Mohon tunggu...
Aminnatul Widyana
Aminnatul Widyana Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger yang suka cari ilmu

Dina/Aminnatul Widyana/mom's of 2 childs/blogger/SM3T/teacher/tim penggerak PKK/Visit www.amiwidya.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasih Mama Sehangat Arunika

4 Desember 2020   10:09 Diperbarui: 4 Desember 2020   10:31 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya pagi menerobos dedaunan

Kesegaran embun membasuh kaki-kaki yang lelah

Sejuknya udara perdesaan membangkitkan semangat kehidupan

Alam seakan merangkul kerapuhan hatinya yang terkesan tegar

Bayi kecil dari sebuah desa itu, kini sudah bergerumul dengan hiruk pikuknya masyarakat perkotaan. Lahir dari keluarga sederhana yang nyaris broken home, tak lantas menjadikannya sosok pengecut terhadap tantangan zaman. Seorang ibu, memegang kendali untuk menjadikannya tangguh seperti yang terlihat sekarang.

Melalui rangkaian kata ini, perkenankan aku meceritakan sosok hebat yang berani mengambil risiko kehilangan dunia, demi menyelamatkan ketiga buah hatinya. Dialah mamaku...

dokpri
dokpri
Pada mulanya, mamaku adalah seorang guru lulusan Diploma di sebuah sekolah swasta. Tuntutan peradaban, membuat peraturan berubah. Seluruh guru harus mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, harus lulus sarjana. Kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan ekonomi, dan kewajiban untuk membesarkan anak, serta menjaga kakek dan nenek yang telah mengasuhnya sejak bayi, menjadi pertimbangan mama untuk tidak melanjutkan pendidikan lagi. Dengan berat hati dan pertimbangan yang matang, mama memilih keluar dari pekerjaannya.

Bukan hal yang mudah tentunya. Konfrontasi dari pihak orang tuanya  pun diterima. Situasi dan kondisi semakin sulit. Ayahku yang bekerja sebagai guru PNS dengan gaji tak seberapa kala itu pun diminta menceraikan mama. Tanaman jeruk hasil keringat ayahku, di kebun kecil milik nenek yang mengasuh mama, dan akan segera dipanen, terlalap ganasnya api. Dibakar habis oleh orang suruhan. Musnah sudah. Hanya tersisa abu dan arang.

Kecewa itu pasti, tapi marah harus diredam. Beruntungnya aku memiliki orang tua yang bijaksana. Keluargaku tetap utuh. Meskipun kondisi pas-pasan, aku tak sampai kelaparan. Mamaku luar biasa sabar. Dia mengajarkan betapa pentingnya bertahan di tengah badai pernikahan. Kepercayaan menjadi kunci utama. Hingga Tuhan mengulurkan tangga bantuan. Agar keluarga kami setapak lebih tinggi menjajaki makna kehidupan.

Hari demi hari berganti, tahun demi tahun terlewati. Masalah yang datang silih berganti. Anak-anak membutuhkan biaya pendidikan yang lebih tinggi. Kalau keluarga lain yang berkecukupan, pasti memperhatikan asupan makanan bergizi. Berbeda dengan kondisi kami. Aku setiap hari makan mie. Sarapan mie, bekal makan siang untuk sekolah juga mie. Tak ada uang jajan lebih. Bahkan untuk berangkat sekolah, aku harus menunggu ayah pulang dari ngojek.

Begitu mama mendapatkan jatah uang belanja dari ayah, langsung dibagi untuk berbagai keperluan. Poin yang utama adalah untuk uang belanja dan uang transportasi sekolahku. Aku berangkat naik bus umum, dan harus berjalan kaki selama 10 menit menuju ke sekolahku. Hanya 4 ribu rupiah uang sakuku di tahun 2014. Habis untuk membayar bus dan membeli 1 potong roti. Mama hanya bisa menyemangati, kalau ada rezeki, uang saku akan ditambahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun