A. Latar Belakang
      Pembangunan bidang kesehatan secara terpadu dimulai sejak tahun 1978, yaitu sejak dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979 tentang REPELITA III. Sejak saat itu kesehatan menenpati posisi tersendiri dalam pembangunan nasional secara keseluruhan.
      Berdasarkan kebijakan yang tertuang dalam GBHN tersebut, maka disusunlah Sistem Kesehatan Nasional, yang kemudian diberlakukan dengan diterbitkannya Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 99a./Menkes/sk/1982 pada tanggal 2 Maret 1982. Sistem Kesehatan Nasional merupakan suatu tatanan yang mencerminkan upaya dari bangsa Indonesia dalam meningkatkan kemampuan derajat kesehatan yang optimal. Isi dari Sistem Kesehatan Nasional memberikan gambaran sekaligus fungsi sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan di bidang kesehatan, yang kemudian dipositifkan menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Yang kemudian undang-undang tersebut menjadi acuan dalam perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan kepada pasien khususnya dan masyarakat pada umumnya.
      Penyelenggaraan pembangunan di bidang kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumberdaya kesehatan. Upaya kesehatan pada mulanya menitikberatkan pada upaya penyembuhan penderita yang kemudian secara berangsur-angsur berkembang sehingga upaya kesehatan tersebut bercirikan keterpaduan yang menyeluruh, menyangkut upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhsn penyakit (curatif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Konsekuensi Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 disebutkan bahwa setiap potensi yang dapat dimanfaatkan dalam upaya pelayanan kesehatan menempati peran yang setara, baik tenaga, sarana, dan prasarana bahkan pengguna jasa layanan kesehatan dan masyarakat pada umumnya menegemban kewajiban yang sama besar untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal.
      Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 diatur hal-hal pokok diantaranya adalah pelayanan medik oleh dokter yang berorientasi pada kesembuhan (curatif). Orientasi penyenbuhan penyakit dalam kebijakan pembangunan kesehatan pada dasarnya menjadi pilihan terakhir, karena secara ekonomis upaya ini membutuhkan biaya, tenaga, dan upaya yang jauh lebih besar. Sementara sebagai sebuah upaya, hasilnya belum atau tidak dapat dipastikan karena setiap upaya kesehatan mengandung potensi kegagalan yang berupa gagal sembuh, cacat, atau meninggal.
      Keberhasilan upaya kesehatan tergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana, dan prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pelayanan kesehatan sebagai kegiatan utama rumah sakit menempatkan dokter dan perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling dekat hubungannya dengan pasien dalam penanganan penyakit. Terdapat beberapa hubungan dalam upaya pelayanan kesehatan tersebut, yaitu hubungan antara rumah sakit dan dokter; perawat dengan pasien; hubungan antara dokter dengan perawat dan pasien; dan hubungan antara perawat dengan pasien.
      Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perwat juga memiliki peranan yang penting dalam hubungan pasien dan perawat. Perawat sebagai salah satu tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat umum yang tugas utamanya adalah memberikan asuhan atau pelayanan keperawatan sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya. Pelayanan keperawatan tersebut diberikan secara langsung maupun tidak langsung, melalui kegiatan penyuluhan dan pendidikan oleh perawat dalam institusi sarana kesehatan.
      Seorang perawat dalam menjalankan tugasnya memiliki tiga fungsi yaitu fungsi independen, fungsi interdependen, fungsi dependen. Fungsi independen adalah fungsi dimana tindakan dari seorang perawat tersebut tidak memerlukan perintah dari dokter. Dalam hal ini seorang perawat bertindak mandiri berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dimilikinya. Fungsi interdependen adalah fungsi tindakan perawat yang berdasarkan pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi dependen adalah fungsi perawat bertindak sebagai pembantu dokter dalam memberikan pelayanan medik.
      Jika kita membicarakan tugas dan fungsi dari perawat maka kita tidak akan lepas untuk membicarakan peranan perawat dalam pelayanan kesehatan. Pertama peran perawat adalah sebagai pelaksana, dalam menjalankan tugasnya sebagi pelaksana perawat menggunakan metode-metode untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi pasiennya. Kedua peran perawat adalah sebagai pendidik, yang memberikan penyuluhan kepada klien atau pasien yang berada dibawah tanggung jawabnya. Ketiga peran perawat adalah sebagai pengelola, dengan jabatan struktural yang dimiliki guna memantau dan menjamin kualitas asuhan keperawatan. Keempat adalah sebagai peneliti, dalam upayanya untuk mengembangkan body of knowledge keperawatan maka perawat harus memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dibidangnya.
      Dari keempat peran tersebut hal terpenting yang terkait dengan hak pasien adalah peran perawat dalam Undang-Undang Kesehatan jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1996 bahwa tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien wajib menghormati hak-hak pasien dan perawat masuk dalam tenaga kesehatan. Seperti yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan Pasal 2 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan meliputi:
- tenaga medis
- tenaga keperawatan
- tenaga kefarmasian
- tenaga kesehatan masyarakat
- tenaga gizi
- tenaga keterapian fisik
- tenaga keteknisan medis.
Dengan demikian terlihat bahwa tenaga perawat merupakan bagian dari tenaga kesehatan yang juga memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut. Dalam kaitannya dengan pasien, Undang-Undang Kesehatan (Pasal 53 ayat 2) jo Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1996 (Pasal 22 ayat 1 huruf a) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien wajib menghormati hak-hak pasien. Dengan demikian perawat sebagai tenaga kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien wajib menghormati hak-hak pasien dan sudah selayaknya perawat memiliki rambu-rambu hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak terjadi pelanggaran hak-hak pasien oleh perawat.
Dalam fungsinya perawat terutama di rumah sakit, perawat mempunyai areal kerja yang berbeda sesuai dengan pembagian unit dalam rumah sakit. Salah satu unit yang terpenting dalam rumah sakit adalah pelayanan kesehatan di ruang bedah. Keterbatasan jumlah tenaga medis (dokter) dalam setiap pelaksanaan operasi dimana dokter membutuhkan perawat sebagai tenaga pendukung dalam pelaksanaannya mengingat kepentingan setiap langkah diruang operasi.
Diruang operasi, terdapat beberapa tenaga medis yang berkoordinasi untuk menjalankan atau melaksanakan operasi, yaitu tim dokter sebagai pelaksana utama, tenaga teknis sebagai pembantu, dan tenaga perawat sebagai tenaga pendukung. Sebagai tenaga pendungkung dalam suatu operasi perawat membutuhkan pengalaman dan keterampilan serta kemampuan yang khusus yang ditunjang dengan pendidikan yang diperolehnya.
Dalam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan KepMenKes No. 1239/MenKes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat, dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan praktek keperawatan seorang perawat berwenang untuk:
- melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan
- tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan
- dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimanan dimaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi
- pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter.
Dari Pasal 15 huruf d tersebut telah tersirat bahwa seorang perawat tidak boleh melakukan tindakan medis tanpa permintaan dari dokter yang bersangkutan kepada pasien. Jika perawat tersebut ingin melakukan tindakan medis maka perawat tersebut haruslah mendapatkan pendelegasian oleh dokter yang bersangkutan. Dalam pelaksanaannya proses pendelegasian inilah yang masih membutuhkan pengaturan lebih lanjut karena tidak jarang ketidakjelasan proses pendelegasian menimbulkan permasalah dalam pertanggung jawaban apabila terjadi tindakan yang merugikan pasien.
Dari latar belakang permasalahan diatas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan pendelegasian kewenangan tersebut kedalan suatu makalah yang berjudul "pertanggung jawaban perawat di ruang bedah dalam hal terjadinya kelalaian medis"
B. Perumusan Masalah
      Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang akan dibahas:
- bagaimana pendelegasian kewenangan tugas dari dokter pada perawat?
- bagaimana bentuk pertanggungjawaban perawat apabila terjadi suatu keadaan yang merugikan pasien?
PEMBAHASANÂ
Pendelegasian Kewenangan Tugas dari Dokter pada Perawat
Menurut Willa Chandrawila Supriadi (2000) yang dimaksud kewenagan perawat adalah kewenagan dari tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaan, yang dikenal dengan kewenangan profesional. Kewenagan perawat juga dapat diartikan sebagai hak otonomi untuk melaksanakan asuhan keperawatan berdasarkan kemempuan, tingkat pendidikan dan posisi sarana kesehatan.
Asuhan keperawatan yang dilakukan perawat dapat meliputi pada kondisi sehat dan sakit yang mencakup:
- asuhan keperawatan pada perinatal
- asuhan keperawatan pada neonatal
- asuhan keperawatan pada anak
- asuhan keperaatan pada dewasa
- asuhan keperawatan pada maternitas.
Dalam melakukan kewenangannya seorang perawat dapat melakukan berbagai tindakat medik. Tindakan medik tersebut dilakukan secara mandiri oleh perwat atau juga dapat dirujukkan oleh dokter yang bersangkutan, rujukan inilah yang nantinya disebut sebagai pendelegasian tugas dari dokter ke perawat.
Hubungan hukum pasien dengan  perawat dapat berupa kontrak dimana tenaga perawat harus berupaya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan dan perangkat ilmu yang dimiliki. Kontrak ini dapat inspanningsverbintenis maupun resultaatsverbintenis.
Selanjutnya hubungan hukum antara dokter dengan perawat dapat merupakan hubungan rujukan atau delegasi. Pada hubungan rujukan, tenaga lain tersebut melakukan tindakan sesuai dengan keputusannya sendiri sedangkan delegasi, tenaga kesehatan lain tidak dapat mengambil kebijaksanaan sendiri tapi melakukan tindakan sesuai dengan delegasi yang diberikan oleh dokternya.
Di suatu rumah sakit, para dokter tidak bisa bekerja tanpa bantuan para perawat. Sebaliknya, perawat tanpa adanya intruksi dokter, tidak berwenang untuk bertindak secara mandiri, kecuali dalam bidang tertentu yang sifatnya umum dan memang termasuk bidang asuhan perawat (nursing care).
Namun, di dalam praktek sehari-hari para peawat melakukan tindakan yang sebenarnya termasuk tugas dokter dan yang didelegasikan kepadanya. Sehingga terdapat batas yang tidak jelas antara tindakan yang termasuk bidang medis yang harus dilakukan oleh kedokteran dan tindakan yang termasuk wewenang perawat. Jika dilihat dari segi perawatan ada tampak bidang yang saling tumpang tindih.
Dasar hukum pendelegasian ini diberikan dalam suatu arrest hoge raad tanggal 14 November 1952 di mana dikatakan bahwa orang yang belum pernah menjadi dokter dapat melakukan tindakan kedokteran di bawah pengawasan. Dan ketentuan tersebut juga berlaku pada perawat yang disebut perpanjangan lengan dokter atau teori verlengde arm van de arts.
Walaupun seorang dokter dapat memberikan delegasi atau melimpahkan wewenangnya, namun pemberina itu harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Agar seorang pasien yang berobat pada dokter tersebut dapat percaya dan yakin bahwa ia diberikan pertolongan dan pengobatan atas tanggung jawab dokter itu.
Syarat yang harus dipenuhi untuk pendelegasian tindakan tersebut adalah :
- penegakan diagnosis, pemberian atau penentuan terapi serta penemuan indikasi, harus diputuskan dokter itu sendiri, pengambilan keputusan tersebut tidak dapat didelegasikan;
- delegasi tindakan medis itu hanya dibolehkan jika dokter tersebut sudah sangat yakin bahwa perawat yang menerima delegasi itu sudah mampu untuk melaksanakannya dengan baik;
- pendelegasian itu harus dilekukan secara tertulis termasuk interuksi yang jelas tentang pelaksanaanya, bagaimana harus bertindak jika timbul komplikasi dan sebagainya;
- harus ada bimbingan atau pengawasan medik pada pelaksanaanya. Pengawasan tersebut tergantung kepada tindakan yang dilakukan. Apakah dokter itu harus berada di tempat itu ataukah ia dapat dipanggal dan dalam waktu singkat berada di tempat;
- orang yang didelegasikan itu berhak menolak apabila ia merasa tidak mampu untuk melakukan tindakan medis tersebut.
Pada tahun 1982, Dewan Pusat Kesehatan Masyarakat (Centrale Raad Voor de Volksgezondheid) telah membuat ketentuan mengenai tindakan apa yang boleh dilakukan oleh perawat yaitu:
- tindakan dalam rangka penerusan observasi dan bimbingan pasien selama di rumah sakit;
- tindakan perawat dan pengurusan pasien (verpleging en verzorging);
- tindakan di bidang medis yang berhubungan dengan aktivitas diagnotis dan therapi dari dokter dan yang dilaksanakan atas instruksinya.
Dapat disimpulkan bahwa dokter secara yuridis dan moral tetap bertanggung jawab, karena apa yang dilakukan oleh perawat itu instruksi dokter. Namun pelaku juga bertanggung jawab untuk tindakannya jjika tindakan yang dilakukan itu tidak sesuai dengan instruksi. Dokter juga harus mengawasi cara pelaksanaannya dan harus memberitahukan efek samping dan kompilasi yang mungkin timbul dan cara-cara untk mengatasinya.
Bentuk Pertanggung Jawaban Perawat
Asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien bertujuan untuk meningkatkan kondisi kesehatan, namun demikian adakalanya perawat dalam melaksanakannya tidak memperbaiki kondisi pasien. Tetapi justru tindakannya memperburuk keadaan pasien atau bahkan menyebabkan pasien cacat bahkan meninggal. Terdapat tiga aspek hukum yang terkai dengan pertanggung jawaban perawat, yaitu aspek pidana, aspek perdata, dan aspek administrasi.
Dari aspek hukum pidana dalam upaya pelayanan kesehatan oleh perawat terkait dengan tanggung jawab perawat dalam upaya pelayanan kesehatan dirumah sakit. Kemampuan tersebut terkait dengan perbutan pidana dimana perbuatan pidana tersebut dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam lingkungan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
Bagi perawat yang melakukan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit, perawat yang dikatakan melawan hukum adalah apabila perawat tersebut dalam melakukan tugasnya melanggar kode etik atau standar profesi. Tetapi tidak secara serta merta yang bersangkutan telah melakukan perbuatan pidana karena perbuatan yang dilakukannya belum tentu telah ditentukan didalam undang-undang sebagai perbuatan pidana.
Asas legalitas menyebutkan " tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan". Dari asa tesebut terlihat bahwa hanya perbuatan yang telah ditantukan oleh undang-undang saja yang dapat dikenai sanksi pidana. Selain dari unsur diatas untuk dapat dipidananya seseorang harus juga ada unsur kesalahan yang berupa kesengajaan atau kelalaian. Begitu juga dengan perawat dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Unsur kesalahan menjadi unsur yang sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang. Ada tidaknya kesengajaan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan akibat pelanggaran kode etik, standar profesi, standar praktik atau lafal sumpah oleh perawat berbagai tenaga kesehatan diteliti dan ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK). Hasil penelitian mengenai kesengajaan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan standar profesi tersebut diserahkan kepada pejabat yang berwenang untuk memberikan tindakan disiplin.
Dalam pasal 50 KUH Pidana Pasal 50 menentukan bahwa "barang siapa melakukan untuk melaksanakan ketententuan undang-undang". Secara acontrario, perawat harus bertanggung jawab hanyaterhadap perbuatan yang dilakukan tidak dalam rangka melaksanakan ketentuan undang-undang. Asuhan keperawatan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh perawat karena pekerjaan perawat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dibuktikan dengan ijazahnya. Oleh karana itu dalam keperawatan sudah seharusnya perawat memikul beban pertanggungjawaban manakala melakukan kelalaian atau kesalahan.
Seseorang yang melakukan perbuatan karena melaksanakan perintah jabatan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian atau kesalahan yang ditimbulkannya. Pasal 51 ayat (1)  KUHP menentukan bahwa " seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana". Sementara ayat  (2) menentukan bahwa perintah jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali yang diperintah dengan itikat baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya". Terkait dengan tanggung jawab perawat, maka perawat tidak bertanggung jawab terhadap akibat yang timbul dari perbuatannya apabila perbuatan dilakukan sesuai dengan perintah atasannya, baik dokter maupun direksi rumah sakit.
Demikian pula apabila perintah itu diberikan di luar batas kewenangan pemberi perintah, tetapi perawat dengan itikad baik mengiraa bahwa perintah itu diberikan berdasarkan kewenangan yang sah dan pelaksanaanya dalam bidang upaya pelayanan kesehatan. Dengan kata lain apabila yang dilakukan perawat tidak sesuai dengan perintah dari atasannya, dia harus mempertangggungjawabkan setiap kesalahan berupa kesengajaan atau kalalain yang dilakukannya. Dalam hal ini ketidakmampuan bertanggung jawab seseorang merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf, artinya meskipun perbuatan pidana telah dilakukan tetapi perbutan dilakukan seseorang yang dalam dirinya terkandung salah satu diantara enam hal yang menentukan kemampuan bertanggung jawab seseorang yang ditentukan dalam Buku I Bab III KUHP. Perbutan pidana dan tanggung jawab merupakan unsur yang harus dipenuhi agar terhadap seseorang melakukan kesalahan yang berupa kesengajan atau kelalain dapat dikenakan sanksi pidana.
Dalam aspek hukum perdata pertanggung jawaban perawat terkait dengan perseorangan dan dengan perkenaan orang biasa atau sipil. Rumah sakit melalui tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya melakukan upaya kesehatan sesuai dengan tugas dan fungsinya, dalam rangka upaya penyembuhan pasien. Akan tatapi, dalam kenyataanya tidak senantiasa pasien mendapatkan kesembuhan setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Terhadap kegagalan upaya kesehatan ini maka pasien atau keluarganya yang merasa dirugikan berhak atas ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU 23/1992. ganti kerugian tersebut dapat diminta apabila kegagalan upaya tersebut disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya memberikan pelayanan kesehatan.
Kerugian yang dimaksud adalah kerugian fisik yang berupa hilang atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh tubuh dan kerugian nonfisik yang berkait dengan martabat seseorang. Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU 23/ 1992, maka perawat sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan atau asuhan keperawatan bagi pasien dan di rumah sakitjuga memikul tanggung gugat apabila melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan/asuhan keperawatan bagi pasien di rumah sakit. Padahal perawat yang bekerja di rumah sakit berstatus sebagai pegawai rumah sakit sehingga atas pekerjaan yang dilakukan berlaku Pasal 1367 BW sebagai berikut.
" seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugiann yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya"
      Berdasarkan ketentuan diatas, maka perawat yang bekerja dirumah sakit tidak memikul tanggung gugat karena ia sebagai pegawai rumah sakit menjalankan upaya pelayanan kesehatan yang merupakan fungsi dan tugas yang dipikul oleh rumah sakit sebagai suati badan usaha yang menjalankan upaya pelayanan kesehatan. Oleh karena itu beban tanggung gugat berada pada rumah sakit. Dalam UU 23/1992 Pasal 58 ayat (1) maka yang bertanggung gugat adalah rumah sakit yang bersangkutan, sedangkan apabila rumah sakit bukan badan hukum maka yang bertanggung gugat adalah badan hukum pemiliknya.
      Dalam aspek hukum administrasi pertanggung jawaban perawat terkait dengan masalah tata cara penyelenggraan pengorganisasian yang juga meliputi penyelenggaraan penetapan kebijaksanaan. Dalam melaksanakan tugasnya seorang perawat haruslah memiliki Surat Izin Perawat, Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek Perawat sebagaimana yang tercantum dalam KepMen Kes RI No. 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Tegistrasi dan Praktek Perawat.
Surat Izin Perawat yang selanjutanya disingkart SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia. SIP tersebut diperoleh dengan cara mengajukan permohonan dan mengirimkan kelengkapan registrasi kepada Kepala Dinis Kesehatan Propinsi setelah menerima izajah pendidikan keperawatan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan SIP tersebut diterbitkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pengajuan permohonan.
Surat Izin Kerja atau SIK adalah bukti tertulis yang diberikan kepada perawat untuk melakukan praktek keperawatan di saranan pelayanan kesehatan. SIK diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, yang hanya berlaku terhadap 1 (satu) sarana kesehatan. Surat Izin Praktek Perawat atau SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada perawat untuk menjalankan praktek perawat perorangan/berkelompok. Â SIPP diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, yang diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahki madya keperawatan atau pendidikan keperawatan dengan kompetensi lebih tinggi.
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan dalam bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan. Pejabat yang berwenang mengeluarkan dan mencabut SIK atau SIPP adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selain itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perawat yang menjalankan praktek keperawatan diwilayahnya.
Dalam hal melaksanakan tugasnya jika seprang perawat melakukan pelanggaran terhadap kewenangannya dapat dikenakan sansi administrasisebagai berikut:
- untuk pelanggaran ringan, pencabutan izin selama-lamanya 3 (tiga) bulan
- untuk pelanggaran sedang pencabutan izin selama-lamanya 6 (enem) bulan
- untuk pelanggaran berat pencabutan izin selama-lamanya 1 (satu) tahun.
Seorang perawat yang telah mendapatkan SIK atau SIPP dilarang menjalankan praktek selain ketentuan yang telah tercantum dalam izin yang telah diberikan, melakukan perbutan yang bertentangan dengan standar profesi. Jika terjadi pelanggaran kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dapat memberikan peringatan lisan atau tertulis kepada perawat yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan keputusan ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Perawat dalam kewenangannya melakukan tindakan medis tertentu perlu mendapatkan pendelegasian dari dokter yang bersanggkutan. Tetapi dalam hal tertentu seorang perawat profesional diperbolehkan melakukan tindakan medis tertentu yang biasanya tergolong menegakkan diagnotis dan pemberian obat. Di lain hal dalam keadaan darurat perawat berwenang melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Dalam hal tanggung jawab perawat dapat dikenakan tiga macam tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab secara pidana, tanggung jawab secara perdata, dan tanggung jawab secara administrasi. Dalam hal pertanggungjawaban pidana seorang perawat dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap suatu kelalaian yang dilakukan juga bisa tidak dimintai pertanggung jawaban dalam fungsi dependen. Dalam pertanggung jawaban perdata perawat dapat terbebas dari pertanggungjawabannya mengacu pada Pasal 1367 BW. Dalam pertanggung jawaban administrasi perawat dapat diterapkan sanksi-sansi administrasi.
*Tugas Mata Kuliah Hukum Kesehatan Penulis di Fakultas Hukum Universitas Jambi
Daftar Pustaka
A. Buku Referensi
Fred Ameln; Kapita Selekta Hukum Kedokteran; 1991, Grafika Jaya, Jakarta.
Julianus Ake; Malpraktik dalam Keperawatan; 2003, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sri Praptianingsih; Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit; 2006, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2. PP No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
3. KepMenKes RI No. 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H