Setiap seruan perihal kesenjangan yang menganga cukup dijawab dengan sodoran data dan apabila data tersebut masih diperdebatkan maka alihkan masalahnya ke proses teknis yang terus dan selalu akan diperbaiki tingkat validitasnya. Entah sampai kapan negeri yang sudah lama merdeka ini bisa mengenali setiap warganya dengan baik.
Bahwa melakukan pendataan yang valid di negeri itu merupakan tugas raksasa rasanya banyak kita yang sudah mafhum. Sayangnya tidak banyak yang mendedahnya dengan sistematis kenapa data yang mendekati sempurna baru bisa diperoleh ketika kita sudah tidak membutuhkannya lagi?
Ah, itu urusan lain yang bisa diselesaikan dengan pendekatan konsep big data dan artificial intellligent karena mau seperti dan sebanyak apa datanya toh semua pasti akan disajikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari baris dan kolom.
Ketika situasi bencana terjadi dan ada sekelompok warga yang tetiba menjadi rentan lalu negara muncul dengan bantuan sosialnya, apa yang ada dalam benak penguasa dan kita sebagai warga? Ketimpangan, kesenjangan atau ketidakadilan sosial kah yang terjadi sehingga terdapat sekelompok warga yang menjadi rentan?
Saatnya meneriakkan kembali "Pancasila Harga Mati!", "Aku Pancasila!" dan sederet jargon lainnya sembari mendudukan situasi pandemi dan bencana non alam ini dalam perspektif Sila Kelima tersebut.
Kedua kelompok kita tadi jangan-jangan berada pada situasi ketimpangan sosial yaitu situasi perbedaan yang tidak adil yang menurut Thernborn dalam Inequalities of the World, New Theoretichal Framework Multiple Empirical Approaches (2006) memiliki dimensi biologis, dimensi eksistensi dan dimensi sosial. Â
Jika kelompok kita tadi gagal menyintasi pandemi maka ketiga dimensi ini telah terakumulasi yaitu dimensi biologi berupa kegagalan mempertahankan hidup (biologis) seseorang yang teralineasi dari kebijakan pembangunan (eksistensi) dan diperparah oleh kegagalan mengakses sumber daya (sosial).
Ragam definisi kemiskinan dapat diringkas menjadi ketidakmampuan seseorang mengakses sumber daya dan karenanya dapat dijadikan simptom untuk mengenali ketimpangan sosial yang bukan terjadi secara alamiah. Â
Bantuan sosial yang insidentil sungguh tidak akan menjawab akar ketimpangan sosial ini karena sifatnya yang sebatas "mempertahankan kondisi".
Ketimpangan sosial hanya akan tergambar dengan jujur kalau penguasa dan warga bersepakat tentang adanya empat hal dalam masyarakat yaitu (1) terjadinya ekslusifitas dalam pengelolaan kekuasaan yang tidak mengikutsertakan kelompok sosial tertentu dalam mengakses sumber daya bersama. Â
Kondisi ini tergambar jelas kalau digunakan perspektif praktik politik. Pemimpin petahana yang membagi bantuan hanya kepada konstituennya, apalagi dengan label dirinya, adalah contoh telanjang kondisi ini.