Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Orangtua, Mulai Sekarang Ajarkanlah Anak Kita Cara Bertengkar

7 Maret 2020   15:29 Diperbarui: 8 Maret 2020   03:45 4067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kekuatan argumen akan ditentukan oleh kemampuan menyusun alur penalaran yang utuh dan lurus pada anak|Sumber: https://mommiesdaily.com/

Kita bertanggung jawab atas banyak kegagalan dan kesalahan, tapi kejahatan terbesar kita adalah meninggalkan anak, mengabaikan mata air kehidupan. Banyak hal yang kita butuhkan dapat kita tunda, tapi anak tidak bisa ditunda. Sekaranglah saatnya.

Tulangnya sedang dibentuk, darahnya sedang dibuat, perasaannya sedang dikembangkan. Bagi anak, kita tidak bisa menjawab "besok", karena nama anak adalah "hari ini". (Gabriela Mistral, penyair wanita Chili pemenang Hadiah Nobel Sastra)

Mengutip hasil dari Programme for International Students Assessment, OECD melalui dokumen Social Protection System Review of Indonesia, OECD Development Pathways (2019) menyebutkan bahwa peningkatan kepesertaan anak Indonesia dalam persekolahan belum sebanding dengan peningkatan kualitas hasil proses belajarnya.

Sekitar tiga perempat anak usia 15 tahun tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam matematika dan kurang dari sepertiga yang menguasai kemampuan membaca yang memadai. 

Pengukuran yang dilakukan adalah kemampuan literasi dan numerasi yang kalau disederhanakan adalah kemampuan melakukan penalaran dan berkomunikasi. 

Kemampuan menalar merupakan kemampuan menyusun atau menilai rangkaian argumen dan mengujinya dengan kesimpulan yang diturunkan atau sering disebut dengan istilah logika.

Kemampuan komunikasi yang ditunjukkan dengan kompetensi literasi merupakan kemampuan atau keterampilan mencerma informasi yang datang dan kemampuan juga untuk menyampaikan informasi kepada mitra dengan efektif.

Hubungan antara matematika dan bahasa adalah pada kemampuan menyampaikan penalaran dan atau mencerna penalaran pihak lain. Penalaran yang tidak terkomunikasikan hanya akan menghasilkan kesumpekan psikis sebaliknya komunikasi tanpa dilandasi penalaran yang kuat hanya menghasilkan pertukaran bunyi atau simbol berbahasa.

Bahasa menunjukkan bangsa, artinya dengan mengamati cara berbahasa maka kita bisa melihat atau menilai latar belakang seseorang. Latar belakang dalam segala hal, baik etnis, budaya, tingkat pendidikan, kedewasaan sampai kemampuan memecahkan masalah.

Apa makna dari hasil PISA di atas? 

Paling tidak dapat dikatakan bahwa kemampuan berlogika dan berbahasa anak-anak kita ternyata sangat rendah. Jangan-jangan kemampuan rendah itu juga berlaku pada kita hari-hari ini, bukankah sebagian dari kita juga produk dari sistem pendidikan yang sama?

Dengan kemampuan yang rendah itu, bisakah generasi muda kita berdialog dan berinteraksi dengan sebayanya dari negara-negara lain dengan kepala tegak, tidak rendah diri? Tidakkah kita sering melihat bahwa terkadang kita pun sering memandang takjub semua yang datang dari luar?

Turis backpacker-pun sering kita sambut bagaikan duta besar suatu negara. Memasuki era ketika bonus demografi menghampiri kita nanti, bisakah kita mengambil manfaat maksimal dari peluang yang langka itu?

Pakar-pakar pendidikan dan politisi pasti sepakat bahwa peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan segera karena bonus demografi itu tidak akan berulang lagi. Secara teori mungkin sudah banyak dibahas, dikaji, ditawarkan atau mungkin sudah diterapkan pada skala terbatas.

Fenomena lebih disukainya sekolah swasta dibanding sekolah negeri, bahkan dari jenjang PAUD, dapat disebut sebagai respon antisipatif dari orang tua untuk mempersiapkan anak-anaknya dengan maksimal.

Berangkat ke sekolah| Dokumentasi pribadi
Berangkat ke sekolah| Dokumentasi pribadi
Sekolah yang menjanjikan kemampuan berbahasa asing peserta didiknya kini lebih dipilih sekalipun dengan konsekuensi biaya yang meroket. SD, SMP dan SMA swasta yang mengasah kemampuan matematika dan bahasa asing dengan intensif lebih dari sekolah negeri kini lebih favorit.

Tidakkah para guru-guru dan pendidik di sekolah-sekolah negeri merasa dilecehkan dengan fenomena ini? Adakah perumus kebijakan pendidikan menangkap degradasi persepsi dan kepercayaan publik ini?

Tapi apakah proses pendidikan yang mahal itu sudah menyentuh akar dari masalahnya? Jangan-jangan solusi yang sebenarnya ditawarkan lebih mengikuti model kursus dan bimbingan belajar yang berorientasi kemampuan menjawab soal-soal ujian.

Kalau praktik yang terjadi seperti itu, maka pendidikan telah berubah dan direduksi sekadar menjadi pelatihan. Asesmen model PISA yang berbasis problem-solving rasanya tidak akan maksimal kalau siswa kita dijejali dengan rumus, bank soal dan trik menjawab cepat.

Penguatan kemampuan bernalar dalam hemat saya tetap menjadi pondasi utama yang harus dibenahi. Pendidik dan orang tua harus merubah sterotipe bahwa matematika adalah tentang menghitung dan membaca adalah tentang menamatkan bab atau buku tertentu.

Pandangan bahwa pelajaran matematika dan pelajaran bahasa adalah materi yang sama sekali berbeda juga harus ditinjau kembali. Matematika menggunakan kosakata dalam bentuk simbol, alur matematika adalah aliran pikiran yang berangkat dari konsep yang diuji terhadap fakta sampai simpulan diperoleh. 

Tautan antara premis sampai konklusi dalam matematika tidak ubahnya paragraf yang terdiri dari pikiran utama dan pikiran penjelas dalam bahasa.

Sepanjang pengetahuan penulis, bolak-balik kurikulum diubah selama ini relatif tidak menyentuh keberadaan pelajaran matematika dan bahasa. Apapun jenjang pendidikan, apapun jurusannya semua peserta didik akan "dibekali" dengan kedua pelajaran itu. 

Begitu pentingnya kedua pelajaran itu selama ini, tapi kenapa skor PISA anak-anak kita belum terlalu menggembirakan?

Penulis menyarankan agar para pendidik, orang tua dan lingkungan mulailah membiasakan pertengkaran. Jangan salah faham, pertengkaran yang dimaksud berbeda dengan perkelahian. Arti tengkar menurut KBBI adalah bantah, sanggah.

Meski KBBI memberi definisi kelahi sebagai pertengkaran adu kata-kata namun pada lemma yang sama ditambahkan juga arti kelahi sebagai pertengkaran dengan adu tenaga.

Mari kita gunakan arti kata tengkar sebagai adu kata-kata, sanggah dan bantah. Dengan definisi ini maka kita dapat menempatlan aktivitas bertengkar sebagai aktifitas saling membandingkan argumen.

Kedua belah pihak saling menguji dan mempertahankan pendapat yang secara formal disebut sebagai proposisi. Saling membandingkan argumen hanya akan terjadi kalau kedua belah pihak berada pada sisi atau perspektif yang berbeda. 

Kekuatan argumen akan ditentukan oleh kemampuan menyusun alur penalaran yang utuh dan lurus dan sekaligus menunjukkan kelemahan atau kurang utuhnya penalaran lawan tengkar.

Kenapa keterampilan ini perlu dilatih sejak dini?

Bertengkar dalam arti berlogika selalu didasarkan pada konsep tertentu yang dijadikan landasan awal memulai berargumentasi. Dalam logika formal, ini disebut premis mayor. Kesesuaian kategori premis mayor dengan premis minor yang digunakan menentukan kesahihan simpulan (konklusi).

Matematika banyak berangkat dari penalaran seperti ini. Didukung oleh pemahaman bahasa maka tidak akan terjadi kesesatan menyamakan arti kata apel sebagai berbaris dengan apel sebagai nama buah. 

Pertengkaran antara anak didik karena kata apel dapat dijadikan pembelajaran kontekstual tentang kurang lurusnya proses bernalar yang dipengaruhi oleh aksen.

Pemahaman perbedaan akibat latar belakang bahasa ibu juga akan menghindarkan kesalahan menarik kesimpulan. 

Kata "cokot" dalam Bahasa Jawa memiliki arti berbeda dengan "cokot" dalam Bahasa Sunda sehingga penggunaannya pada situasi tertentu tanpa mengembalikan ke definisi awal bisa menimbulkan perbedaan makna yang keduanya bisa jadi logis menurut kerangka masing-masing penutur. 

Pemahaman ini hanya akan membekas kalau pernah dilatih dalam simulasi dengan situasi tertentu.

Tugas orangtua, pendidik dan lingkungan adalah menjaga agar adu kata-kata, berbantahan itu tidak menjurus menjadi adu tenaga. 

Masalahnya kalau kita orang tua, pendidik dan orang tua lebih dahulu mengedepankan emosi sehingga pertengkaran sebagai adu argumentasi cenderung ingin segera kita akhiri karena alasan mengganggu ketentraman, bising dan tidak sopan.

Argumen dalam arti luas adalah penyajian alasan atau bukti untuk mendukung suatu pendapat. Berargumentasi merupakan aktivitas bersosial melalui rangkaian kalimat atau pembicaraan antara dua atau lebih orang.

Dalam berargumen anak-anak dilatih memiliki keberanian menyampaikan dan mempertahankan pendapatnya. Keterampilan ini perlu dilatih melalui pertengkaran berpendapat.

Kekayaan konsep sebagai dasar menyusun premis dalam beradu argumentasi dapat menjadi bukti apakah materi pelajaran lainnya sudah dipahami konsepnya dan diketahui fakta-fakta pendukungnya.

Memang bertengkar tidak persis sama dengan berargumentasi yang terstruktur karena bertengkar adalah berargumentasi yang lemah pada konsep awal atau simpulan yang tidak lurus, bisa juga karena pemahaman metode yang tidak sama.

Bertengkar bukanlah metode yang baik untuk mendapatkan pengetahuan karena tidak efisien dan sistematisnya langkah yang ditempuh. Belum lagi jebakan atau godaan untuk mengalah karena faktor fisik, usia dan sejenisnya. Namun dari bertengkarlah diketahui kekurangan itu.

Kemampuan meningkatkan kualitas pertengkaran menjadi adu argumentasi yang terstandar, secara implisit mengandung arti dikuasainya konsep dasar tentang obyek yang dibincangkan dan dimilikinya keterampilan untuk menyajikan atau menarasikannya.

Ketakutan akan pertengkaran lah yang menghalangi tumbuhnya budaya bernalar dalam praktik pembelajaran selama ini. Ketidakmampuan mentransformasi pertengkaran menjadi adu penalaran sering dibelenggu karena alasan subyektif. 

Potensi beda pendapat yang ada pada anak-anak kita tidak tersalurkan karena api itu dihalangi berkembang.

Jangan lupa bahwa dalam mitologi Yunani pengetahuan disimbolkan dengan api. Bertengkar dalam keseharian kita berbahasa sering diidentikkan dengan memicu bara atau api sehingga selalu diupayakan untuk dipadamkan.

Tidak berkembangnya api itulah yang membuat bangsa ini sering tidak rasional dalam mengambil keputusan sehari karena kita tidak terbiasa berlogika dengan utuh dan lurus. Lihatlah betapa tidak rasionalnya publik kita menyikapi isu Covid-19 (Corona), betapa tidak logisnya pejabat publik memberikan informasi.

Hasil PISA menunjukkan kualitas sumber daya manusia bangsa kita hari ini. Laporan OECD di atas menghibur kita dengan mengatakan bahwa Indonesia menunjukkan peningkatan kinerja yang signifikan dalam tahun-tahun terakhir. 

Namun secara tidak langsung itu merupakan sindiran karena kita sekarang ini adalah produk dari sistem dan praktik dari masa lalu dan kita bukan bagian dari perbaikan itu.

Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun