Jadi begini, diawali main instagram, ketemu postingan budimaninovator, saya memang follow sejak lama, di situ ada agenda live bersama: Budiman Sudjatmiko, Ngobrol Politik Online Revolusi 4.0 Setelah Pandemi, dimulai jam 20.00 wib.Â
Di bagian bawah postingan itu tertulis @faldomaldini untuk ikuti secara live. Segera ke menu pencarian mencari akun faldomaldini, ketemu, klik mengikuti, tak lama kemudian acara telah dimulai. Proses ini berlangsung tidak lebih dari 15 menit. Kenapa tertarik? Sejak Pandemi Covid-19, baru kali ada yang mengaitkannya dengan Revolusi 4.0.
Sebisa saya menangkap diskusi ini, dengan tambahan pribadi, ada beberapa hal yang menarik, setidaknya bagi saya. Pertama, Budiman Sudjatmiko, selanjutnya BS, menganalogikan Pandemi Covid-19 seperti ujian mendadak dari guru killer. Murid-murid terkejut, nggak sangka si guru akan bertindak demikian.Â
Perintah guru, tidak boleh open book. Murid-murid protes. Oke, kalian boleh kerja sama, tetapi tetap tidak boleh open book. Siapa sangka umat manusia di semua negara dikejutkan dengan Covid-19.Â
Negara maju, berkembang, negara liberal-kapitalis, sosialis, agama, semua kena. Sembari mengobati yang sakit, mencegah tidak lebih banyak yang tertular, semua negara sibuk menemukan vaksin. Kembali ke ilustrasi. Ketika kerja sama, demi lulus ujian, nggak peduli jawaban berasal dari murid yang dikenal pintar, pendiam, nakal, yang penting lulus.Â
Begitu juga dengan Covid19. Siapa pun negara yang berhasil duluan bikin vaksin, semua negara akan minta, atau beli, yang penting rakyatnya sembuh. Ilustrasi ini, bagi saya, mengajarkan bahwa kesombongan umat manusia tidak berarti dihadapan virus.Â
Kita menyombangkan diri yang paling suci, hebat, demokratis, berbarengan dengan itu, merendahkan yang lain, tidak berakhlak, penuh dosa. BS, lanjut mengibaratkan, Ibu Pertiwi (Bumi) yang selama ini menggendong anaknya (umat manusia) dan menuruti semua kemauannya (ego) merasa lelah, melepas gendongan, dan ingin bersolek sebentar. Kepongahan manusia ditegur alam.
Kedua, sisi positif work from home (WFH). Revolusi industri, penemuan mesin, membuat orang semakin individualis. Profit oriented. Kapitalisme merusak tata nilai, kekerabatan, solidaritas. WFH mengajak kita kembali untuk menyapa, menegur, ngobrol tetangga di kiri-kanan rumah, bahkan sesama anggota keluarga.Â
Pergi kerja pagi hari, pulang larut malam, di rumah sibuk dengan gadget, begitu seterusnya. Tiba-tiba kaget ada bendera kuning dekat rumah, tapi nggak tahu itu siapa dan kenapa bisa meninggal.Â
Individualisme mengasingkan kita dari pergaulan sosial. WFH jadi momentum untuk kembali membangun solidaritas, dimulai dari anggota keluarga, kemudian ke kiri-kanan tetangga.
Ketiga, masih terkait WFH, teknologi menjadi alat bantu yang sangat berarti selama WFH, utamanya soal komunikasi-informasi. Di sinilah peran revolusi industri. Teknologi memudahkan pekerjaan manusia.Â
Rapat tidak lagi bertemu fisik, cukup download aplikasi bisa rapat virtual. Ibadah pun begitu, meski masih pro-kontra, di masa depan bisa jadi rumah ibadah akan sepi dari jemaat.Â
Di sisi lain, teknologi juga jadi ancaman. Sudah banyak  jenis pekerjaan yang diambil alih mesin/teknologi. Di mana-mana sekarang cukup pakai kartu, tinggal gesek atau tempel. Dan sinilah peran umat manusia.Â
BS bilang revolusi selalu terkait ekonomi, sosial, dan budaya. Dari sisi ekonomi, pekerjaan menjadi lebih ringkas namun tetap menguntungkan. Konsekuensinya, banyak orang yang akan kehilangan pekerjaannya. Namun, ini bisa diatasi ketika teknologi bisa digunakan untuk membantu manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya.Â
Teknologi bisa membantu petani menjadi sejahtera ketika hasil produksinya dipasarkan tanpa lewat mata rantai distribusi yang selama ini tidak adil. Harga beli di petani sangat kontras dengan harga jual di toko retail. Petani jelas tidak diuntungkan dalam sistem ini. Ketika petani bisa diajarkan untuk menjual produknya sendiri, ia akan menciptakan sistem distribusi pasar yang lebih adil.
Keempat, di masa depan, khususnya Indonesia, harus berani investasi besar-besar di dunia riset, khususnya teknologi dan kesehatan. BS mencontohkan Korea Selatan bisa mengatasi Covid-19 karena pemerintah mereka dibantu oleh industri hardware komunikasi. Perusahaan handphone mereka mendistribusikan data konsumen ke pemerintah untuk melacak keberadaan warga dalam rangka pencegahan.Â
Big data menjadi amat penting. Kita belum punya ini. Kita masih berkutat soal birokrasi, antara pusat dan daerah, antara satu kementerian dengan kementerian lainnya, antara si ini dan si itu. Selama riset belum jadi prioritas, kita akan selalu gagap menghadapi virus-virus mematikan di masa depan.
Saya mencoba bertanya, namun belum beruntung. Pertanyaan saya terkait revolusi di bidang komunikasi. Saya oke kalau rapat fisik beralih ke virtual, meski ada rapat-rapat tertentu yang perlu kehadiran secara fisik. Tetapi, sulit bagi saya membayangkan jika di masa depan ibadah, misalnya, pun dilakukan secara online. Atau jika anda seorang aktivis organisasi masyarakat sipil, atau politisi, sulit membayangkan jika hanya mengandalkan cara-cara online itu. Membangun relasi dan kedekatan emosi, bagaimana pun juga, yang paling efektif adalah melalui tatap muka, face to face. Gestur wajah, sense, saya rasa hal yang tak mungkin diganti oleh teknologi-mesin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H