Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awas Virus Penunggang Covid-19: Hoaks

25 Maret 2020   14:26 Diperbarui: 25 Maret 2020   15:37 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi ragam latar belakang anggota grup atau komunitas media sosial kita terkadang membuat arah pertukaran informasi menjadi tidak seimbang. Ada yang kemudian menjadi dominan sedangkan yang lain menjadi sub dominan. Dominasi seringkali menjadi legitimasi satu atas yang lain. Belum lagi kalau ada yang tidak sadar menggunakan prinsip dari Joseph Goebbels, menteri Propaganda Nazi dulu, yaitu "sebarkan berita (bohong) sesering dan sebanyak mungkin sehingga, berita bohong tersebut, akan dianggap sebagai kebenaran". Dalam logika kesesatan model ini disebut "argumentum ad nauseam".

Mungkin tidak ada yang berniat jahat seperti itu dalam penyebarluasan berita bohong seputar Covid-19. Latar belakang situasi dan kapasitas lah yang membuat konteks demikian bisa mewujud dalam aliran informasi hari-hari kita sekarang ini. Situasi yang mencemaskanlah yang membuat setiap kita membutuhkan penenang atau penguat agar memiliki panduan bersikap. Kapasitas kita masing-masing yang menentukan seberapa tepat kita memilih dan memilah informasi.

Ancaman dari situasi negatif dan kemuraman wajah negara yang bertumpuk pada literasi warga yang rendah merupakan wadah subur untuk berbiaknya virus baru, tapi sebenarnya sudah lama, bernama hoax. Virus ini ikut menyebar bersama perluasan informasi seputar Covid-19. Sebagaimana virus umumnya yang hanya berkepentingan untuk berbiak dan mereplikasi diri, virus hoax atau berita bohong juga semakin berbiak di atas kemuraman yang diciptakannya sendiri. Selentingan tentang seorang tetangga yang terpapar dengan cepat menyebar kepada komunitas lalu naik ke tingkat regional.

Kecepatan akses informasi, sempitnya ruang untuk melakukan verifikasi dan dorongan "tanggungjawab moral" untuk saling mengingatkan menciptakan efek berantai dan amplifikasi (penguatan). Hampir tidak ada kesulitan menekan tombol share atau forward dan terkadang materi tersebut kembali ke kita karena di-share atau di-forward di komunitas lain yang kita juga ikut di dalamnya.

Bagaimana dengan pernyataan pejabat bahwa Corona tidak akan hadir di negara kita yang tropis, bahwa Corona akan sembuh sendiri, bahwa ketahanan fisik kita lebih tinggi karena konsumsi herbal, dan banyak "bahwa-bahwa" lainnya? Cobalah sambungkan tiga sudut dari sebuah segitiga, mulai dari pemberi pesan awal, lalu penyampai pesan dan terakhir penerima pesan. Setiapnya punya peluang melakukan bias penyampaian atau penerimaan. Kalau siklus tersebut berulang dan berulang maka timbunan infomasi yang hadir dalam ruang rumah atau kamar kita masing-masing akan menyesaki ruang berfikir dan bernalar kita.

Dalam ruang yang dipenuhi gema kita tidak lagi memiliki waktu dan kesempatan untuk membedakan sebuah pesan yang datang cuma sekadar bunyi (tulisan kalau menggunakan media berbagi pesan), kalimat penjelas sebuah konsep atau sebuah metafora yang memerlukan perenungan? Kekaburan mana informasi yang bertanggungjawab dan mana yang hanya gemuruh ditambah kekaburan legitimasi penyedia informasi sungguh wadah terbaik berbiaknya virus penunggang Covid-19 bernama hoax itu.

Apa yang harus kita lakukan?

Apa boleh buat, membaca dan lebih banyak membaca, tidak sekadar melihat sebuah tulisan lalu bagikan, adalah langkah untuk meredam berbiaknya kebohongan tidak disengaja di ruang sosial kita. Mumpung kita diminta beraktifitas di dan dari rumah, membaca lebih dalam bisa jadi alternatif positif. Janganlah sampai rumah kita yang dimaksudkan sebagai tempat perlindungan dari Covid-19 justru dipenuhi dan menjadi tempat berbiaknya virus hoax.

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun