Jalanan sudah mulai sepi, kerumunan di tempat-tempat yang biasanya ramai kini berangsur surut. Kampanye memutus rantai penyebaran Covid-19 dengan memperbesar jarak fisik  dengan sesama rupanya mulai berterima di masyarakat. Dan nampaknya tingkat penerimaan itu berkorelasi dengan informasi peningkatan kasus atau keterpaparan suatu tempat. Semakin banyak berita kasus Covid-19 semakin banyak warga yang akhirnya patuh. Takut juga rupanya, he he.
Ketika kasus Covid-19 muncul tapi masih nun jauh di Wuhan, publik justru menjadikannya sebagai bahan candaan. Sebagian kalangan malah menghubungkannya dengan isu agama. Namun saat Covid-19 menyapa Iran, lalu Saudi isu agama kemudian menyurut berganti dengan isu ekonomi, pariwisata dan sedikit kemanusiaan.
Hari ini 25 Maret, ketika Indonesia menurut situs worldometers.info mencatat 686 kasus dengan 55 meninggal dunia kesadaran bahwa virus ini bukan sesuatu yang pantas dijadikan bahan olok-olok atau candaan sudah semakin kuat. Nyatalah bahwa tingkat kepedulian terhadap suatu isu atau masalah berhubungan langsung dengan kedekatan terhadap sumber masalah. Teringat kembali Hukum Geografi Pertama dari Tobler, "segala sesuatu berhubungan, semakin dekat maka semakin kuat hubungan itu".
Penyambung utama rangkaian kejadian dari Wuhan, respon Saudi, kalangkabutnya Italia, canggihnya Korea Selatan, tangguhnya Singapura dan belepotannya Indonesia menghadapi isu Covid-19 adalah informasi yang mengalir 24 jam dalam seminggu tanpa jeda. Informasi itu berseliweran di setiap sudut akun media sosial kita, sahut-menyahut menggema dalam ruang pertemanan dan grup yang kita ikuti. Untuk sebagian grup sih lebih tepat kalau menyebutkan "kita diikutkan".
Jujur saja seberapa kuat sebenarnya kita tahan menelaah dan menggulung layar di akun Twitter, Facebook, Instagram, Whatsapp dan lainnya untuk melihat apa saja komentar dari warga grup atau pengikut? Apatah pula menilai valid tidaknya informasi yang silih berganti berkelebat di layar gawai kita?
Di luar tembok pekarangan rumah, bayang-bayang ancaman Covid-19 semakin tebal menggelayut di awan ruang publik. Semakin kuat pula himbauan para pejabat dan pemangku kepentingan lainnya agar kita mengurangi aktifitas di luar rumah, bahkan ke kantor dan sekolah pun sangat dibatasi. Ke kantor kurangi, sebisa mungkin bekerjalah dari rumah. Sekolah ditutup, belajar dari rumah saja.
Semakin tebal awan menggelayut semakin kita didorong tidak beraktifitas di luar ruangan. Berpindahlah semua hingar-bingar, hiruk-pikuk, silang seteru dan saling meneguhkan di jagat pergaulan kita hari-hari sebelumnya ke ruang maya. Seketika tiap diri kita kini ditandai dengan akun, alamat email, foto profil dan sejenisnya yang bagaimanapun bukanlah wajah kita sesungguhnya.
Secara fisik, ruang maya yang katanya luas tak terbatas, hanya bisa dibatasi oleh paket data atau kuota (hehehe), pintunya sempit hanya seukuran layar gawai. Bayangkanlah kemudian bagaimana banjir informasi dari segenap penjuru mata angin keluar-masuk berdesakan melewati pintu sempit itu. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa pintu sempit akan memudahkan untuk melakukan pemeriksaan setiap kabar yang datang dan meringankan kita untuk mewartakan informasi yang kita anggap penting lalu kita bagikan atau teruskan.
Pada kondisi normal dan tenang jawabannya memang ya. Pelan dan hati-hati kita bisa menelusuri setiap kata dan kalimat yang datang. Kita bisa menyimak ujaran dari setiap scene video yang datang. Apalagi kalau ditemani secangkir kopi, proses verifikasi yang dianjurkan para pakar dapat kita terapkan. Namun seberapa kuat atau sabar kita menelaahnya satu per satu? Membuka inbox di email saja terkadang rasanya membebani mental melihat daftar yang belum dibuka, apalagi dibaca, boro-boro dibalas. Ditambah lagi sinyal peringatan (alert) yang setia memberi isyarat tanpa perasaan.
Seberapa "tega" kita tidak segera membalas komentar atau colekan pengikut kita? Terkadang jumlah pengikut jadi ukuran eksis tidaknya kita di sebuah platform, sehingga tumbuh kewajiban untuk merawat jumlah tersebut. Hmm.. terdengar seperti calon di ranah politik yang selalu berusaha merawat konstituennya he he.
Pelan-pelan tingkat kesadaran dan ke-awas-an kita menurun karena hujan informasi yang menggedor pintu sempit gawai kita. Pilih dan pilah menjadi sesuatu yang mahal. Belum lagi kalau ada "ledekan" dari admin grup kepada anggota yang tidak pernah "muncul". Dengan bekal kedalaman pemahaman yang sebenarnya masih kurang, secara halus kita dipaksa untuk juga berperan aktif. Pada tahap ini sebenarnya belum ada masalah sepanjang keaktifan tersebut adalah dalam rangka mempertajam pemahaman atau memperluas kesadaran. Istilahnya melakukan verifikasi atau validasi setiap info yang datang.
Tapi ragam latar belakang anggota grup atau komunitas media sosial kita terkadang membuat arah pertukaran informasi menjadi tidak seimbang. Ada yang kemudian menjadi dominan sedangkan yang lain menjadi sub dominan. Dominasi seringkali menjadi legitimasi satu atas yang lain. Belum lagi kalau ada yang tidak sadar menggunakan prinsip dari Joseph Goebbels, menteri Propaganda Nazi dulu, yaitu "sebarkan berita (bohong) sesering dan sebanyak mungkin sehingga, berita bohong tersebut, akan dianggap sebagai kebenaran". Dalam logika kesesatan model ini disebut "argumentum ad nauseam".
Mungkin tidak ada yang berniat jahat seperti itu dalam penyebarluasan berita bohong seputar Covid-19. Latar belakang situasi dan kapasitas lah yang membuat konteks demikian bisa mewujud dalam aliran informasi hari-hari kita sekarang ini. Situasi yang mencemaskanlah yang membuat setiap kita membutuhkan penenang atau penguat agar memiliki panduan bersikap. Kapasitas kita masing-masing yang menentukan seberapa tepat kita memilih dan memilah informasi.
Ancaman dari situasi negatif dan kemuraman wajah negara yang bertumpuk pada literasi warga yang rendah merupakan wadah subur untuk berbiaknya virus baru, tapi sebenarnya sudah lama, bernama hoax. Virus ini ikut menyebar bersama perluasan informasi seputar Covid-19. Sebagaimana virus umumnya yang hanya berkepentingan untuk berbiak dan mereplikasi diri, virus hoax atau berita bohong juga semakin berbiak di atas kemuraman yang diciptakannya sendiri. Selentingan tentang seorang tetangga yang terpapar dengan cepat menyebar kepada komunitas lalu naik ke tingkat regional.
Kecepatan akses informasi, sempitnya ruang untuk melakukan verifikasi dan dorongan "tanggungjawab moral" untuk saling mengingatkan menciptakan efek berantai dan amplifikasi (penguatan). Hampir tidak ada kesulitan menekan tombol share atau forward dan terkadang materi tersebut kembali ke kita karena di-share atau di-forward di komunitas lain yang kita juga ikut di dalamnya.
Bagaimana dengan pernyataan pejabat bahwa Corona tidak akan hadir di negara kita yang tropis, bahwa Corona akan sembuh sendiri, bahwa ketahanan fisik kita lebih tinggi karena konsumsi herbal, dan banyak "bahwa-bahwa" lainnya? Cobalah sambungkan tiga sudut dari sebuah segitiga, mulai dari pemberi pesan awal, lalu penyampai pesan dan terakhir penerima pesan. Setiapnya punya peluang melakukan bias penyampaian atau penerimaan. Kalau siklus tersebut berulang dan berulang maka timbunan infomasi yang hadir dalam ruang rumah atau kamar kita masing-masing akan menyesaki ruang berfikir dan bernalar kita.
Dalam ruang yang dipenuhi gema kita tidak lagi memiliki waktu dan kesempatan untuk membedakan sebuah pesan yang datang cuma sekadar bunyi (tulisan kalau menggunakan media berbagi pesan), kalimat penjelas sebuah konsep atau sebuah metafora yang memerlukan perenungan? Kekaburan mana informasi yang bertanggungjawab dan mana yang hanya gemuruh ditambah kekaburan legitimasi penyedia informasi sungguh wadah terbaik berbiaknya virus penunggang Covid-19 bernama hoax itu.
Apa yang harus kita lakukan?
Apa boleh buat, membaca dan lebih banyak membaca, tidak sekadar melihat sebuah tulisan lalu bagikan, adalah langkah untuk meredam berbiaknya kebohongan tidak disengaja di ruang sosial kita. Mumpung kita diminta beraktifitas di dan dari rumah, membaca lebih dalam bisa jadi alternatif positif. Janganlah sampai rumah kita yang dimaksudkan sebagai tempat perlindungan dari Covid-19 justru dipenuhi dan menjadi tempat berbiaknya virus hoax.
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H