Virus Corona telah mengguncangkan tatanan sosial manusia. Selain sejumlah orang yang terduga, yang positif terpapar bahkan sebagian yang meninggal dunia, virus ini juga memaksa manusia seantero dunia untuk mengatur ulang pola dan aktifitas interaksi dengan sesama.
Seleksi siapa saja orang yang boleh datang ke wilayah kita dan periksa dari mana saja sebelumnya dia telah berjalan sekarang menjadi protokol standar kita menerima tamu atau pendatang.
Pendatang tidak terbatas orang lain yang tidak kita kenal sebelumnya, bahkan keluarga yang datang pun termasuk dalam kategori pendatang yang perlu terlebih dahulu ditelusuri sudah sejauh mana dia melakukan perjalanan dan daerah atau wilayah mana saja yang dilintasinya.
Tracking kini menjadi pengganti salam penyambutan. Pemeriksaaan kehangatan menjadi cara kita memutuskan apakah akan menerima seseorang. Semakin hangat semakin berbahaya. Bukankah hangat tidak mesti suhu badan, karena hangat bisa ditunjukkan dari raut sumringah, atau senyum terkembang?
Betul, tapi senyum apa yang bisa kita harapkan dari wajah tertutup separuh oleh masker. Bahkan di gerbang masuk bandar-bandar pun masih ditambah selubung penutup sekujur badan. Dari mana kita kenal siapa yang menyambut kita, apalagi mengetahui dia tersenyum atau cemberut?
Social distance menjadi ukuran penentu seberapa dekat kita boleh berinteraksi. Ada jarak minimal yang harus dijaga, alih-alih bertanya kenapa seseorang menjauh dari seseorang lain. Hari-hari ini berjauhan lebih utama dari berdekatan.
Apa yang sedang terjadi?
Di luar masalah kemanusiaan yang bertalian dengan peluang kesintasan atau kemungkinan matinya seseorang, fenomena yang diawali dengan penerapan protokol tracking adalah penanda atau pemicu kita yang sedang membentangkan tirai atau hijab antar individu di ruang nyata. Tracking berarti membentangkan garis imajiner yang bisa jadi membentuk jejaring titik-titik aktifitas seseorang.
Dalam kontek respon CORONA, garis kini menjadi penanda riwayat seseorang sebagaimana garis keturunan menggambarkan asal-usul genetik dan biologis seseorang. Garis tracking adalah asal-usul yang mengabarkan potensi ancaman yang melekat pada seseorang.
Jejaring garis tracking dari sekian banyak individu dalam kesatuan populasi yang ditimpakan pada satu bentang ruang bersama akan membentuk simpul-simpul yang mengedipkan lampu kuning atau merah.
Lampu berkedip berarti ada ancaman pada simpul tertentu yang kalau dalam jejaring jalur transportasi sering menginformasikan kemacetan pada simpul jaringan jalan. Jangan mendekati simpul merah, sebisa mungkin carilah rute yang tidak berisi kedipan lampu kuning agar perjalanan lancar.
Sebagaimana juga garis keturunan yang sering menjadi variabel dalam memilih pasangan hidup, garis tracking CORONA bisa jadi menentukan pasangan berbincang kita di ruang publik. Jejaring tracking yang berisi kedipan lampu merah atau kuning kalau ditambah dimensinya maka menjurus kepada apa yang disebut sebagai social distancing.
Social distancing (penjarakan sosial) dalam Merriam-Webster didefinisikan sebagai “the practice of maintaining a greater than usual physical distance from other people or of avoiding direct contact with people or objects in public places during the outbreak of a contagious disease in order to minimize exposure and reduce the transmission of infection”.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa yang menjadi kata pokoknya adalah jarak fisik yang diperoleh melalui tindakan tertentu (menjaga) yang dilakukan sebagai respon terhadap keberadaan orang lain di tempat umum atau ruang publik. Kontek situasinya memang keberjangkitan suatu penyakit menular.
Jarak adalah selisih tempat atau perbedaan koordinat (posisi) dua atau lebih titik, maka jarak sosial berarti selisih posisi seseorang dari orang lain yang dalam kontek pencegahan penyebaran harus dijaga minimalnya.
Dari perspektif tersebut maka yang penting dan utama saat ini adalah menjaga seberapa dekat kita boleh berada bersamaan dalam ruang dan waktu yang sama, bukan mempertanyakan kenapa kita saling berjauhan.
Orientasi interaksi sesama mengalami pergeseran dari semula mencari kesamaan atau kesetaraan menuju pertautan menjadi upaya menjaga perimeter zona aman dan sekaligus sebisa mungkin memutus pertautan. Putuskan rantai penyebaran virus itu dalil utamanya, dalil darimana semua tindakan bersosial mendapatkan justifikasinya.
Aliran sebagai konsekuensi dari pertautan diupayakan dibatasi. Tracking adalah upaya artikulasi dari imaji tentang aliran yang tersusupi muatan bernama virus. Semakin panjang track maka secara implisit akan semakin banyak simpul-simpul bertaut dan sekaligus juga menggambarkan banyaknya potensi percabangan dan arah antara yang menjadi sumber dengan yang menjadi tujuan pengaliran muatan negatif.
Tracking berbentuk garis dan jejaringnya adalah citra dwimatra dari imaji. Ketika matra tersebut ditambah menjadi trimatra dengan memasukkan matra intensitas maka terbentuklah apa yang dapat kita namakan sebagai ruang sosial-isasi virus.
Ya, ruang sosial yang memuat penumpang gelap bernama virus. Jarak sosial menemukan konteksnya ketika pertimbangan tridimensi dimasukkan dalam wacana publik. Transformasi dwidimensi menjadi tridimensi akan beririsan dengan ruang publik dan sosial yang sebelumnya terbentuk.
Apa yang dapat kita maknai dari tindakan Paus Fransiskus yang melakukan pemberkatan di lapangan Basilika Santo Petrus yang kosong melompong pada tanggal 15 Maret lalu?
Atau kenikmatan apa yang disajikan dari pertandingan sepakbola antara Alianza Lima dan Racing Club di stadion kosong di Buenos Aires tanggal 12 Maret? Berita ini termuat di CNN.
Penulis bukan penganut Katolik tapi mencoba membayangkan bagaimana sebelumnya wajah berseri umat yang hadir di lapangan Santo Petrus menerima pemberkatan dari Paus, atau sensasi hadir di stadion menyaksikan pertandingan klub kesayangan bermain.
Secara pribadi bisa jadi Paus tidak mengenali satu persatu umat yang hadir, demikian juga pemain bola di lapangan belum tentu mengenali setiap penonton di stadion.
Namun hal itu tidak mengingkari perasaan kedekatan umat terhadap Paus atau fans terhadap pemain dari klub bola favoritnya. Memang kenikmatan atau sensasi itu memiliki rasa berbeda ketika hadir dalam ruang fisik yang sama dan pada waktu yang sama.
Dimensi intensitas yang membentuk ruang selama ini kualitasnya diperkuat oleh jarak. Segala sesuatu memiliki keterkaitan, semakin dekat jarak maka semakin kuat keterkaitan tersebut, demikian Hukum Geografi dari Tobler.
Social distancing kini menguji seberapa dalam intensitas kedirian kita selama ini dalam ruang publik atau sosial. Ketika dimensi horizontal dari ruang yang dinamakan jarak kini terkendali oleh protokol, masihkah kita bisa menjaga kedalaman nilai keberadaan kita sebagaimana ketika social distancing belum disarankan?
Paus Fransiskus membuktikan kedalaman penilaian beliau terhadap eksistensi umatnya. Tanpa kehadiran fisik umat, beliau tetap melakukan pemberkatan. Kita bisa memandang bahwa beliau menilai umatnya bukan sebatas jumlah dan kehadiran fisik di lapangan Santo Petrus.
Pemain bola di Buenos Aires tadi tetap memainkan sepakbolanya karena tahu dan yakin tetap ada fans setia entah dari sudut mana di muka bumi yang sedang menyaksikan atau mengikuti beritanya.
Kedua contoh tadi menunjukkan bahwa ketika dimensi horizontal menyempit, maka dimensi vertikal tetap terjaga atau dengan kata lain volume, yang berkorelasi dengan bobot tetap terpelihara. Hubungan antara Paus dan umat, hubungan antara pemain bola dan fans tetap terjaga kualitasnya karena ketika dimensi lainnya terganggu, ada dimensi lain yang menjaganya.
Bagi peziarah ke Ka’bah, kuncitara (lockdown) umrah sesungguhnya tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas hubungan manusia dengan Allah karena Allah tidak bersemayam di Ka’bah. Mungkin yang merasa rugi cuma pebisnis umrah ke Mekkah, penyelenggara ziarah ke Vatikan atau penjual tiket sepakbola.
Persamaan dari ketiga contoh di atas adalah bahwa ruang yang terbentuk di antara sesama manusia tidak sebatas dimensi fisik belaka. Kehadiran Allah dalam hati itulah yang menentukan kualitas hubungan insan dengan Pencipta, karena Ka’bah hanya simbol orientasi fisik. Tujuan manusia menuju Ka'bah dan berkumpul lebih dari sekedar berkumpulnya jutaan manusia.
Lapangan Santo Petrus adalah perekat identitas umat dan atas identitas itulah, saya memandang, Paus menilai hubungan dan kedekatan beliau dengan umat meski secara fisik umatnya tidak hadir di sana. Kedekatan yang memiliki dan diperkuat oleh dimensi samawi (Mohon maaf jika saya salah dalam hal ini).
Penjarakan sosial seharusnya tidaklah menjadikan kita sebagai anonim antar sesama. Apa yang dianggap kosong karena perbedaan koordinat sejatinya berisi nilai, bermuatan karakter manusiawi. Menjustifikasi kekosongan mutlak berarti kita tunduk pada virus CORONA, makhluk kosong yang tujuan hidupnya hanya untuk berkembang.
Seperti gema, Nazarius mengulangi kata-kata Petrus.
“Quo vadis, Domine?”
Dan Petrus menjawab dengan lemah lembut.
“Ad Roman”
Maka mereka pun kembali ke Roma.
(kutipan dari Henryk Sienkiewicz, Quo vadis?, 2009)
Seperti apa sejarah berjalan seandainya dulu Petrus tidak mampu menjawab pertanyaan langit Quo Vadis, atau memilih menyelamatkan diri sebagaimana saran penduduk Roma? Kita tidak akan mengenal Paus Fransiscus di lapangan Basilika Santo Petrus hari-hari ini.
Sebagaimana Petrus menjawab "menuju Roma" seyogianya kita hari ini menjawab "menuju kemanusiaan sejati" seandainya pertanyaan Quo Vadis ditujukan kepada kita.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H