Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kopi "Jawa" dan Jejaknya dalam Revolusi Dunia

12 April 2020   17:20 Diperbarui: 14 Juni 2020   11:01 4700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Secangkir kopi (dokpri)

Mari kembali ke kata Java dan perannya dalam perdagangan dunia.

Meningkatnya popularitas kopi di Eropa menjadikan biji kopi salah satu komoditi dagang yang menguntungkan. Secara tradisional awalnya perdagangan biji kopi dikuasai oleh pedagang Arab atau Muslim, diperkuat dengan label halal alias tidak memabukkan, yang menghubungkan kopi dari tempat penanamannya di Afrika dan Asia di seputaran katulistiwa ke pasar Eropa di belahan Utara. Selain rempah-rempah, kopi adalah komoditas yang menjadi primadona dan ikut memperkuat jalur perdagangan dunia yang simpul distributor utamanya di Laut Tengah dan pantai Utara Eropa.

Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Kekhalifaan Ottoman tahun 1453 membuat tatanan perdagangan dunia berubah. Negara-negara Eropa dipaksa mencari jalan lain untuk mencapai sumber rempah dan kopi di Timur karena simpul dagang mereka kini dikuasai oleh Ottoman. Kita sudah tahu bagaimana kisah Belanda sampai di Nusantara lalu mendirikan Serikat Dagang Hindia Belanda alias VOC. Era imperialisme dan kolonial dimulai.

Fernando dalam The Global Coffee Economy in Africa, Asia and Latin America 1500-1989 (2003) menyebutkan bahwa Jawa mulai mengekpor kopinya ke Eropa di awal abad 18 yang sangat menguntungkan VOC. Ketika VOC bubar, penguasaan kopi dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan digunakan sebagai salah sumber pendapatan untuk menutupi hutang yang diwariskan dari VOC.

Sebelum berjangkitnya hama daun (hemileia vastatrix) di awal tahun 1880-an, ekspor kopi dari Jawa mencapai 18% dari keseluruhan volume ekspor kopi dunia dan terutama mengisi pasar Eropa. Tingginya ekspor kopi dari Jawa tidak lepas dari kebijakan Tanam Paksa (Kultuur Stelsel) yang diterapkan. Untung bagi Hindia Belanda tapi sengsara bagi penduduk Jawa. Kopi saat itu bukanlah tanaman pokok bagi rakyat karena tidak menjamin kelangsungan hidup seperti beras dan palawija, tapi dipaksakan ditanam oleh pemerintah dan dengan harga jual yang sangat rendah. Kesengsaraan mengikuti setiap batang kopi yang ditanam di lereng-lereng pegunungan yang jauh dari pemukiman penduduk. Kemelaratan membayang dari setiap pikul biji kopi yang diangkut menuju gudang-gudang yang ditentukan.

Pemerintah di Batavia menerapkan “pikul gunung” seberat 102 kg untuk menghitung jumlah kopi yang diserahkan dan dibayar dengan ukuran “pikul Batavia” yang hanya 56 kg. Artinya petani kopi dibayar seharga 56 kg untuk kopi seberat 102 kg. Dalam transaksi itu yang sering diuntungkan adalah para Bupati, karena Bupati yang diserahi tugas untuk mengatur produksi di wilayah masing-masing untuk mengejar kuota yang ditentukan dari Batavia. Pemerintah Hindia Belanda hanya memantau melalui penempatan pengawas yang berstatus sebagai pegawai negeri.

Karena pengabaian dan ketidakpedulian yang ditunjukkan para petani penduduk asli, para pengawas pun diangkat untuk membantu para bupati mengatur produksi dan mengontrol perawatan kebun kopi. 

Para pengawas ini dikenal dengan nama “sersan kopi” dan dari kelompok pengontrol inilah pegawai negeri di negara kolonial Hindia Belanda dikembangkan.

(Bernard Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, 2016)

Seperti Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika, kopi dari sisi berbeda memberi bahan bakar munculnya revolusi di Hindia Belanda. Kalau petani kopi Hindia Belanda memberikan biji kopi ke Eropa dan menjadi penambah semangat diskusi di kafe-kafe yang lalu melahirkan gerakan peradaban baru di dunia, justru di tanah kelahirannya penggerak revolusi adalah derita petaninya sendiri. 

Buku Max Havelaar bercerita tentang duka rakyat yang dipaksa menanam kopi. Selain menjadi bibit revolusi di Hindia Belanda, akibat novel yang ditulis Multatuli itu revolusi poitik juga muncul di Negeri Belanda sendiri terhadap praktik tanam paksa.

Ups, saat banyak pelaku pendidikan menggaungkan literasi di sekolah-sekolah, adakah yang sempat membacakan Max Havelaar karya Multatuli kepada siswanya, novel yang pada masanya juga dianggap membawa revolusi dalam kesusasteraan ini?

Sambil menyeruputi kopi anda, resapilah setiap teguknya karena melalui rasanya kopi anda sedang bercerita tentang tanah di mana dia ditumbuhkan. Dari kepulan uap membumbungnya bisa jadi kopi anda berkisah tentang lereng dan ketinggian tempat dia dulunya ditanam. Dari wadah kopi yang anda pakai, bayangkanlah rantai ekonomi panjang yang menghubungkan anda dengan petaninya nun jauh di pedalaman Panama, Amerika Latin. Varian kopi yang anda sukai mungkin berbeda dengan kopi yang dihidangkan di istana Ottoman dahulu, tapi itulah gambaran jaman yang berubah meski tetap menggenggam cangkir kopi. 

Satu yang pasti, Nusantara pernah mewarnai pergulatan pemikiran peradaban dunia melalui kepulan uap kopi terbaiknya dan di saat ini bisa jadi JAVA warisan Gosling masih akan terus anda up date di gawai anda. Tidak ketinggalan para pegawai negeri, Aparatur Sipil Negara namanya kini, atas kepentingan pengendalian produksi kopi lah pemerintah kolonial dulu membentuknya, lepas dari struktur kerajaan atau kabupaten. Setiap tegukan kopi pegawai negeri adalah tegukan seorang pengawas (dulunya, he he)

Mari menikmati kopi.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun