Mohon tunggu...
Aminuddin Malewa
Aminuddin Malewa Mohon Tunggu... Freelancer - Penjelajah narası

Penikmat narasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi di Indonesia, Sebuah Paradoks Budaya

21 Januari 2020   10:41 Diperbarui: 21 Januari 2020   11:04 1368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil di tengah sawah, Desa. Poto: Kab. Sumbawa

Cara pandang tersebut memang coba diterapkan, tapi sayangnya hanya pada level pucuk pimpinan, atau kepala daerah dan tidak menyentuh struktur dan aparat di bawahnya. 

Siapapun yang terpilih menjadi kepala daerah, apapun visi-misi yang hendak diusung, faktanya mesin yang akan menjalankannya adalah aparat yang sulit untuk diganti. 

Seorang aparat sampai pensiun tetap menjadi aparatur birokrasi apapun prestasinya, apapun yang dikerjakan hari demi hari nyatanya gajinya sudah diatur dan enaknya lagi dibayar di muka alias awal bulan.

Konsep modern yang berasal dari negara-negara belahan Utara tidak (hendak) diterapkan utuh. Kok bisa? Ya karena regulasi yang mengatur hal itu disusun oleh aparatur sendiri. 

Thomas Dye (2014), yang bukunya tentang Kebijakan Publik sering dirujuk, mengatakan bahwa kebijakan publik adalah juga tentang siapa mendapat apa dari kebijakan yang dihasilkan.

Saya lebih ingin kita menyadari adanya struktur sosial yang dikembangkan namun ternyata menggabungkan 2 (dua) alam pikiran yang jauh berbeda. Transformasi dari struktur kekuasaan tradisional menuju struktur modern ternyata tidak berangkat dari akar konsep utuhnya. 

Kemudian kita hari ini sering menggunakan konsep modern untuk menilai kinerja struktur sosial yang sebenarnya masih tradisional. Ibarat mengukur kemampuan binatang memanjat pohon, kita tidak membedakan binatang tersebut monyet atau gajah.

Hal yang mendasar yang sebenarnya melingkupi alam pikiran kita adalah kegagapan menyerap nilai budaya lain yang dianggap maju namun pada saat bersamaan enggan beranjak dari zona nyaman yang terwariskan.

Banyak contoh dapat kita temui dalam aspek kehidupan. Penataan ruang dalam rumah misalnya, betapa kita tergoda dengan bersih dan resiknya dapur modern lalu ingin menerapkannya di rumah-rumah kita. 

Kita lupa bahwa dapur mereka adalah dapur yang hanya digunakan untuk memasak bahan yang sudah bersih dari tempat pembeliannya. Bandingkan dengan ibu rumah tangga kita yang belanja ikan dan sayur di pasar, sampai di rumah masih harus dibersihkan lagi. Sudah tentu penataan dapur kering dapur basah mestinya jadi pertimbangan sebelum menjiplak denah yang banyak bertebaran di dunia maya.

Perhatikan juga bagaimana ruang publik diatur dalam regulasi kita selama ini. Pemisahan antara ruang publik dan ruang privat ada garis tegas di peta dan karenanya gampang dihitung luas geometrisnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun