Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Skor Sementara, Smart City 3-4 Corona

20 Maret 2020   23:25 Diperbarui: 20 Maret 2020   23:31 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah ingar-bingar paparan informasi Corona (Covid-19), tetiba saya teringat dengan konsep Pemerintah yang pernah mengembangkan 100 Smart City di Indonesia. Apa kabar 74 Kota/Kabupaten yang katanya sudah didampingi oleh Pemerintah dalam menerapkan Konsep Smart City ketika menghadapi ancaman virus itu?

Menurut Kominfo, Smart City adalah konsep pengembangan kabupaten/kota yang menggunakan prinsip teknologi informatika untuk kepentingan bersama. Salah satu unsur yang dikembangkan dalam konsep ini adalah Smart Government alias penyelenggaraan pemerintahan yang cerdas karena memanfaatkan teknologi informasi sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan layanan publik dapat dilakuan secara efektif dan efisien.

Mestinya kalau sudah cerdas, tidak akan ada kepanikan publik apalagi kegagapan pemerintah. Bukankah wilayah-wilayah tersebut sudah dapat mengakses atau mendapat asupan informasi yang berkualitas dari pemerintahnya?

Dalam 74 kabupaten/kota yang sudah didampingi tersebut, sebagiannya menjadi wilayah yang terpetakan dalam tracking penderita dan suspect Corona.

Tidakkah kata Smart yang disandang telah menjadi beban yang terlalu berat disematkan kepada mereka? Atau mungkin masih dalam tahap bermimpi karena pendampingannya sudah berhenti?

Coba kita melakukan hitungan head to head antara Konsep Smart City dengan isu atau masalah paparan Corona. Pembandingan kita lakukan dengan mengacu kepada 7 (tujuh) prinsip dasar dari konsep Smart City sebagaimana ditayangkan di laman Kominfo  lalu kita amati praktek yang terjadi di tengah isu Corona di negara kita.

Jangan bayangkan pengujian ini sebagaimana riset akademis yang njelimet itu.

  • Kolaborasi dan keikutsertaan masyarakat

Dalam konsep ini, Smart City menang karena kolaborasi dan keikutsertaan masyarakat membendung Corona sudah terlihat dan menguat didukung oleh masifnya pemberitaan perihal ancaman, bahaya dan dampak penyebarluasan Corona. Meski mungkin saja bukan peran langsung Smart City, tapi paling tidak ekosistem ke arah smart sudah terbangun dipublik. Skor 1:0.

  • Operasional lebih efisien

Dalam konsep ini, Smart City kedodoran karena tidak terlihat penerapan konsep Smart dalam penanganan isu dan tindakan preventif-kuratif. Justru yang muncul di publik adalah kepanikan atau kegagapan Pemerintah padahal kejadian di banyak negara sudah banyak terinfokan terlebih dahulu.

Kita tidak melakukan persiapan yang optimal sehingga ketika si virus benar-benar datang berlakulah "tiba masa tiba akal". Menteri Keuangan pun sampai bersurat ke Pemda, yang tentu saja semua 74 daerah dampingan Kominfo juga termasuk, agar melakukan penyesuaian anggaran daerah masing-masing untuk menangani kebutuhan mendesak Corona ini. Skor 1:1.

  • Manajemen organisasi, sumber daya manusia dan infrastruktur

Tidak terlihat penerapan prinsip efektif-efisien berbasis teknologi informasi dalam penanganan Corona. Hanya segelintir daerah yang punya Crisis Center berbasis IT. Paling-paling daerah baru melakukan "rapat koordinasi" dan membentuk tim yang nanti akan bertemu untuk membahas kembali apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Anjuran Working from Home yang sebenarnya merupakan salah satu penerapan ideal dari Smart Government nyatanya banyak yang bertanya-tanya bagaimana persisnya dilaksanakan sembari menunggu instruksi lebih lanjut dari Mendagri. Anjuran itu datangnya dari arana Presiden sendiri. Anjuran dari Presiden apa bedanya dengan perintah bagi aparatnya?

Rapat dalam jaringan terlihat janggal dan mungkin terasa kurang sreg atau tidak sopan kalau tidak bertatap muka langsung dengan Kepala Daerah. Jadi, Smart City gagal menunjukkan "kecerdasan"-nya dalam mengelola isu dan menjaga keberlangsungan aktifitas keseharian pemerintahan. Skor 1:2.

  • Sistem database yang dapat diakses umum

Dalam konsep ini, Smart City belum mampu membantu meretas penyakit lama kita yaitu carut-marut data. Data tentang Corona dari A sampai Z untuk wilayah masing-masing pun hanya segelintir daerah yang membangun dan kemudian dapat memanfaatkan database terpadu untuk memantau pergerakan Corona dan pergerakan warga yang diduga atau sudah terpapar. Skor 1:3.

  • Mengolah informasi data yang termutakhirkan

Dengan catatan termutakhirkan bukan dalam batasan waktu-nyata (real time), meski dalam konsepnya yang dimaksudkan adalah mutakhir berwaktu-nyata, namun karena data perkembangan ini bersifat diskrit maka kita bisa mengambil batasan berkala dalam pemutakhirannya. Pemerintah secara berkala mampu memberikan perkembangan jumlah penderita dan mereka yang dalam pengawasan sehingga masyarakat bisa menakar kondisi keterpaparan wilayah masing-masing. Skor 2:3.

  • Penggunaan teknologi mutakhir

Dikarenakan minimnya daerah yang membangun Crisis Center dengan databasis lengkap berbasis teknologi informasi, janganlah berharap banyak bahwa analisis pengambilan keputusan hari demi hari dilakukan dengan Smart. Konsep Smart dalam pengambilan keputusan haruslah didukung oleh ketersediaan Decision Support System (DSS).

Teknologi mutakhir sering dipandang terlalu mahal apalagi kalau aplikasinya tidak gratisan. Kok kayak mahasiswa yang hobi nyari aplikasi gratisan atau bajakan (kalau ndak demu yang gratisan). Yang Ini pengalaman jadi mahasiswa dulu, he he.

Pejabat daerah masih banyak yang mengandalkan pertimbangan berbasis persepsi sesaat dan seketika. Ya karena databasis belum terbangun, maka analisa akurat apa yang bisa dilakukan selain berdasarkan pada laporan lisan dan pandangan permukaan terhadap simptom. Bahkan pengumuman kepada publik masih ada yang mengandalkan kendaraan dinas berkeliling membawa pengeras suara di jaman bertaburan aplikasi di gawai setiap warga.

Dampak dari kegagalan ini adalah cenderung makin meningkatnya jumlah penderita justru ketika negara lain yang lebih dahulu terpapar Corona sudah menunjukkan trend stabil bahkan mulai menurun. Skor 2:4.

  • Koordinasi antar pemangku kepentingan

Kalau indikator ini bisa dijawab ya atau tidak, karena kata koordinasi sudah menjadi bahasan tersendiri dalam pemerintahan. Mudah disebut tapi susah diimplementasikan itu kesimpulan yang sering muncul. Secara faktual kegiatan koordinasi sangat mungkin sudah dilakukan apalagi kalau berbasis regulasi, yang sering menjadi indikator utama di birokrasi, dalam bentuk pengaturan lokal siapa yang berbuat apa dalam situasi tertentu. Kemunculan pejabat terkait lengkap setiap kepala daerah memberikan keterangan pers dapat dijadikan ukuran. Skor 3:4.

Apa simpulannya? Smart City belum memampukan pemerintahan lokal untuk mencerdaskan diri dalam rangka mencerdaskan masyarakat menghadapi ancaman Corona. Corona mening!

Tapi mungkin bisa dimaklumi karena 74 kabupaten/kota tersebut statusnya masih dalam pendampingan dari pemerintah dan belum sepenuhnya disapih sehingga mandiri berkembang. Namun data jumlah tersebut adalah status pada tahun 2018. Sekarang tahun 2020, mungkinkah sebagian besar dari jumlah 74 itu sudah mati pucuk alias layu sebelum berkembang?

Skor di atas adalah skor sementara, meski saya tidak tahu apakah saat ini kita berada di fase injury time atau pertarungan masih di babak kedua yang memungkinkan datangnya second wind?

Mari kita tunggu pemenang akhirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun