Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Museum, Apa Pentingnya bagi Kita?

14 Maret 2020   18:35 Diperbarui: 14 Maret 2020   18:50 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak sekolah berkunjung ke Museum Lambung Mangkurat (dokpri)

Kita sering mengagungkan atau bangga dengan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang katanya menguasai Asia Tenggara. Yang pertama dikenal sebagai kerajaan maritim sedangkan yang kedua lebih dikenal sebagai kerajaan yang berorientasi agraris. 

Pada saat memandang masa depan, pelajaran atau inspirasi apa yang kita tarik dari catatan sejarah tersebut? Nyatanya negara kita tidak cukup berjaya di Asia Tenggara, apalagi dibandingkan dengan Singapura.

 Sejarah mencatat bahwa Singapura tumbuh dan mulai berkembang hanya karena kekecewaan Raffles yang tidak didukung penuh untuk memperkuat keberadaan Inggris di Nusantara sehingga meminta izin kepada Gubernur Jenderal Inggris di Goa untuk mendirikan pos di Selat Malaka. Pos itu kemudian berkembang pesat karena kesalahan politik perdagangan maritim Belanda.

Apa kabar dengan Poros Maritim yang diam-diam merujuk ke memori masa lalu tersebut? Bisa jadi karena kita tidak memiliki cukup museum yang mampu menjelaskan dan menerjemahkan "kegagalan sejarah" tersebut sehingga Poros Maritim tidak cukup terasa bertransformasi menjadi semangat komunitas.

Kita, sebagai komunitas, yang memang tidak membutuhkan catatan dan penjelasan sejarah tersebut dan karenanya museum tidak cukup dipandang menjadi kebutuhan. 

Museum yang ada gagal memainkan peran tersebut sehingga kita, sebagai komunitas, tidak menyadari adanya pelajaran dan inspirasi dari peristiwa dan catatan masa lalu. Salah satu atau keduanya bisa terjadi tanpa kita sadari, bahkan keberadaan dan fungsi museum di sekitar kita pun tidak kita sadari! 

Museum adalah seonggok benda yang berguna. Diksi di-museum-kan sering digunakan sebagai satir kepada sesuatu, bahkan orang, yang harus disingkirkan dari hadapan, meski tidak perlu dibuang. 

Letakkan saja di sebarang tempat yang tidak lagi akan mengganggu pandangan dan langkah, itu makna tersirat dari ungkapan dimuseumkan. Tanpa sadar kita sering melakukan peyorasi terhadap "museum", dengan menyamakannya sebagai sampah (bagaimana sesuatu disebut sampah pernah saya tulis di sini Asal-usul Sampah)

Mengambil contoh kembali dari AS, kalau ada kesempatan (dan rezeki) cobalah berkunjung ke Pusat Ruang Angkasa AS di Cape Canaveral, Miami Florida. Museum dan pusat riset menyatu dalam satu kawasan yang merupakan salah satu destinasi wisata unggulan negara bagian tersebut. Sejarah dan impian menyatu dalam satu kawasan yang dengannya warga dapat bangga bercerita tentang "American Dreams".

Puluhan ribu museum dapat kita bayangkan betapa banyak materi yang dapat diceritakan kepada generasi muda Amerika, berapa banyak mimpi baru bisa dibangkitkan, dan betapa langkah memadukan warisan dan harapan telah dilakukan oleh para pendahulu mereka.

Di negara kita? Saya tidak sedang memuja-muja negaranya Donald Trump, tapi sedang mencoba mencari jawaban kenapa kejayaan Sriwijaya-Majapahit, Samudera Pasai, Makassar dan lainnya sulit dibangkitkan kembali dalam wajah modern?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun