Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kopi "Jawa" dan Jejaknya dalam Revolusi Dunia

12 April 2020   17:20 Diperbarui: 14 Juni 2020   11:01 4700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Boleh dong bangga karena Nusantara telah memberikan sumbangan besar dalam kemajuan bahasa pemrograman melalui seruputan dan uap kopi peningkat produktifitas para pekerja teknologi informatika. Ibarat cookies, kopi tidak terlihat pada semua tampilan produk teknologi namun dia bekerja di layar belakang, kopi memberi kemampuan para pekerja untuk merekam jejak pengalaman dan pengetahuan mereka secara lebih santai. Coffe break karenanya juga dapat diibaratkan pit stop dalam balapan formula yang meski waktunya singkat namun mampu meningkatkan kinerja dan menentukan hasil akhir dari sebuah balapan.

Bagaimana dengan jaman ketika teknologi informasi belum menjadi bagian penting dalam hidup seperti sekarang?

Ternyata kopi adalah bahan penting dalam pergulatan pemikiran para tokoh besar dalam sejarah peradaban. Tentu bukan kopinya yang dijadikan bahan perdebatan, apalagi berdebat karena kopi. Tapi salah satu kutipan dalam buku Scott Parker dan Michael W. Austin dengan judul “Coffee, Philosophy for Everyone, Grounds for Debate” dan dipublikasikan tahun 2011 adalah:

“No one can understand the truth until he drinks of coffee’s frothy goodness”

Sebagaimana kisah tentang tujuan coffe break di awal dan juga kutipan di atas, kopi membantu terciptanya ruang publik. Ketika kopi dikenal Eropa di abad 17, kedai kopi kemudian menjadi ruang publik dimana segala hal bisa dibicarakan oleh siapa saja atau sekadar tempat tertawa bersama. Tanpa kopi obrolan memang akan terasa kurang lengkap.

Orang muda seperti Napoleon, Voltaire, Robespierre, Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson sering menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi di Paris. Percakapan mereka yang ditemani secangkir, atau bercangkir-cangkir kopi, meluas sampai ke tema filsafat, hak warga negara dan legitimasi monarki. Salah satu kedai kopi terkenal Café Procope menjadi tempat Voltaire selalu minum kopi bahkan sampai 50 gelas seharinya!

Eko Laksono dalam bukunya Metropolis Universalis (2013) menceritakan bagaimana revolusi Amerika disulut idenya dari Green Dragon Tavern, kedai kopi yang kemudian dijuluki The Headquarter of Revolutions. Ya, Ibukota Revolusi! Laksono sebenarnya lebih banyak berbicara tentang urban design (rancang kota), tapi sekelumit kisah tentang kopi dan kafe dalam bukunya menjadi semacam coffe break bagi kita untuk menangkap fenomena sejarah yang mungkin terlewatkan ini. Terlewatkan karena kita sering tak sadar larut dalam bualan M. Yamin tentang 350 tahun Indonesia Dijajah Belanda, tentang kejayaan Majapahit yang menguasai Asia Tenggara dan sejenisnya.

Kalau Gosling membaptis bahasa programnya dengan nama yang terasosiasi kuat dengan kopi, maka revolusi besar peradaban ternyata diberi energi oleh secangkir kopi dan diberi ruang oleh kedai kopi. Pentingnya kafe dan kopi dalam pergulatan diskusi pemikiran mereka cukup menggelitik karena kopi bukan tanaman asli Eropa atau Amerika. Tradisi minum kopi pun awalnya bukan budaya mereka.

Sekira abad XV, kopi awalnya digunakan oleh para sufi di Etiopia dan Yaman untuk membantu mereka tetap terjaga dan dapat melakukan ritual berdoa tengah malam dan diiringi tarian-tarian mistis. Mereka lalu menyebarkan, lebih tepat sebenarnya membawa, qahwa itu ke dunia Arab lainnya termasuk Mekkah. Kata qahwa ketika sampai di Turki menjadi kahve dan kopi menjadi sajian wajib dalam perjamuan kerajaan. Mereka yang tak mampu mengikuti jamuan kerajaan dapat menikmati kopi di kaveh kane (kedai kopi).

Seorang dokter Jerman Leonhard Rauwolf yang menerbitkan laporan perjalanannya ke Timur (1582) menyebut nama Chaube untuk “minuman yang hampir hitam seperti tinta, dan sangat baik untuk mengobati penyakit, terutama yang berhubungan dengan pencernaan; mereka minum di pagi hari, sepanas yang mereka bisa; mereka sering menaruhnya di bibir mereka tetapi minum tetapi sedikit demi sedikit…”.

Sekalipun awalnya mendapat penolakan dari banyak kalangan, salah satunya karena identik dengan kaum Muslim terutama karena sifatnya yang tidak memabukkan sehingga tidak haram diminum dan juga diperdagangkan, lambat laun kopi mendapat popularitas yang terus meningkat di Eropa. Diceritakan bahwa ketika Paus Clement VIII (wafat 1605) pertama mencicipi kopi beliau mengatakan:

"Kenapa minuman Setan ini begitu nikmat. 

Sayang sekali membiarkan orang-orang kafir menggunakannya secara eksklusif. 

Kita harus menipu Setan dengan membaptisnya dan menjadikannya minuman yang benar-benar Kristen."

Sejarah awal kopi, termasuk legenda Kaldi dan Kambing Menarinya (Kaldi and His Dancing Goats), dapat dibaca lebih lengkap, salah satu rujukan klasik, dalam “All About Coffe, 2nd Ed”, William H. Ukers, 1935. (Silahkan beri komentar yang minat dengan edisi digitalnya)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun