Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesempurnaan, Mendayung di Antara Keistimewaan dan Kemunafikan

23 Mei 2020   16:42 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:41 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dengan sombong sering menyebut dirinya sebagai aristokrat ekologi itu ternyata kembali tersungkur di hadapan virus. Kesempurnaan ekologi apa yang bisa dibanggakan ketika berulangkali tersungkur karena jasad renik? Kesempurnaan raga apa yang bisa ditampilkan dalam tubuh yang ternyata ringkih dan merapuh seiring waktu? Kesempurnaan mental apa yang bisa diperhadapkan dengan perubahan lingkungan ketika mengelola dan menata langkah menghadapi pandemi saja kita gelagapan dan lalu saling mencari kesalahan sesama? Dan parahnya kesalahan sesama akan dicari-cari namun tanpa rasa malu akan segera mendaku keberhasilan yang, atau peluang keberhasilan yang akan, diraih pihak lain.

Teringat sebuah tulisan tentang pidato kebudayaan Muchtar Lubis di Taman Ismail Marzuki tahun 1977 silam yang menghebohkan karena menyebutkan bahwa ciri manusia Indonesia adalah enggan bertanggungjawab atas perbuatannya selain ciri hipokrit dan munafik.

Nyatanya, ciri-ciri tersebut tercium dalan cara pengelolaan sumber daya menghadapi tantangan bencana non alam saat ini. Apabila bantuan sosial diprediksi tidak akan menimbulkan masalah maka dengan segera label atau kemasannya diperbaiki dan lalu mengundang media untuk meliputnya. Namun saat ditemui fakta bahwa ada masalah dalam identifikasi sasaran maka dengan segera klaim berubah menjadi justifikasi langkah cepat dan dengan segera memindahkan masalah ke pihak lain.

Terdapat semacam pola diksi di ruang publik yang menyiratkan tahapan tanggung jawab diemban atau dialihkan di antara pejabat publik dan publik. Kesuksesan atau keberhasilan memiliki korelasi kemunculan dengan penggunaan kata subyek "saya" atau "aku" dan sebaliknya kegagalan atau kemunculan masalah dengan cepat merubah subyek menjadi "kamu", "dia" atau "mereka" yang pada intinya hendak memperjelas bahwa subyek dan obyek memiliki ciri khas hubungan dan tidak berlaku umum pada  setiap pasangan dan setiap kondisi.

Pola diksi berikutnya adalah ketika beban hendak dibagi, ketika dibutuhkan lebih banyak sokongan, maka subyek beralih menjadi "kita" atau "kami". Kegagalan kepala desa, misalnya, dalam ujaran akan segera diperhalus dengan kalimat berdiksi "desa kita membutuhkan kesatuan semangat dan tekad membangun" sebagai ganti "Saya membutuhkan dukungan warga desa sekalian". Subyek "kita" terpakai ketika delinasi menempatkan mitra komunikasi berada dalam lingkaran yang sama dibanding subyek "kami" yang samar-samar hendak meneguhkan pembeda di antara mitra bicara.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa kesempurnaan merupakan sesuatu yang jauh dari sosok manusia, namun  dengan bermacam cara hendak ditutupi atau ditampakkan. Jangan-jangan sempurna bagi manusia merupakan padanan Eldorado, mitos kejayaan kota bermandi emas yang tak kunjung terbukti dan metafora bagi sepanjang usia manusia agar segera bangkit ketika terjatuh.

Tapi kalau sempurna merupakan eldorado yang hanya mungkin tercapai di akhir hayat, kenapa kita sering terobsesi dengan kesempurnaan? Kesempurnaan kalau dipertajam identifikasinya kepada subyek atau obyek tertentu akan membawa kita kepada kosakata lain yang tanpa sadar sering menjebak kita, yaitu "istimewa". Sayangnya kata istimewa lebih sering melekat pada subyek diri kita. Kalaupun istimewa hendak saya dilekatkan pada obyek di luar diri saya, maka hampir pasti saya akan menemukan alasan dalam diri saya sendiri yang membuat saya meng-istimewa-kan pribadi atau benda di luar tersebut.

Wanita istimewa hanya karena hati saya terpuaskan memandang atau memilikinya. Tanpa rasa itu maka dia menjadi wanita biasa. Jam tangan menjadi istimewa hanya karena jam, yang mungkin, mahal tersebut menjadi milik saya. Saya tidak akan peduli dengan jam tangan orang lain berapapun mahalnya, alih-alih saya akan berusaha agar jam serupa menjadi milik saya dan saat itu tercapai barulah saya akan menjadikannya jam istimewa. Ya karena sudah melekat pada diri saya!.

Kalau kembali kepada ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis di atas, maka keistimewaan seseorang atau lebih tepatnya rasa ingin dianggap istimewa muncul dalam dua cara. Cara pertama yaitu dengan mengeksploitasi orang lain agar masalah yang saya hadapi dapat terselesaikan. Saya tidak perlu membanting tulang kalau ada orang lain yang bisa saya kerahkan untuk menuntaskan kebutuhan saya. Semakin banyak yang dapat saya kerahkan bagi hasrat dan keinginan saya semakin istimewalah saya.

Bentuk ini dalam praktiknya dapat kita saksikan dalam kampanye-kampanye politik. Penonjolan sosok yang sempurna namun tanpa didukung oleh pesan visual tentang simbol aktifitas atau ikon proses dan diam-diam mendesakkan penggunaan subyek "kita" dalam narasi yang terkadang disamarkan menjadi "bersama".

Keistimewaan bentuk ini tidak akan tercapai tanpai kesediaan "kamu", "kalian" atau "kita" mengikuti kehendak sosok sempurna tadi. Nilai keistimewaan sosok tersebut akan muncul hanya ketika saya, atau anda, mengikuti perintahnya dan menguat ketika bukan hanya saya dan anda yang mengikutinya melainkan orang banyak. Perintah awalnya tentu saja adalah menjatuhkan pilihan kepada sosok sempurna tersebut di biiik suara kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun