Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bantuan Sosial Sama dengan Panasea Keadilan Sosial?

4 Mei 2020   07:49 Diperbarui: 5 Mei 2020   05:36 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah pusaran pandemi yang belum jelas kapan berakhirnya, respon dadak (instan) dari pemerintah untuk melindungi warga adalah menyediakan skema dan bantuan sosial. Skema ini mengasumsikan bahwa negara hadir untuk meringankan beban hidup warganya. 

Pengertian bantuan sosial sendiri memang bantuan, baik dalam bentuk uang atau barang, yang berasal dari pemerintah dan ditujukan untuk melindungi individu, kelompok atau masyarakat dari risiko sosial sehingga sifatnya selektif dan tidak terus-menerus.

Dapatkah sasaran penerima bantuan sosial disebut selektif khususnya dalam situasi pandemi? Secara normatif tentu saja dapat, karena mereka yang terpapar risiko sosial dalam situasi pandemi pastilah mereka yang miskin atau rentan miskin. 

Bantuan sosial akan memberi mereka tambahan kekuatan untuk menjaga dari keterperosokan lebih jauh ke dalam perangkap kemiskinan.

Dengan cara pemberian bantuan sosial maka pemerintah ingin meneguhkan keberadaannya di tengah warga. Keinginan lebih mempertegas kehadiran tersebut bahkan dengan memberi identitas dari siapa bantuan berasal sehingga penerima akan mampu mengenali dari mana penolong tersebut datang. 

Seketika bantuan yang digerakkan oleh tujuan sosial bergeser menjadi alat peneguh legitimasi si pemilik nama atau gambar di label setiap bantuan yang datang.

Berterima kasih atau sinis kah penerima bantuan sosial?

Sayangnya kehidupan berlangsung dan sambung-menyambung dari sejak pandemi belum datang, saat pandemi berkunjung dan sampai pandemi berlalu kelak. Jawaban pertanyaan itu dapat diandai-andai pada dua kelompok korban pandemi.

Kelompok pertama penerima bantuan sosial kita tadi termasuk kelompok yang selamat melewati pandemi. Keberhasilan mereka melewati masa pandemi mengantar mereka kembali kepada keadaan semula, sebagaimana tujuan bantuan sosial untuk menjaga status quo tingkat kesejahteraan. Keadaan yang mereka harus jalani kembali adalah keadaan tanpa bantuan sosial.

Penyintas pandemi ini kembali akan bergulat hari demi hari dalam labirin kemiskinan yang dibentuk oleh faktor struktur sosial maupun kultural. Mau disebut miskin relatif atau pun miskin absolut, tetap saja identitas miskin terbawa. 

Seketika pandemi jenis lain atau kerentanan sosial lain muncul kelompok ini akan kembali teridentifikasi sebagai penerima bantuan sosial. Siklus berulang yang mungkin hanya berganti identitas siapa penerima bantuan dan siapa yang mendapat giliran sebagai pemberi bantuan.

Kelompok kedua penerima bantuan sosial kita termasuk kelompok sedikit yang terpaksa harus mengakhiri hidup karena imun yang tidak cukup kuat menopang keberlanjutan hidupnya. Imunitas individu karena asupan gizi dan kualitas hidup yang rendah tidak cukup kalau hanya dikembalikan kepada takdir atau faktor usia.

Faktor takdir kita kesampingkan dulu dan gunakan ukuran yang lebih kuantitatif yaitu Usia Harapan Hidup (life expectancy).

Situs worldometers.info menempatkan negara kita di peringkat 121 dari 191 negara dalam daftar dan data harapan hidup negara-negara di dunia.

Sebagai warga dari sebuah negara, kita di Indonesia tercinta ini memiliki usia harapan hidup rata-rata 72,32 tahun dan lebih rendah dari harapan hidup penduduk Korea Utara yaitu 72,89 tahun (peringkat 114) 

Harapan hidup anda lebih tinggi menjadi 74,64 kalau anda kerjenis kelamin perempuan, tapi kalau anda berjenis kelamin laki-laki maka harapan hidup anda menurun menjadi hanya 70,12 tahun.

Data di atas menunjukkan bahkan Korea Utara yang selama ini kita nilai terbelakang, terisolir dan sangat tidak demokratis justru memiliki harapan hidup yang lebih baik. 

Penduduk perempuan di Korea Utara memiliki harapan hidup 76,37 tahun sedangkan penduduk laki-lakinya memiliki harapan hidup sampai 69,12 tahun.  

Ya, laki-laki di Indonesia lebih beruntung dibanding di Korea Utara, namun tidak untuk perempuannya yang berselisih satu tahun setengah. Saya tidak menggunakan data BPS karena publikasi terakhir mereka masih menggunakan angka tahun 2018.

Indikator angka harapan hidup sering digunakan dalam perumusan kebijakan untuk melihat dampak dari pembangunan di bidang kesehatan dan sosial yang telah dlaksanakan di masa lalu dan dengan asumsi bahwa kondisi dan kebijakan ke depan tidak ektrim berubah maka diperoleh angka prediksi tersebut.  

Tentu saja angka ini tidak bisa banyak dipengaruhi oleh bantuan sosial yang sifatnya sesaat dan tidak terus-menerus dan karenanya penyintas pandemi hari ini masih akan menghadapi kondisi makro itu di masa depan.

Kelompok penyintas pandemi dan kita semua selayaknya mempertanyakan kembali implementasi keadilan sosial yang menjadi salah satu sila dalam Dasar Negara kita Pancasila. Tuntutan keadilan sosial yang dulu kencang kini perlahan meredup ditelan aspek teknis bernama "pendataan".  

Setiap seruan perihal kesenjangan yang menganga cukup dijawab dengan sodoran data dan apabila data tersebut masih diperdebatkan maka alihkan masalahnya ke proses teknis yang terus dan selalu akan diperbaiki tingkat validitasnya. Entah sampai kapan negeri yang sudah lama merdeka ini bisa mengenali setiap warganya dengan baik.

Bahwa melakukan pendataan yang valid di negeri itu merupakan tugas raksasa rasanya banyak kita yang sudah mafhum. Sayangnya tidak banyak yang mendedahnya dengan sistematis kenapa data yang mendekati sempurna baru bisa diperoleh ketika kita sudah tidak membutuhkannya lagi?

Ah, itu urusan lain yang bisa diselesaikan dengan pendekatan konsep big data dan artificial intellligent karena mau seperti dan sebanyak apa datanya toh semua pasti akan disajikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari baris dan kolom.

Ketika situasi bencana terjadi dan ada sekelompok warga yang tetiba menjadi rentan lalu negara muncul dengan bantuan sosialnya, apa yang ada dalam benak penguasa dan kita sebagai warga? Ketimpangan, kesenjangan atau ketidakadilan sosial kah yang terjadi sehingga terdapat sekelompok warga yang menjadi rentan?

Saatnya meneriakkan kembali "Pancasila Harga Mati!", "Aku Pancasila!" dan sederet jargon lainnya sembari mendudukan situasi pandemi dan bencana non alam ini dalam perspektif Sila Kelima tersebut.

Kedua kelompok kita tadi jangan-jangan berada pada situasi ketimpangan sosial yaitu situasi perbedaan yang tidak adil yang menurut Thernborn dalam Inequalities of the World, New Theoretichal Framework Multiple Empirical Approaches (2006) memiliki dimensi biologis, dimensi eksistensi dan dimensi sosial.  

Jika kelompok kita tadi gagal menyintasi pandemi maka ketiga dimensi ini telah terakumulasi yaitu dimensi biologi berupa kegagalan mempertahankan hidup (biologis) seseorang yang teralineasi dari kebijakan pembangunan (eksistensi) dan diperparah oleh kegagalan mengakses sumber daya (sosial).

Ragam definisi kemiskinan dapat diringkas menjadi ketidakmampuan seseorang mengakses sumber daya dan karenanya dapat dijadikan simptom untuk mengenali ketimpangan sosial yang bukan terjadi secara alamiah.  

Bantuan sosial yang insidentil sungguh tidak akan menjawab akar ketimpangan sosial ini karena sifatnya yang sebatas "mempertahankan kondisi".

Ketimpangan sosial hanya akan tergambar dengan jujur kalau penguasa dan warga bersepakat tentang adanya empat hal dalam masyarakat yaitu (1) terjadinya ekslusifitas dalam pengelolaan kekuasaan yang tidak mengikutsertakan kelompok sosial tertentu dalam mengakses sumber daya bersama.  

Kondisi ini tergambar jelas kalau digunakan perspektif praktik politik. Pemimpin petahana yang membagi bantuan hanya kepada konstituennya, apalagi dengan label dirinya, adalah contoh telanjang kondisi ini.

Kondisi (2) yaitu hirarki kelembagaan yang beranak tangga banyak dan panjang berandil menimbulkan kelelahkan seseorang dari tangga terbawah untuk mengakses kemakmuran. 

Sulitnya melakukan perbaikan data kemiskinan salah satu cerminan dari kondisi. Sumber daya yang berada nun jauh di Pusat harus diakses melalui sekian banyak tahapan, waktu dan pihak yang sayangnya sering hanya dipandang sebagai masalah teknis semata.

Kedua kondisi di atas menjadi pondasi kondisi berikutnya (3) yaitu eksploitasi sosial dari kelompok sosial dominan yang memanfaatkan kerentanan kelompok lainnya untuk melakukan kapitalisasi sumber daya. 

Meski kondisi ini sebenarnya ciri dari masyarakat kapitalis, namun godaan dari kedua kondisi sebelumnya terlalu naif kalau tidak dimaksimalkan dan dilanggengkan melalui penguatan dua kondisi sebelumnya (inklusi dan hirarki).

Kondisi terakhir adalah terjadinya distansiasi yaitu membentuk jarak antar kelompok dalam masyarakat melalui pemberian legitimasi atas satu kelompok terpilih.  

Mekanisme ini terkadang dibungkus dalam istilah yang me-ninabobok-kan misalnya atas dasar prestasi atau capaian sehingga mereka yang tidak cukup berprestasi harus mau menerima adanya keistimewaan bagi kelompok tertentu. 

Apa yang menjadi ukuran prestasi atau capaian dapat ditelusuri kembali dari ketiga kondisi sebelumnya yaitu inklusi, pembentukan hirarki dan eksploitasi sosial.

Dalam praktik, bukankah bonus hanya diberikan kepada karyawan yang memenuhi target yang ditetapkan perusahaan atau pemegang saham? Tidakkah bantuan sosial sering diberikan atau tidak diberikan karena pertimbangan kedekatan pilihan politik?

Sila kelima Pancasila kita menggunakan term "seluruh rakyat" ketika mencita-citakan keadilan sosial. Meningkatnya ketidakadilan sosial, tidak peduli karena pandemi, menyisakan fakta tentang sekelompok warganegara yang tersisih karena kekuasaan yang tidak mampu menjelaskan definisi keadilan mana yang digunakan sebagai dasar merumuskan langkah dan tindakan publik.

Sebagaimana statistik seringnya memberikan data dalam siklus tahunan, ditambah time lag setahun, maka mengukur dampak dari bantuan sosial yang diberikan hari ini hanya akan bermakna satu atau dua tahun mendatang. Dengan kata lain 

pembagian bantuan sosial secara dadak (instan) hanyalah sebentuk panasea yang tidak pernah mengobati penyakit sebenarnya 

Layaknya panasea, bantuan sosial memberikan dampak hanya sesaat yang meringankan dan memang sering lebih dipilih karena dapat menutup dan meredakan simptom ketimbang melakukan pembedahan menyeluruh yang butuh waktu panjang dan tidak memberikan manfaat publikasi seketika.  

Bantuan sosial selain meningkatkan citra publisitas juga dapat menutupi kegagalan struktural yang menganga dalam bentik ketimpangan sosial. Bahkan inisiasi membedah penyakit utama dalam struktur sosial ini seringnya dianggap menggangu hegemoni yang dalam bahasa kelompok dominan adalah sebentuk anarkisme.

Bagi kelompok kita tadi tadi, dengan prinsip telur hari ini lebih baik dibanding ayam esok hari, akan lebih memberi manfaat kalau bantuan sosial yang datang diterima saja sambil merenung langkah hari esok. Biarlah urusan keadilan sosial di sila kelima itu diserahkan kepada pengusung dan pemilik Pancasila.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun