Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pandemi Covid-19, Kenapa Kita Bisa Kekurangan Tenaga Medis?

22 Maret 2020   22:30 Diperbarui: 24 Maret 2020   06:38 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi tenaga medis. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Beberapa rumah sakit mulai kewalahan menangani semakin meningkatnya penderita Covid-19. Kekurangan tempat, terbatasnya fasilitas dan mulai terkurasnya daya tahan tenaga kesehatan yang melayani penderita menjadi berita terkini di beberapa media. 

Di beberapa talkshow, ada yang menganjurkan agar para calon dokter dan perawat muda di bangku kuliah agar dikerahkan membantu penanganan virus ini.

Bahkan sebelum Covid-19 mencuat, keluhan jumlah dokter dan tenaga medis yang masih sangat jauh dari standar ideal WHO sudah sering tersuarakan terutama di daerah. 

Secara nasional jumlahnya mungkin sudah ideal, tapi coba jumlah tersebut dirinci berdasarkan wilayah lalu dilihat sebaran keahliannya. Kalaupun ada daerah yang rasionya sudah bagus, pastilah itu di daerah perkotaan. Belum lagi kalau berbicara tenaga spesialis. Yah, apalagi alasannya kalau bukan insentif yang tidak merata.

Ketika pandemi Covid-19 mulai merebak sampai ke daerah-daerah, apa yang bisa dilakukan selain merujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lebih tinggi yang lebih banyak tenaga dokternya? Terjadilah penumpukan pasien dan peningkatan beban tenaga kesehatan di perkotaan.

Tenaga kesehatan memang salah satu profesi yang dipandang memiliki nilai lebih dibanding profesi lain. Hanya dokterlah yang sarannya tidak akan kita debat, bukan karena kita telah membayar untuk sekadar konsultasi tapi di balik kunjungan ke dokter kita sebenarnya takut atas konsekuensi keselamatan kalau kita tidak patuh. 

Saya yang menamatkan kuliah di teknik sering dimintai saran teknis oleh sejawat dan seringnya gratis (ha ha ha) dan tidak ada jaminan bahwa sejawat tadi tidak akan mendebat saya dulu dan membandingkan dengan saran yang dilihat dari Youtube, misalnya. 

Mungkin karena keahlian saya tidak langsung berkaitan dengan keselamatan jiwa sehingga masih dinilai sebatas pendapat saja dibanding anjuran dokter yang cenderung harus dipatuhi.

Bukankah di obat-obat bebas yang beredar di pasaran juga ada pesan, dalam interval tertentu agar konsultasi ke dokter atau dosis ikuti anjuran dokter? Jangan harap pesan demikian akan muncul di kantong semen, agar penggunaannya mengikuti saran dari insinyur bangunan!

Ya profesi dokter yang memiliki reputasi tinggi memang dari sononya. Universitas tertua di dunia menurut sejarah adalah Universitas Salerno di Italia (Schola Medica Salernitana) yang didirikan oleh kelompok masyarakat Yahudi pemeluk Kristen dan awalnya (tahun 1060 M) hanya mengajarkan kedokteran (Levy Seeley, History of Education, 2015). 

Kalau kita memandang lembaga persekolahan sebagai suatu struktur sosial, maka dari sejarah itu kita bisa faham kenapa profesi ini memiliki strata tersendiri sampai hari ini. Suka tidak suka, kita menyapa seorang dokter dengan panggilan "Dokter" atau "Dok". Apakah sapaan seperti itu kita gunakan untuk pengacara, insinyur, bankir?

Dengan posisi demikian maka tidak heran minat menjadi dokter selalu tinggi di kalangan calon mahasiswa. Pilihan jurusan kedokteran selalu menjadi rebutan saat penerimaan mahasiswa baru dibuka. 

Tentu saja perguruan tinggi negeri jadi tujuan serbuan utama selain karena reputasi dan sejarahnya yang panjang juga karena anggapan biaya yang lebih murah karena disubsidi negara.

Faktanya? Tanyakan kepada orang tua yang menyekolahkan anaknya di jurusan kedokteran. Berapa ratus juta rupiah yang dikeluarkan untuk bermacam nama atau jenis pembayaran yang harus dikeluarkan agar anaknya dapat diterima di jurusan kedokteran. 

Ratusan juta rupiah itu bahkan tidak membedakan negeri atau swasta. Itu baru untuk masuk, belum lagi biaya sepanjang proses perkuliahan nantinya.

Mahalnya pendidikan dokter menjadikan peluang belajar kedokteran hanya dimiliki calon mahasiswa yang orangtuanya cukup kaya. Hanya orang kaya yang mampu menjadikan anaknya dokter, kalaupun ada dari kalangan berpenghasilan rendah, yakinlah itu hanya pencilan (outlier) dalam statistik. 

Keterbatasan daya tampung di perguruan tinggi negeri tidak membatasi peluang orang kaya karena di perguruan tinggi swasta peluangnya juga terbuka, tentu dengan harga yang lebih tinggi lagi.

Di sini kita bisa menagih kepada pemerintah, kenapa biaya untuk menempuh pendidikan di jurusan kedokteran begitu tinggi? Bukankah menurut konstitusi tugas pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? 

Tujuan lain negara menurut konstitusi adalah memajukan kesejahteraan yang di dalamnya tentu termasuk pemajuan derajat kesehatan rakyat. 

Kedua tujuan di atas sangat erat korelasinya dengan pendidikan kedokteran, dengan kata lain menyelenggarakan pendidikan kedokteran bagi masyarakat adalah tugas konstitusi yang karenanya harus ditanggung biayanya oleh negara. 

Apalagi untuk jurusan yang begitu penting seperti kedokteran, kenapa justru diserahkan ke mekanisme pasar?

Eksklusifnya pendidikan kedokteran dan kesehatan pada umumnya bisa jadi berperan dalam rendahnya literasi kesehatan masyarakat kita sekarang. 

Ketika sekarang kita berperang melawan virus, tenaga siapa yang menjadi andalan di garis depan kalau bukan tenaga kesehatan seperti dokter? Ketika wabah ini belum meledak, siapa yang mengawal kampanye hidup bersih dan sehat di pelosok-pelosok negeri nun jauh di pedalaman? 

Jangan salah, populasi yang menumpuk di perkotaan sebagian besarnya memiliki akar dari desa-desa yang migrasinya ke perkotaan juga membawa literasi kesehatannya yang sebagiannya rendah.

Seandainya negara mampu menyelenggarakan pendidikan kesehatan yang murah dan terjangkau di seluruh penjuru negeri, pastilah hari-hari ini seluruh fasilitas kesehatan yang ada mampu berperan maksimal menangkal penyebaran wabah Covid-19 ini.

Terbatasnya jumlah tenaga dokter hari-hari ini, apalagi spesialis, merupakan buah dari abainya negara untuk melakukan tugas konstitusi dengan sungguh-sungguh. 

Dan buah pahit itu mulai dirasakan sekarang, tidak hanya pahit bagi pasien saja tapi juga dokter-dokter yang mulai kepayahan. 

Ketika nanti kita berhasil melewati pandemi ini, pelajaran dari kelangkaan dokter hari ini haruslah bisa dipetik dan mewujud dalam bentuk kebijakan publik yang membuka dan memfasiltasi peluang sebesar-besarnya bagi generasi muda untuk belajar kesehatan secara murah dan tetap berkualitas. 

Kegagalan mengambil hikmah dari kondisi keterbatasan daya dukung fasilitas kesehatan dewasa ini akan membawa dampak berulang di masa depan, karena virus memiliki mekanisme alamiahnya sendiri untuk berkembang dan beradaptasi agar tetap mampu berbiak. 

Entah berapa tahun ke depan dari sekarang, kita juga akan kembali terpapar dengan varian baru dari virus. Kesiapanlah yang akan membedakan generasi hari ini dengan generasi masa depan dengan catatan bahwa apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan kualitas mereka di masa depan.

Mudah-mudahan para dokter dan tenaga medis yang sedang bertugas di garda terdepan menghadapi ancaman Covid-19 ini tetap diberi kekuatan oleh Yang Maha Kuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun