Saat saya tidak memiliki legitimasi kekuasaan untuk bertitah atau legitimasi akademik untuk berorasi apalagi legitimasi kapital untuk menentukan arah transaksi, maka saya adalah bagian dari "orang banyak" tadi. Orang yang hanya ditandai, diingat dan diperhitungkan karena terhitung keberadaannya dalam kerumunan. Tanpa membentuk dan tergabung dalam jumlah yang signifikan, maka saya tidak berarti apa-apa.
Siapakah pedagang kopi tubruk keliling yang saban hari dengan setia menelusuri trotoar jalanan menawarkan segelas kopi dari sachet-an kepada pejalan kaki yang tak mampu duduk di kafe-kafe mewah itu?
Siapakah pedagang soto, penjual ketoprak, penjaja siomay yang selama ini setia menemani sarapan para sopir taksi dan pengemudi angkot di pinggir jalan? Dan siapakah konsumen mereka yang sabar dan setia membentuk jejaring simbiosis mutualisme itu?
Dalam bahasa para elit, mereka inilah yang disebut "orang banyak", masyarakat awam yang perlu lebih keras lagi diberi edukasi agar mereka faham bahwa Corona itu mengancam kelangsungan hidup "kita" semua. "Kita" yang dimaksud dalam bahasa elit disampaikan dalam bungkus term administratif misalnya "kita" yang berada di wilayah Provinsi X, "kita" yang mernjadi warga Kabupaten B atau "kita" yang bekerja di Kota C dan paling tinggi adalah kita sebagai bagian dari negara. Pada saat bersamaan "kita" itu adalah "orang banyak" yang berjarak dengan elit.
Elit tidak mesti selalu berarti penguasa yang secara formal kita kenal. Penerbit buku tidak melihat siapa sebenarnya setiap pembaca buku yang dicetaknya karena jumlah buku terjual lah yang jauh lebih penting. Kelompok pembaca sebuah buku menjadi "orang banyak" dalam relasi dengan penerbit yang berkuasa menentukan buku tema apa, perwajahan seperti apa dan tulisan siapa. Penulis sebagai pemilik gagasan dan pembaca sebagai pencari dan penikmat asupan pengetahuan dan inspirasi hanya menjadi bagian dari struktur kekuasaan tersebut. Siapa kita dan siapa mereka menjadi kenyataan yang  pewujudan fisiknya ditentukan kemampuan abstraksi masing-masing.
Dalam situasi pandemi yang kita semua ada di dalamnya, penggunaan term "kita" menjadi pembuka dari setiap narasi himbauan elit yang mengasumsikan bahwa "orang banyak" dan elit sudah bersepakat tentang siapa musuh bersama kita. Elit dan orang banyak itu juga sudah sepakat tentang betapa berbahanya musuh tak kasat mata bernama Corona itu. Bukankah kesepakatan merupakan ciri luhur penduduk negeri ini?Â
Cara pandang ini yang diam-diam digunakan saat elit mendorong social distancing. Siapapun anda, dari manapun anda berasal, dan apapun aktifitas untuk penghidupan anda, segeralah menjaga jarak antar sesama. Hindarilah kontak fisik dengan sesama. Batasi tampilan identitas wajah anda dengan menutupinya sebagian dengan masker dan sarung tangan. Siapapun yang datang mendekat, segeralah suruh dia mencuci tangan terlebih dahulu.
Sayangnya asumsi tadi nyatanya tidak berjalan lancar di lapangan karena beberapa unsur dari relasi "orang banyak" dan elit di atas justru bertindak yang tidak sepenuhnya didasarkan pada kesepakatan dan kesepahaman itu.
Mahasiswa yang nekat mudik, pedagang informal yang tak lagi bisa beraktifitas optimal karena PSBB dan pekerja lainnya yang pendapatannya tergantung dari sirkulasi orang dan barang nyatanya memilik simpulan tersendiri tentang siapa yang terancam. Mengenal siapa "kita" menjadi penting saat ancaman datang tapi tidak dianggap penting saat tindakan dirumuskan.Â
Corona tidak peduli siapa kita karena, sebagaimana elit memandang "orang banyak", ancaman virus hanya berkepentingan dengan banyak dan dekatnya orang, bukan siapa orangnya. Banyaknya orang berarti besarnya peluang bagi virus untuk berbiak, berdekatannya orang yang banyak itu berarti meningkatnya peluang dan bertambahnya kecepatan pembiakan virus. Nampak bahwa virus dan elit memiliki "cara pandang" yang sama melihat orang, banyaknya orang lebih penting dari siapa saja orangnya.
Tetangga, sahabat atau anggota keluarga pun sebisa mungkin kita kenali dengan label atau status PDP, ODP atau OTG. Status ini pun akan terbawa ketika sebagian di antara harus menerima takdir berakhir hidupnya. Penyematan label tersebut pada jenazah menentukan bisakah jasad dimakamkan dengan cara dan penerimaan biasa dan semestinya. Penolakan jenazah yang teridentifikasi pasien Covid-19 membuktikan hal ini.