Sebuah iklan di media elektronik menampilkan seorang anak bermain memakai atribut bajak laut. Dengan tutup mata sebelah, pedang dan gambaran sebuah kapal tampak keceriaan keluarga dalam permainan itu. Mungkinkah kita mengatakan bahwa si anak sedang bermain peran sebagai seorang kriminal? Keceriaan si anak dan orang tuanya rasanya tidak membersitkan kesadaran akan citra negatif dalam peran tersebut.
Anehnya Komisi Perlindungan Anak (KPAI) tidak mempermasalahkan permainan peran yang melibatkan sosok kriminal bernama bajak laut. Mungkinkah bajak laut tidak dikategorikan kriminal sebagaimana begal, perampok, bandar narkoba atau paedofilia? Selama KPAI, yang biasanya kritis dengan hal-hal semacam ini, tidak mempermasalahkannya, maka boleh saja kita juga melihat sosok bajak laut dari sisi lain, sisi yang lepas dari citra negatif.
Bajak laut, seperti juga Robinhood di hutan Sherwood, adalah sosok yang unik dalam imaji. Bagi mereka yang tersubordinasi, bajak laut dan Robinhood mewakili ungkapan rasa tertindas.
Dikisahkan dalam sejarah, seorang bajak laut dihadapkan ke Iskandar Agung atas tuduhan perompakan armada dagang milik sang raja. Selayaknya seorang raja yang agung, Iskandar Agung memberi kesempatan kepada si Bajak Laut untuk membela diri.
"Kenapa kamu berani menghadang dan merampok armada dagangku? Apa yang membuat kamu berani melakukan kejahatan tersebut?", tanya sang Raja.
Alih-alih menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan, si Bajak Laut justru menyampaikan hal yang membuat Sang Raja Agung tersentak.
"Apa beda perbuatan hamba dengan sepak terjang Paduka?"
"Baginda juga melakukan hal yang sama dengan menyerang, menaklukkan dan merampas hak milik orang-orang lain yang tidak berdaya."
"Beda hamba dengan Paduka adalah Baginda melakukannya dengan pasukan yang terlatih dan armada yang lengkap sehingga Baginda menyebutnya sebagai penaklukan atau penegakan hukum. Hamba melakukannya dengan kelompok kecil dan peralatan terbatas sehingga orang menyebut perbuatan hamba sebagai kriminal. Tidak ada perintah dari atas melainkan hanya naluri untuk bertahan hidup, maka perbuatan hamba mengambil barang atau kapal orang lain membuat hamba disebut bajak laut".
"Jadi beda Hamba dengan Paduka hanya pada ukuran, selebihnya sama saja, siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan adalah nilai yang ditentukan oleh posisi".
Tidak disebutkan bagaimana nasib si Bajak Laut selanjutnya selain Iskandar Agung yang tidak mampu menjawab sanggahan si Bajak Laut.
Sekalipun perbuatan bajak laut normatifnya disebut sebagai tindakan kriminal dan pelakunya layak disebut kriminal, nyatanya banyak tokoh bajak laut yang justru dianggap sebagai model, meski diam-diam. Kapten Barbossa atau Jack Sparrow dalam Pirates of the Carribean tidak jelas diposisikan sebagai penjahat atau petualang.
Ditandatanganinya Perjanjian Bungayya oleh Sultan Hasanuddin yang berarti mengakui hegemoni Belanda dalam aktiftas perdagangan dan maritim kawasan Timur Nusantara pada masa itu, tidak sepenuhnya diterima oleh rakyat Gowa terlebih di kalangan bangsawannya. Berlayarlah Karaeng Galesong bersama pengikut setianya meninggalkan Gowa dengan balutan rasa "Siri na Pacce" atau harga diri yang terluka. Beliau kemudian bergabung dengan Trunojoyo di Madura dan menyasar armada dagang Belanda yang hilir mudik antara Kawasan Timur dan Batavia membawa komoditi dagang berharga. Aktifitas apa lagi kalau bukan menyerang kapal Belanda dan merampas muatannya yang berharga!
Dengan menggunakan jawaban Si Bajak Laut dalam dialog dengan Iskandar Agung di atas, maka dalam pandangan Karaeng Galesong, Belanda juga sebenarnya penjarah yang membajak sumber daya Nusantara. Pada sisi lain Belanda yang merasa memiliki legitimasi memandang Karaeng Galesong lah yang merupakan bajak laut.
Dalam perspektif sejarah, siapakah Bajak Laut memang sering menjadi perdebatan. Seorang bajak laut bagi satu negara bisa saja seorang penjelajah atau pahlawan bagi negara lain, yang diutus oleh seorang raja untuk menaklukkan daratan atau wilayah baru. Kalau penduduk asli Amerika ditanya pendapat mereka terhadap penjelajah Spanyol dan Portugis yang mendarat di Dunia Baru itu, tidakkah Spanyol dan Portugis itu juga sebenarnya juga dapat dikategorikan sebagai Bajak Laut yang merampas tanah bangsa lain?
Label apa yang kita berikan kepada seorang Cornelis de Houtman yang mendaratkan kakinya di Banten di tahun 1596 dulu? Yang jelas dia tidak membawa surat pengantar resmi, apalagi Surat Perintah Perjalanan Dinas seperti ASN dan anggota DPR sekarang, untuk diserahkan kepada penguasa setempat yang menyebutkan yang bersangkutan datang dalam rangka tujuan tertentu.
Bagi penduduk Nusantara, dan Indonesia kemudian, kedatangan Cornelis de Houtmann adalah awal dari suatu periode yang penuh duka dan air mata. Tapi bagi Tuan 12 yang menjadi pemilik/pemegang saham Serikat Dagang Hindia Belanda (VOC) nun jauh di Amsterdaam, keberhasilan Cornelis de Houtmann adalah awal dan pembuka jalan periode kejayaan dan kemakmuran.
Perbedaan cara menilai rupanya timbul dan berkembang dipengaruhi oleh situasi di laut yang menjadi penghubung satu wilayah dengan wilayah lain. Peneguhan identitas hanya dimungkinkan apabila pelaut mampu mencapai daratan. Seperti apa hubungan antar daratan yang dijembatani oleh pelaut atau para petualang seperti itulah identitas yang diberikan kepada penyintas laut.
A.B. Lapian, maestro sejarah maritim Asia Tenggara, memberikan klasifikasi yang sangat berguna untuk mengidentifikasi mereka yang berjuang di laut. Apabila kelompok pelaut tersebut masih berukuran kecil dan aktifitasnya hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan memanfaatkan hasil alam dari laut, Lapian mengelompokkannya sebagai Orang Laut. Kelompok inilah yang sampai hari ini lekat dengan Suku Bajo yang tersebar di perairan Aisia Tenggara.
Apabila Orang Laut berhasil meningkatkan kekuatan dan jumlah anggotanya, dengan peneguhan organisasi kelompoknya mereka akan naik tingkat menjadi Bajak Laut. Kekuatan yang dimiliki memampukan mereka untuk mengukur kekuatan setiap armada yang lewat dan apabila memungkinkan tanpa ragu mereka akan menyerang dan merampas harta benda yang ada.
Kriminal? Sulit mengatakan tindakan mereka pada masa itu sebagai kriminal karena penegakan hukum di laut relatif tidak seperti di darat. Kalau tidak ada pihak yang mampu memaksakan kekuatan secara kontinu dan memutuskan sesuatu tindakan tertentu di laut, maka dasar apa yang bisa dijadikan rujukan penilaian kriminal atau tidaknya?
Beberapa kejadian "bajak laut" yang menyerang sampai ke daratan dan merampas harta benda bahkan penduduk setempat untuk dijadikan budak banyak tercatat dalam sejarah Nusantara di abad 17 sampai abad 18. Dan perdagangan budak merupakan bisnis yang cukup banyak dilakukan oleh para raja-raja Nusantara masa itu dan menguntungkan.
Gede Parimartha banyak membahas aktifitas perdagangan Nusantara sekitar tahun 1815 sampai 1915 khususnya di Kepulauan Nusa Tenggara yang memaparkan pertautan perdagangan dan politik di kawasan tersebut. Meski tidak secara spesifik disebutkan, peran bajak laut dalam menyediakan ragam komoditi ternyata cukup penting di samping para pelaut murni sendiri yang berperan juga sebagai pedagang. Selain hasil alam, budak dan candu adalah komoditi yang banyak dimonopoli oleh para raja lokal. Darimana lagi budak diperoleh kalau tidak penyerangan kawasan pesisir oleh para bajak laut?
Balanini dan Dayak adalah sumber bajak laut di Kepulauan Nusantara yang dicatat oleh Angus Konstam dalam bukunya The World Atlas of Pirates (2009) sebagaimana A.B. Lapian juga banyak membahasnya dalam buku beliau Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (2009). Lapian kemudian menyimpulkan bahwa Orang Laut dapat bertranformasi menjadi Raja Laut dengan melalui tahapan Bajak Laut, persis seperti kisah Iskandar Agung yang dengan penguasaan laut melalui armadanya kemudian meneguhkan diri sebagai raja.
Sejarah  memang menempatkan Bajak Laut dalam posisi yang unik yang tidak bisa disamai oleh perampok biasa bahkan kartel narkotika misalnya. Banyak dimensi untuk menilai posisi seorang Bajak Laut itu yang lalu menempatkan sosok Bajak Laut dalam posisi yang unik dalam imaji. Ketika kita berada pada sisi yang sama dengan mereka maka penyebutan bajak laut akan lebur menjadi pahlawan penguasa laut.
Penjelajah Spanyol dan Portugis sudah membuktikan kepahlawan mereka di mata para raja Spanyol dan Portugis meski bagi rakyat dan wilayah yang didatangi mereka dipandang sebagai penjarah. Bahkan antar negara pun status bajak laut -- pahlawan dapat bertukar. Jhon Paul Jones adalah contohnya. Jones dipandang sebagai pahlawan bagi bangsa Amerika karena berjasa meletakkan pondasi bagi pembangunan angkatan laut Amerika selama masa Revolusi Amerika. Pada sisi Inggris sosok Jones tidak lebih sebagai bajak laut. Pertempuran laut di Flamborough Head, 13 September 1779 antara Bajak Laut dan armada laut Inggris meneguhkan nama Paul Jones sebagai pahlawan bagi bangsa Amerika.
Bajak laut memang citra yang unik karena banyak dibalut oleh fiksi dan dieksploitasi oleh dunia hiburan. Sebut saja legenda Pulau Harta Karun (Treasure Island), figur Peter Pan, Kapten Hook dan yang paling fenomenal adalah trilogi Pirates of Carribean dengan tokoh Kapten Jack Sparrow-nya.
Batas antara pahlawan dan perompak ternyata hanya ditentukan oleh garis pemisah posisi dan kemanfaatannya bagi pihak yang sedang berkuasa, atau kerugian bagi pihak yang menjadi korban, apalagi kalau Bajak Laut berhasil bertansformasi menjadi Raja Laut. Permutasi antara kedua sisi itulah yang nampaknya menjadi ruang berimajinasi.
Dalam dunia modern sekarang, figur Bajak Laut sebenarnya juga banyak di sekeliling kita. Ganti frasa "Bajak Laut" dengan "Pembajak" maka kita akan menemukan banyak ragam peran ini dimainkan mulai dari Bansos di daerah terrento yang diberi label kandidat tertentu sampai program belajar dalam jaringan yang ternyata hanya sebentuk cara meningkatkan kapitasi perusahaan tertentu.Â
Uang negara yang diambil, kalau dibungkus dengan kebijakan dari penguasa, dapat saja diberi nama peningkatan nilai tambah ekonomi, meski bagi rakyat sebenarnya bentuk lain dari perampokan. Namun kalau kita berada pada sisi yang diuntungkan tersebut, dengan beragam argumentasi itu tidaklah disebut sebagai perampokan melainkan langkah penyelamatan ekonomi negara. Apa boleh buat kalau bagi kelompok marjinal itu menjadi penyengsaraan.
Sebagaimana citra Bajak Laut dipoles oleh industri hiburan menjadi sesuatu yang membangkitkan romantisme, maka dalam situasi keterpurukan akibat ulah para pembajak, kita tinggal melihat posisi kita apakah sebagai Orang Laut yang setia dengan aktifitas berakrab ria dengan laut dan segenap potensinya atau berfikiran menjadi Bajak Laut sambil mengintip peluang mengakumulasi kapital dan kekuatan agar dapat naik kelas menjadi Raja Laut. Pada lingkungan yang berbasis daratan, istilah "Laut" dalam ketiga sebutan itu dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Sembari menikmati tayangan iklan Anak Bajak Laut tadi, mari berimajinasi dalam lautan kebijakan publik sehari-hari.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H