan putih ditafsirkan sebagai posisi maka permainan catur memberi kita pelajaran bahwa tidak selalu bidak hitam berada di kotak hitam sebagaimana bidak putih juga tidak mesti selalu berada di kotak putih. 

Perubahan posisi bidak, yang remeh temeh itu, antara kotak hitam dan putih justru sering membuat raja dan perwira menjadi terpojok. Bidak tidak mengenal pilihan hitam atau putih. Bidak hanya mengerti maju lurus, entah hitam atau putih kotak di depannya, dan berbelok hanya kalau memakan ke arah diagonalnya. Kekalahan memalukan kalau raja tidak berkutik di hadapan bidak hanya karena terpaku pada kotak hitam atau putih.

Kehidupan saya dan anda bisa jadi tidak sesederhana hitam atau putih, meski tidak ada abu-abu dalam kamus kita, namun hitam dan putih berganti tergantung langkah jangan-jangan sudah sering juga kita lakukan. 

Saat berada di kotak hitam, kita bisa menangkap pancaran putih dengan jelas. Putih yang mengandung banyak warna. Demikian pula saat berada di kotak putih kita bisa sensitif meraba hitam. Tanpa keberadaan cahaya, hitam justru bercerita tentang banyak warna.

Hitam atau putih, 1 atau 0 atau hidup (on) dan mati (off) tidak berarti banyak kalau hanya satu yang kita pilih. Makna yang beragam dan membawa manfaat hanya diperoleh kalau kita meletakkannya pada rangkaian atau kombinasi keduanya tanpa mencampurkannya. 

Kemampuan kita merangkai kedua jenis dengan logis, teratur dan konsekuen lah yang memberi jiwa yang menghidupkan setiap pilihan dalam hidup. Itulah yang disebut sebagai proses menjadi (to be) karena memiliki (to have) merupakan konsekuensi logis dari rangkaian algoritma yang kita susun sendiri.

Benda mati pun memiliki sesuatu, paling tidak bentuk dan tempat. Namun benda mati tidak memiliki kuasa untuk merubahnya sendiri. Memiliki sesuatu tanpa melewati tahapan menjadi merupakan penyimpangan hukum alam bagi makhluk hidup dan tidak memupuk jiwa, tak ubahnya benda mati yang tergeletak di sebarang tempat.

Sesulit apapun masalah, semoga kita tidak terjebak dalam kotak-kotak hitam putih yang sempit atau berpikiran sempit untuk segera menyerahkannya mentah-mentah kepada mesin menjadi rangkaian angka 1 dan 0. 

Hidup kita jauh lebih kaya dengan kombinasi dibanding pustaka (library) yang dimiliki mesin-mesin penghitung itu. 

Dan yang paling penting algoritma, pustaka (libraries) dan rangkaian code syntax mesin-mesin itu  disusun oleh manusia. Manusia jauh lebih unggul dibanding mesin, namun hanya kalau manusia menyadari letak keunggulannya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun