Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesempurnaan, Mendayung di Antara Keistimewaan dan Kemunafikan

23 Mei 2020   16:42 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:41 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kesalahan masyarakat dalam menilai manusia adalah reproduksi pemahaman dan pelestarian klaim bahwa manusia adalah makhluk terunggul dan sempurna di semesta. Sayangnya klaim itu lebih sering tanpa dukungan proses yang memadai.

Dari pondasi tersebut kemudian kesadaran diri anggota masyarakat dibentuk, pematutan diri individu diukur dan penilaian relasi antar individu sebagai bagian masyarakat, antar masyarakat ditarik garis di antaranya sebagai cermin untuk melihat kesejajaran, mengukur ketimpangan dan menakar kebutuhan.

Bukankah dalam kitab suci sudah ditegaskan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna?

Memang betul, tapi dalam Kitab Suci juga dikisahkan makhluk terhina yang berasal dari golongan manusia juga. Karena kitab suci mengandung kedua ekstrim dari spektrum eksistensi manusia, seharusnya kita memandang kitab suci sebagai guideline, hudallinnaas atau petunjuk bagi manusia.

Dengan menempatkan kitab suci sebagai pedoman hidup maka konsekuensi pemaknaannya adalah citra yang ditampilkan dalam kitab suci, termasuk citra manusia sebagai makhluk sempurna yang diciptakan Allah, adalah sebuah konsekuensi dari tindakan manusia. Gambaran akhir sosok manusia merupakan konklusi dari rangkaian pemaknaan tindakan. 

Practices makes perfect. Kesempurnaan hanya akan diperoleh dari serangkaian proses panjang yang akan diukur lengkap ketika keseluruhan prosesnya selesai. Dan sayangnya hasrat mencapai (to have) gambaran kesempurnaan seringkali tidak cukup didukung dengan proses yang memadai untuk menuju (to be) tahap tersebut

Masih pentingkah dalam keseharian kita menyodorkan kata "sempurna" ketika terhadang situasi yang justru menunjukkan kondisi sebaliknya? Relevankah bersikukuh dengan klaim "makhluk sempurna" ketika kondisi manusia justru kepayahan, tersengal-sengal dan megap-megap menghadapi situasi dan lingkungan yang dipicu oleh makhluk tidak sempurna?

Perspektif ekologi akan membawa kita pada kenyataan semesta bahwa perubahan iklim, penurunan kualitas lingkungan seturut peningkatan ketamakan manusia merupakan konteks yang menempatkan manusia ternyata tidak sendiri di alam ini. Pada tingkat yang lebih nyata dalam keseharian yang teraba indera, deretan data statistik yang menunjukkan merebaknya pandemi, meningkatnya perulangan kejadian bencana alam, merosotnya ketersediaan air bersih dan kian menyesakkannya kualitas udara yang kita hirup memaksa manusia berpacu dengan waktu untuk menemukan solusi.

Silih berganti tawaran teknologi untuk menjawab dahaga manusia akan solusi yang mangkus nyatanya hanya menghadirkan masalah dalam bentuk baru atau paling tidak menunda kejadiannya dalam perspektif waktu. Respon manusia terhadap pagebluk yang tercatat dalam sejarah ternyata juga direspon oleh sumber wabah dengan bermutasi yang secara siklikal memunculkan varian-varian baru.

Di tengah pandemi hari-hari ini, sejujurnya apa beda kita hari ini, manusia yang katanya sempurna, dengan manusia di tahun 1918. Hari ini kita terbiasa dengan fasilitas teknologi, informasi dan komunikasi yang jauh lebih lengkap dibanding generasi manusia ketika flu spanyol itu merebak dulu. Nyatanya manusia tetap berguguran karena virus yang sama meski berbeda varian.

Apa yang dengan sombong sering menyebut dirinya sebagai aristokrat ekologi itu ternyata kembali tersungkur di hadapan virus. Kesempurnaan ekologi apa yang bisa dibanggakan ketika berulangkali tersungkur karena jasad renik? Kesempurnaan raga apa yang bisa ditampilkan dalam tubuh yang ternyata ringkih dan merapuh seiring waktu? Kesempurnaan mental apa yang bisa diperhadapkan dengan perubahan lingkungan ketika mengelola dan menata langkah menghadapi pandemi saja kita gelagapan dan lalu saling mencari kesalahan sesama? Dan parahnya kesalahan sesama akan dicari-cari namun tanpa rasa malu akan segera mendaku keberhasilan yang, atau peluang keberhasilan yang akan, diraih pihak lain.

Teringat sebuah tulisan tentang pidato kebudayaan Muchtar Lubis di Taman Ismail Marzuki tahun 1977 silam yang menghebohkan karena menyebutkan bahwa ciri manusia Indonesia adalah enggan bertanggungjawab atas perbuatannya selain ciri hipokrit dan munafik.

Nyatanya, ciri-ciri tersebut tercium dalan cara pengelolaan sumber daya menghadapi tantangan bencana non alam saat ini. Apabila bantuan sosial diprediksi tidak akan menimbulkan masalah maka dengan segera label atau kemasannya diperbaiki dan lalu mengundang media untuk meliputnya. Namun saat ditemui fakta bahwa ada masalah dalam identifikasi sasaran maka dengan segera klaim berubah menjadi justifikasi langkah cepat dan dengan segera memindahkan masalah ke pihak lain.

Terdapat semacam pola diksi di ruang publik yang menyiratkan tahapan tanggung jawab diemban atau dialihkan di antara pejabat publik dan publik. Kesuksesan atau keberhasilan memiliki korelasi kemunculan dengan penggunaan kata subyek "saya" atau "aku" dan sebaliknya kegagalan atau kemunculan masalah dengan cepat merubah subyek menjadi "kamu", "dia" atau "mereka" yang pada intinya hendak memperjelas bahwa subyek dan obyek memiliki ciri khas hubungan dan tidak berlaku umum pada  setiap pasangan dan setiap kondisi.

Pola diksi berikutnya adalah ketika beban hendak dibagi, ketika dibutuhkan lebih banyak sokongan, maka subyek beralih menjadi "kita" atau "kami". Kegagalan kepala desa, misalnya, dalam ujaran akan segera diperhalus dengan kalimat berdiksi "desa kita membutuhkan kesatuan semangat dan tekad membangun" sebagai ganti "Saya membutuhkan dukungan warga desa sekalian". Subyek "kita" terpakai ketika delinasi menempatkan mitra komunikasi berada dalam lingkaran yang sama dibanding subyek "kami" yang samar-samar hendak meneguhkan pembeda di antara mitra bicara.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa kesempurnaan merupakan sesuatu yang jauh dari sosok manusia, namun  dengan bermacam cara hendak ditutupi atau ditampakkan. Jangan-jangan sempurna bagi manusia merupakan padanan Eldorado, mitos kejayaan kota bermandi emas yang tak kunjung terbukti dan metafora bagi sepanjang usia manusia agar segera bangkit ketika terjatuh.

Tapi kalau sempurna merupakan eldorado yang hanya mungkin tercapai di akhir hayat, kenapa kita sering terobsesi dengan kesempurnaan? Kesempurnaan kalau dipertajam identifikasinya kepada subyek atau obyek tertentu akan membawa kita kepada kosakata lain yang tanpa sadar sering menjebak kita, yaitu "istimewa". Sayangnya kata istimewa lebih sering melekat pada subyek diri kita. Kalaupun istimewa hendak saya dilekatkan pada obyek di luar diri saya, maka hampir pasti saya akan menemukan alasan dalam diri saya sendiri yang membuat saya meng-istimewa-kan pribadi atau benda di luar tersebut.

Wanita istimewa hanya karena hati saya terpuaskan memandang atau memilikinya. Tanpa rasa itu maka dia menjadi wanita biasa. Jam tangan menjadi istimewa hanya karena jam, yang mungkin, mahal tersebut menjadi milik saya. Saya tidak akan peduli dengan jam tangan orang lain berapapun mahalnya, alih-alih saya akan berusaha agar jam serupa menjadi milik saya dan saat itu tercapai barulah saya akan menjadikannya jam istimewa. Ya karena sudah melekat pada diri saya!.

Kalau kembali kepada ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis di atas, maka keistimewaan seseorang atau lebih tepatnya rasa ingin dianggap istimewa muncul dalam dua cara. Cara pertama yaitu dengan mengeksploitasi orang lain agar masalah yang saya hadapi dapat terselesaikan. Saya tidak perlu membanting tulang kalau ada orang lain yang bisa saya kerahkan untuk menuntaskan kebutuhan saya. Semakin banyak yang dapat saya kerahkan bagi hasrat dan keinginan saya semakin istimewalah saya.

Bentuk ini dalam praktiknya dapat kita saksikan dalam kampanye-kampanye politik. Penonjolan sosok yang sempurna namun tanpa didukung oleh pesan visual tentang simbol aktifitas atau ikon proses dan diam-diam mendesakkan penggunaan subyek "kita" dalam narasi yang terkadang disamarkan menjadi "bersama".

Keistimewaan bentuk ini tidak akan tercapai tanpai kesediaan "kamu", "kalian" atau "kita" mengikuti kehendak sosok sempurna tadi. Nilai keistimewaan sosok tersebut akan muncul hanya ketika saya, atau anda, mengikuti perintahnya dan menguat ketika bukan hanya saya dan anda yang mengikutinya melainkan orang banyak. Perintah awalnya tentu saja adalah menjatuhkan pilihan kepada sosok sempurna tersebut di biiik suara kelak.

Menampilkan kalimat ajakan yang sebenarnya merupakan kalimat perintah merupakan keahlian tersendiri sehingga tidak semua kita menyadarinya segera. Mungkin itu yang membuat mereka lalu merasa istimewa.

Cara kedua menjadi istimewa adalah menjadi pahlawan dengan menyelesaikan masalah orang lain. Menyelesaikan masalah orang sebenarnya menambah beban bagi saya, namun terkadang saya menikmatinya karena pada saat bersamaan saya menegaskan betapa jauh istimewanya saya dibanding orang lain yang saya tolong. Tanpa bantuan saya entah apa jadinya orang yang saya tolong itu. Tanggung jawab yang didorong oleh nilai kemanusiaan bisa jadi merupakan faktor yang apabila tidak saya penuhi justru menjadi masalah dalam diri saya. Berarti menyelesaikan masalah orang lain adalah juga cara menghindari masalah dalam hidup saya!

Saya tidak percaya omong-kosong membantu tanpa pamrih, tanpa muatan apa-apa dan tidak mengharapkan imbalan. Jujur saja, dengan membantu orang lain, paling tidak, saya akan menikmati betapa ternyata saya beruntung tidak terlibat dalam masalah serupa. Saya memperoleh kepuasan bathin karena ternyata saya cukup istimewa untuk tidak perlu tenggelam dalam problema serupa.

Sekalipun saya tidak meminta imbalan berupa barang atau uang, namun dengan memperoleh perasaan ketenangan, atau kepuasan, itu sudah merupakan imbalan bagi saya ketika menyelesaikan masalah orang lain. Tidak ada tindakan manusia yang tidak bermotif. Pembedanya hanya apakah motif itu dituangkan dalam capaian akhir (to have) dalam bentik kepemilikan atas sesuatu atau dinikmati dalam proses menuju/menjadi (to be).

Tindakan tanpa motif hanya berlaku sepenuhnya bagi binatang atau tumbuhan dan disebut sebagai naluri, karena meski manusia memiliki juga naluri namun karena kesempurnaan-nya naluri itu akan senantiasa dipandu oleh akal. Perkara apakah sinergi naluri dan akal akan sesuai atau tidak dengan etika dan norma yang berlaku itu merupakan hal berbeda.

Apakah fenomena ini hanya ada di dunia politik? Saya yakin di luar politik pun fenomenanya sama. Di tempat kerja, betapa banyak rekan kerja yang selalu ingin diistimewakan? Terkadang dengan kompetensi yang tidak cukup pun, ada yang ingin dipandang istimewa oleh atasan dan berharap mendapat promosi sambung-menyambung sampai ke puncak yang tersedia.

Mungkin saya juga pernah berlaku demikian, namun bagi politisi menyatakan keistimewaan merupakan sesuatu yang wajar dan memang sudah semestinya karena tingkat dan proses kompetisi yang berliku dan mereka memiliki turunan-tanjakan lebih banyak di sepanjang rute hidupnya. Karenanya saya lebih mudah melihat contoh dari politisi atau pejabat publik. Contoh di dunia kerja hanya bisa anda rasakan sendiri di lingkungan anda yang mungkin berbeda-beda.

Di penghujung Ramadhan 1441 Hijriyah, dan dalam suasana bersiap-siap menyambut Hari Raya Idul Fithri tahun pandemi ini, kesempurnaan ternyata sesuatu yang melayang-layang di benak dan di ruang publik tanpa diketahui kapan akan menyata. Kejelasan langkah dan target bersama melawan Corona nyatanya juga samar-samar ditelan penjelasan bersusul bantahan dan berganti klarifikasi dari para pejabat publik, manusia pilihan yang diistimewakan. 

Pahitnya barangkali adalah ketika kesempurnaan terpaksa kita maknai sebagai paripurna menjalani hidup dan lalu moksa ke dunia lain. Hipokrit, munafik dan eksploitatif barangkali hanya akan menjadi bagian dari proses menuju kesempurnaan kalau kita memang sudah mampu memilih fokus ke depan, membentang sampai batas cakrawala kita sejauh helaan nafas.

Akhir hidup yang baik itulah kesempurnaan hidup menurut saya berdasarkan agama Islam yang saya anut dan sebatas yang mampu saya fahami.

Mohon maaf lahir bathin. 

Selamat merayakan Iedul Fithri 1 Syawal 1441 H yang penuh isyarat dan makna dari Allah SWT.

23 Mei 2020/30 Ramadhan 1441 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun