Kalau anda seorang programmer atau pengembang aplikasi, mestinya anda kenal dengan salah satu bahasa pemrograman yaitu JAVA yang menurut kisahnya dikembangkan oleh James Gosling dan mitranya di SUN Microsystem. Bahasa program yang populer ini logonya cangkir lengkap dengan kepulan uap yang dengan mudah kita langsung tahu bahwa itu adalah secangkir kopi. Hmm….
Upps, saya tidak akan mengajak anda mengulik ragam pemanfaatan JAVA dalam mendukung work from home, study from home atau stay at home yang memang tidak akan jauh-jauh dengan aplikasi berbasis internet. Sisi menarik dari kisah Gosling adalah kenapa menggunakan nama JAVA yang sudah pasti berasosiasi dengan JAWA alias Pulau Jawa di negara kita.
Ternyata menurut kisah, nama "Java" muncul saat dia ingin mengganti nama bahasa besutannya, yang semula dinamakan OAK, karena sudah ada yang lebih dahulu memakainya. Sebagai penggemar kopi dan sering melewatkan waktu rehatnya di kafe, seketika dia mendapat ide menggunakan nama JAVA yang menurut sejarahnya memang lekat dengan komoditas yang dibawa dari dunia timur itu.
Nusantara yang diwakili oleh citra kopinya ternyata berperan dalam memuluskan pengembangan salah satu bahasa program yang populer itu. Diam-diam, nama Jawa lekat dalam keseharian Gosling, menemani dia bekerja dan menambah semangat untuk kembali mengulik bahasa-bahasa coding yang tidak semua kita fahami itu.
Cairan hitam dengan aroma khas itu menjadi solusi penamaan bahasa program yang dia kembangkan.
Di tempat lain, walau terkadang diremehkan, rehat sejenak dari aktifitas yang menyita konsentrasi sangat direkomendasikan, apalagi kalau pekerjaan tersebut harus dilakukan dengan duduk, sambil menatap laptop lagi, dalam jangka waktu berjam-jam. Rehat sejenak sambil menyeruput kopi dapat menjadi cara meningkatkan kembali konsentrasi yang agak kendur.
Sejak kapan rehat dikaitkan dengan kopi?
Dikutip dari laman mentalfloss.com, ternyata istilah rehat kopi atau coffe break muncul pertama kali tahun 1952 saat Pan-American Coffee Bureau meluncurkan kampanye iklan yang memberi tahu pelanggan untuk "Beri diri Anda Istirahat Kopi— dan Dapatkan Apa yang Diberikan Kopi kepada Anda".
Budaya lain memiliki versi coffee break mereka sendiri, orang Jerman misalnya memiliki kaffeeklatsch, di mana mereka berkumpul dan mendiskusikan kegiatan hari itu dengan secangkir kopi. Di Swedia, para pekerja menikmati fika kopi dua kali sehari — sekali di pagi hari, sekali lagi di sore hari. Dan di Inggris, mereka menggunakan teh pada waktu minum teh.
Memang, asal mula tradisi ini belum ada yang bisa memastikannya selain satu hal yaitu: tidak peduli siapa Anda, menikmati kopi baik untuk produktivitas dan mendorong kebahagiaan. Gosling telah membuktikannya dan manfaat itu dia lekatkan dengan sebuah pulau nun jauh di belahan Selatan yang bernama Java alias Jawa.
Boleh dong bangga karena Nusantara telah memberikan sumbangan besar dalam kemajuan bahasa pemrograman melalui seruputan dan uap kopi peningkat produktifitas para pekerja teknologi informatika. Ibarat cookies, kopi tidak terlihat pada semua tampilan produk teknologi namun dia bekerja di layar belakang, kopi memberi kemampuan para pekerja untuk merekam jejak pengalaman dan pengetahuan mereka secara lebih santai. Coffe break karenanya juga dapat diibaratkan pit stop dalam balapan formula yang meski waktunya singkat namun mampu meningkatkan kinerja dan menentukan hasil akhir dari sebuah balapan.
Bagaimana dengan jaman ketika teknologi informasi belum menjadi bagian penting dalam hidup seperti sekarang?
Ternyata kopi adalah bahan penting dalam pergulatan pemikiran para tokoh besar dalam sejarah peradaban. Tentu bukan kopinya yang dijadikan bahan perdebatan, apalagi berdebat karena kopi. Tapi salah satu kutipan dalam buku Scott Parker dan Michael W. Austin dengan judul “Coffee, Philosophy for Everyone, Grounds for Debate” dan dipublikasikan tahun 2011 adalah:
“No one can understand the truth until he drinks of coffee’s frothy goodness”
Sebagaimana kisah tentang tujuan coffe break di awal dan juga kutipan di atas, kopi membantu terciptanya ruang publik. Ketika kopi dikenal Eropa di abad 17, kedai kopi kemudian menjadi ruang publik dimana segala hal bisa dibicarakan oleh siapa saja atau sekadar tempat tertawa bersama. Tanpa kopi obrolan memang akan terasa kurang lengkap.
Orang muda seperti Napoleon, Voltaire, Robespierre, Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson sering menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi di Paris. Percakapan mereka yang ditemani secangkir, atau bercangkir-cangkir kopi, meluas sampai ke tema filsafat, hak warga negara dan legitimasi monarki. Salah satu kedai kopi terkenal Café Procope menjadi tempat Voltaire selalu minum kopi bahkan sampai 50 gelas seharinya!
Eko Laksono dalam bukunya Metropolis Universalis (2013) menceritakan bagaimana revolusi Amerika disulut idenya dari Green Dragon Tavern, kedai kopi yang kemudian dijuluki The Headquarter of Revolutions. Ya, Ibukota Revolusi! Laksono sebenarnya lebih banyak berbicara tentang urban design (rancang kota), tapi sekelumit kisah tentang kopi dan kafe dalam bukunya menjadi semacam coffe break bagi kita untuk menangkap fenomena sejarah yang mungkin terlewatkan ini. Terlewatkan karena kita sering tak sadar larut dalam bualan M. Yamin tentang 350 tahun Indonesia Dijajah Belanda, tentang kejayaan Majapahit yang menguasai Asia Tenggara dan sejenisnya.
Kalau Gosling membaptis bahasa programnya dengan nama yang terasosiasi kuat dengan kopi, maka revolusi besar peradaban ternyata diberi energi oleh secangkir kopi dan diberi ruang oleh kedai kopi. Pentingnya kafe dan kopi dalam pergulatan diskusi pemikiran mereka cukup menggelitik karena kopi bukan tanaman asli Eropa atau Amerika. Tradisi minum kopi pun awalnya bukan budaya mereka.
Sekira abad XV, kopi awalnya digunakan oleh para sufi di Etiopia dan Yaman untuk membantu mereka tetap terjaga dan dapat melakukan ritual berdoa tengah malam dan diiringi tarian-tarian mistis. Mereka lalu menyebarkan, lebih tepat sebenarnya membawa, qahwa itu ke dunia Arab lainnya termasuk Mekkah. Kata qahwa ketika sampai di Turki menjadi kahve dan kopi menjadi sajian wajib dalam perjamuan kerajaan. Mereka yang tak mampu mengikuti jamuan kerajaan dapat menikmati kopi di kaveh kane (kedai kopi).
Seorang dokter Jerman Leonhard Rauwolf yang menerbitkan laporan perjalanannya ke Timur (1582) menyebut nama Chaube untuk “minuman yang hampir hitam seperti tinta, dan sangat baik untuk mengobati penyakit, terutama yang berhubungan dengan pencernaan; mereka minum di pagi hari, sepanas yang mereka bisa; mereka sering menaruhnya di bibir mereka tetapi minum tetapi sedikit demi sedikit…”.
Sekalipun awalnya mendapat penolakan dari banyak kalangan, salah satunya karena identik dengan kaum Muslim terutama karena sifatnya yang tidak memabukkan sehingga tidak haram diminum dan juga diperdagangkan, lambat laun kopi mendapat popularitas yang terus meningkat di Eropa. Diceritakan bahwa ketika Paus Clement VIII (wafat 1605) pertama mencicipi kopi beliau mengatakan:
"Kenapa minuman Setan ini begitu nikmat.
Sayang sekali membiarkan orang-orang kafir menggunakannya secara eksklusif.
Kita harus menipu Setan dengan membaptisnya dan menjadikannya minuman yang benar-benar Kristen."
Sejarah awal kopi, termasuk legenda Kaldi dan Kambing Menarinya (Kaldi and His Dancing Goats), dapat dibaca lebih lengkap, salah satu rujukan klasik, dalam “All About Coffe, 2nd Ed”, William H. Ukers, 1935. (Silahkan beri komentar yang minat dengan edisi digitalnya)
Mari kembali ke kata Java dan perannya dalam perdagangan dunia.
Meningkatnya popularitas kopi di Eropa menjadikan biji kopi salah satu komoditi dagang yang menguntungkan. Secara tradisional awalnya perdagangan biji kopi dikuasai oleh pedagang Arab atau Muslim, diperkuat dengan label halal alias tidak memabukkan, yang menghubungkan kopi dari tempat penanamannya di Afrika dan Asia di seputaran katulistiwa ke pasar Eropa di belahan Utara. Selain rempah-rempah, kopi adalah komoditas yang menjadi primadona dan ikut memperkuat jalur perdagangan dunia yang simpul distributor utamanya di Laut Tengah dan pantai Utara Eropa.
Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Kekhalifaan Ottoman tahun 1453 membuat tatanan perdagangan dunia berubah. Negara-negara Eropa dipaksa mencari jalan lain untuk mencapai sumber rempah dan kopi di Timur karena simpul dagang mereka kini dikuasai oleh Ottoman. Kita sudah tahu bagaimana kisah Belanda sampai di Nusantara lalu mendirikan Serikat Dagang Hindia Belanda alias VOC. Era imperialisme dan kolonial dimulai.
Fernando dalam The Global Coffee Economy in Africa, Asia and Latin America 1500-1989 (2003) menyebutkan bahwa Jawa mulai mengekpor kopinya ke Eropa di awal abad 18 yang sangat menguntungkan VOC. Ketika VOC bubar, penguasaan kopi dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan digunakan sebagai salah sumber pendapatan untuk menutupi hutang yang diwariskan dari VOC.
Sebelum berjangkitnya hama daun (hemileia vastatrix) di awal tahun 1880-an, ekspor kopi dari Jawa mencapai 18% dari keseluruhan volume ekspor kopi dunia dan terutama mengisi pasar Eropa. Tingginya ekspor kopi dari Jawa tidak lepas dari kebijakan Tanam Paksa (Kultuur Stelsel) yang diterapkan. Untung bagi Hindia Belanda tapi sengsara bagi penduduk Jawa. Kopi saat itu bukanlah tanaman pokok bagi rakyat karena tidak menjamin kelangsungan hidup seperti beras dan palawija, tapi dipaksakan ditanam oleh pemerintah dan dengan harga jual yang sangat rendah. Kesengsaraan mengikuti setiap batang kopi yang ditanam di lereng-lereng pegunungan yang jauh dari pemukiman penduduk. Kemelaratan membayang dari setiap pikul biji kopi yang diangkut menuju gudang-gudang yang ditentukan.
Pemerintah di Batavia menerapkan “pikul gunung” seberat 102 kg untuk menghitung jumlah kopi yang diserahkan dan dibayar dengan ukuran “pikul Batavia” yang hanya 56 kg. Artinya petani kopi dibayar seharga 56 kg untuk kopi seberat 102 kg. Dalam transaksi itu yang sering diuntungkan adalah para Bupati, karena Bupati yang diserahi tugas untuk mengatur produksi di wilayah masing-masing untuk mengejar kuota yang ditentukan dari Batavia. Pemerintah Hindia Belanda hanya memantau melalui penempatan pengawas yang berstatus sebagai pegawai negeri.
Karena pengabaian dan ketidakpedulian yang ditunjukkan para petani penduduk asli, para pengawas pun diangkat untuk membantu para bupati mengatur produksi dan mengontrol perawatan kebun kopi.
Para pengawas ini dikenal dengan nama “sersan kopi” dan dari kelompok pengontrol inilah pegawai negeri di negara kolonial Hindia Belanda dikembangkan.
(Bernard Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, 2016)
Seperti Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika, kopi dari sisi berbeda memberi bahan bakar munculnya revolusi di Hindia Belanda. Kalau petani kopi Hindia Belanda memberikan biji kopi ke Eropa dan menjadi penambah semangat diskusi di kafe-kafe yang lalu melahirkan gerakan peradaban baru di dunia, justru di tanah kelahirannya penggerak revolusi adalah derita petaninya sendiri.
Buku Max Havelaar bercerita tentang duka rakyat yang dipaksa menanam kopi. Selain menjadi bibit revolusi di Hindia Belanda, akibat novel yang ditulis Multatuli itu revolusi poitik juga muncul di Negeri Belanda sendiri terhadap praktik tanam paksa.
Ups, saat banyak pelaku pendidikan menggaungkan literasi di sekolah-sekolah, adakah yang sempat membacakan Max Havelaar karya Multatuli kepada siswanya, novel yang pada masanya juga dianggap membawa revolusi dalam kesusasteraan ini?
Sambil menyeruputi kopi anda, resapilah setiap teguknya karena melalui rasanya kopi anda sedang bercerita tentang tanah di mana dia ditumbuhkan. Dari kepulan uap membumbungnya bisa jadi kopi anda berkisah tentang lereng dan ketinggian tempat dia dulunya ditanam. Dari wadah kopi yang anda pakai, bayangkanlah rantai ekonomi panjang yang menghubungkan anda dengan petaninya nun jauh di pedalaman Panama, Amerika Latin. Varian kopi yang anda sukai mungkin berbeda dengan kopi yang dihidangkan di istana Ottoman dahulu, tapi itulah gambaran jaman yang berubah meski tetap menggenggam cangkir kopi.
Satu yang pasti, Nusantara pernah mewarnai pergulatan pemikiran peradaban dunia melalui kepulan uap kopi terbaiknya dan di saat ini bisa jadi JAVA warisan Gosling masih akan terus anda up date di gawai anda. Tidak ketinggalan para pegawai negeri, Aparatur Sipil Negara namanya kini, atas kepentingan pengendalian produksi kopi lah pemerintah kolonial dulu membentuknya, lepas dari struktur kerajaan atau kabupaten. Setiap tegukan kopi pegawai negeri adalah tegukan seorang pengawas (dulunya, he he)
Mari menikmati kopi.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H