Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mission San Luis, I'm Coming!

19 April 2020   14:34 Diperbarui: 21 April 2020   08:22 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandu wisata menjelaskan kehidupan para misionaris (dokpri)

Hanya berjarak sekitar 3 mil atau kurang dari 5 km antara hotel tempat kami menginap di Residence Inn by Marriott Tallahassee ke salah satu museum sejarah yang berada di dalam Kota Tallahassee ini yaitu Mission San Luis Museum.

Tidak seperti nama Miami, Orlando atau Cape Canaveral, nama Tallahassee mungkin tidak terlalu familiar bagi kita. Sebelum menjejakkan kaki di ibukota negara bagian Florida (FL) ini, bayangan sebuah kota di Amerika Serikat dalam benak saya pun adalah lalu-lalang kendaraan dan orang hilir-mudik apalagi sebuah ibukota negara bagian yang tentunya menjadi pusat dari semua aktifitas masyarakat.

Rupanya saya selama ini membangun gambaran tentang Amerika, atau persisnya kota di Amerika Serikat, berdasarkan gambar dari film, berita atau sumber lainnya.

Banyak hal yang kita ketahui. Banyak pula hal yang tidak kita ketahui. Di antara keduanya terdapat pintu yang bernama Persepsi

kata Aldous Huxley (1894-1963).

Terbukti gambaran saya tentang tampilan fisik sebuah ibukota ternyata hanya persepsi. Sebuah ibukota negara bagian di negara yang maju seperti Amerika Serikat, sekalipun gambaran tentang gedung-gedung tinggi sebagiannya benar, jalan raya yang mulus dan lebar juga tepat, ternyata kelengangannya merupakan sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. 

Sebagai pusat pemerintahan negara bagian Florida, hanya kawasan yang dekat dengan kampus saja yang terlihat lebih ramai. Selebihnya hanya sesekali ada kendaraan yang lewat, mungkin juga karena saat musim panas banyak yang berlibur ke luar kota.

Sebagai anak pensiunan guru, bayangan untuk menginjakkan kaki di negeri Paman Sam hanya samar-samar saja muncul dan tenggelam di antara mimpi dan khayalan. 

Tidak seberuntung mereka yang kaya atau sepintar teman-teman sekolah dulu yang mampu meraih beasiswa bersekolah di negeri Paman Sam.

Namun pada tahun 2015 silam, mimpi ternyata bisa mewujud saat menerima e-mail dari AMINEF bahwa saya diterima untuk menjadi salah satu peserta kursus pengelolaan pendidikan vokasi di negara Paman Sam tersebut. 

Melambung jauh tinggi rasa gembira di dada saat diberikan rincian kegiatannya selama 6 (enam) minggu di Negara Bagian Florida. Selain kegiatan di kampus Florida State University, penyelenggara dan tuan rumah program, kami juga berkunjung ke sejumlah college yang kalau melihat rincian nama dan lokasinya artinya kami “berkeliling” Florida dalam musim panas tahun itu.

Saya harus berterima kasih, selain kepada Tuhan Yang Maha Kuasa utamanya, kepada Barrack Obama yang melalui Kemenlu-nya membiayai kami untuk berkunjung dan menimba pengalaman di salah satu sudut negaranya. 

Nikmat Tuhan yang mana lagi yang saya dustai? Berkunjung ke negeri para cowboy, menyaksikan tinggalan Indian dan dibiayai sepenuhnya oleh tuan rumah, bukankah itu rezeki namanya? 

Apa saja kegiatan utama kami di sana, belum akan saya tulis di sini, karena saya lebih ingin mengingat pelajaran lain di luar jadwal resmi saja.

Pengisi kegiatan di hari libur selama periode belajar 6 (enam) minggu tersebut, dari awal Mei sampai pertengahan Juni 2015, ternyata semuanya berkaitan dengan sejarah. Setiap akhir pekan kami bergerak dari satu museum ke museum lain. Museum yang dalam bayangan saya, ini persepsi juga, adalah sebentuk bangunan tua dan kusam awalnya tidak terlalu menimbulkan antusias ketimbang mencari toko Asia penjual cabai, mie instan atau beras. 

Sekalipun berusaha semaksimal menyesuaikan diri dengan makanan kebanyakan orang Amerika, tetap saja mie instan atau nasi menjadi favorit pengobat rindu tanah air. Bagi saya yang terbiasa dengan Ayam Bakar Taliwang atau Pelecing Lombok, pedisnya cabai dari Mexico ternyata belum ada apa-apanya dibanding cabai dari Asia. Selera asal sebagai pribumi dari Timur ternyata tidak bisa dikibuli ha ha.

Kembali tentang museum.

Saat memasuki kawasan lalu melewati pintu utama Mission San Luis Museum, gambaran museum dalam benak seketika berubah. Museum ternyata adalah sesuatu yang “hidup”. Museum Mission San Luis de Apalachee ini bercerita tentang satu dari lebih 100 pemukiman yang didirikan pendatang Spanyol di Florida di antara tahun 1560-an dan 1690-an. San Luis merupakan pos militer Spanyol paling Barat, pusat penyebaran agama dan juga pusat pemerintahan. Pada masanya San Luis adalah perkampungan kediaman pemimpin utama Suku Indian Apalachee dan juga Wakil Gubernur Spanyol. Antara tahun 1656-1704 San Luis pernah dihuni oleh lebih dari 1400 orang baik Indian maupun pemukim Spanyol.

Di sini saya baru dengar nama Suku Indian Apalachee. Nama yang umum untuk menyebut Indian hanya Apache, Sioux atau Mohican. Lagi-lagi batas antara mengetahui dan tidak mengetahui adalah persepsi.

Memasuki kawasan San Luis ibarat melewati gerbang waktu menuju ke suasana Amerika tahun 1700-an dimana kaum Indian dan pendatang Spanyol hidup berdampingan. 

Rumah kepala suku, kediaman pendeta, tenda utama pertemuan adat Indian Apalachee dan bengkel pandai besi berdiri kokoh dalam ukuran sebenarnya. Meski sebagian sudah pernah direkonstruksi namun bangunannya masih dapat bercerita tentang suasana pada masa itu. (Lebih jauh tentang isi museum lihat di sini)

Pengelolaan dan penataan museum yang menarik bagi saya. Tiket masuk dewasa $5, anak dan remaja 6 - 17 tahun $2 dan untuk yang berusia lebih dari 65 tahun tiketnya $3.

Adakah di negara kita yang sudah berusia 65 tahun ke atas masih sudi berkunjung ke museum? Selain peneliti atau peminat yang hatinya sudah tertambat dengan perihal kesejarahan, rasanya sulit membayangkan kakek-nenek kita mau berkunjung ke museum. Entah karena museumnya yang tidak menarik atau memang kondisi kesehatan yang tidak mendukung. Bagi sebagian kita bisa jadi pertanyaannya adalah apa pentingnya museum?

Di San Luis Mission saya masih melihat warga berusia 60-an tahun berkunjung dan ikut berkeliling di kawasan yang hanya bisa dijelajahi dengan berjalan kaki dan tanpa asap rokok ini.

Pemandu wisata dalam kawasan ini tidak sekedar bercerita. Dengan pakaian seperti kostum penghuni San Luis dulunya, mereka fasih menjelaskan A sampai Z tentang bagian yang menjadi tanggung jawabnya. Pandai besi yang mencontohkan cara membuat paku, cara membentuk logam menjadi senjata atau bahkan sendok, dalam pakaian seperti pandai besi umumnya dapat menjelaskan kenapa pandai besi disebut blacksmith dan bukan whitesmith.

Ternyata sebagian pemandu wisata di sini adalah pelajar atau mahasiswa yang sedang melakukan penelitian sebagai bentuk kerja sosial yang dapat diperhitungkan bobot kreditnya, seperti KKN kalau di kampus-kampus negara kita.

Pikiran saya melayang jauh ke tanah air, di mana bekerja di museum diidentikkan dengan bekerja di jalan sunyi. Pekerjaan yang berhubungan dengan museum adalah pekerjaan yang sepi dari peminat.

Di Mission San Luis, ujung selatan Amerika Serikat di Florida, negara bagian yang tidak pernah didatangi salju, saya mulai menikmati cerita dari dalam museum. Di Mission San Luis saya mulai bisa memahami betapa masa lalu dapat menjadi peneguh keberadaan kita di hari ini.

Sebagai penanda sejarah yang monumental, Mission San Luis ditetapkan sebagai National Historic Landmark di tahun 1960 dan melalui koleksinya yang terbentang 3 (tiga) abad menjadikan sebagai situs terlengkap yang bisa bercerita tentang misi-misi kolonisasi Amerika. 

Ceritanya yang disajikannya adalah cerita yang hidup seiring tapak kaki kita melangkahi setiap sudut, menjejaki setiap anak tangga bangunan benteng Spanyol yang dihuni milisi Apalachee yang dilatih menggunakan senjata api.

Kalau gambar dapat mewakili ribuan kata, bagaimana dengan pengalaman simulasi? Simulasi kehidupan misionaris, pekerjaan menempa dari pandai besi dan juga suasana pertemuan petinggi suku Indian Apalachee dalam tenda raksasa yang pernah menampung sampai 3000 orang?

Persepsi dapat disamakan kalau antara yang tidak diketahui dan yang diketahui dapat didekatkan. Salah satu cara untuk mengetahui, selain dengan membaca dan mendengar, adalah merasakan sensasinya secara langsung. Meski hanya simulasi, namun dengan abstraksi realita dapat diperkuat meski hanya di ruang virtual.

Dengan koleksi yang bercerita dalam rentang 3 abad, Mission San Luis hanya berjarak 3 mil dari hotel tempat saya melewati malam sambil mencoba menghubungi anak-istri yang berselisih 12 jam di belahan dunia yang dibatasi garis tanggal. Melalui abstraksi, beda siang di Indonesia dan malam di Florida kami persepsikan sama saja melalui kata-kata via medsos.

Salam.

Pemandu wisata menjelaskan kehidupan para misionaris (dokpri)
Pemandu wisata menjelaskan kehidupan para misionaris (dokpri)

Asisten pandai besi (dokpri)
Asisten pandai besi (dokpri)

Pandai besi (dokpri)
Pandai besi (dokpri)

Council house (dokpri)
Council house (dokpri)

Kami di salah satu pintu masuk Mission San Luis, 2015 (dokpri)
Kami di salah satu pintu masuk Mission San Luis, 2015 (dokpri)

Halaman belakang rumah misionaris yang juga menjadi tempat memasak (dokpri)
Halaman belakang rumah misionaris yang juga menjadi tempat memasak (dokpri)

Beberapa perkakas di dalam Council House (dokpri)
Beberapa perkakas di dalam Council House (dokpri)

Pemandu wisata dalam Council House (dokpri)
Pemandu wisata dalam Council House (dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun