Mohon tunggu...
Amini Farida
Amini Farida Mohon Tunggu... Guru - Kepala SMP Negeri 10 Kota Madiun

Eyang yang suka menulis berniat semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Cinta untuk Ayah

27 Februari 2021   11:40 Diperbarui: 27 Februari 2021   11:47 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap akhir tahun,agenda sekolah pembagian raport kenaikan kelas.Acara ini disertai kebiasaan syukuran dengan berbagi pelang, nasi bungkus daun pisang.

Setiap akhir tahun pelajaran, acara yang menarik bagiku, kenaikan kelas kala itu entah karena mungkin pangan masih mahal ,saat membagi raport siap konsumsi nasi bungkus daun,yang dibawa para wali siswa.Makan bersama itulah yang menyebabkan terasa asyiik tiada tara.

Sepulang sekolah SD,sekitar pukuk 13.00 siang hari tak ada kata tidur siang,tetapi harus segera mandi dan berangkat sekolah madrasah hingga pukul 17.00.Tak ada waktu untuk bermain hingga hari Sabtu.Hasil belajar sejak kecil inilah,menjadi bekal penting menghadapi kehidupanku sekarang,bahwa anak harus tumbuh sehat berbahagia melakukan tugas apapun berbudi,berketrampilan dan berangsur-angsur berpengetahuan.Usia ayah makin menua seiring kehidupanku yang makin berwarna,sok sibuk menjelajah angkasa.

Telpon berdering terkadang tak kuangkat,karena rapat,sore atau malampun lupa menelponmu,karena repot menyelesaikan tugas rumah yang tiada habis.Ilmu macam apa yang kupakai,gelar berderet percuma,ketika ayah masih punya usia,hari berlalu begitu saja,tanpa senyuman anak-anakmu.Kumenatap hari nanti,akankah aku diperlakukan seperti itu oleh anak-anakku.Buah tak jauh dari pohonnya,sungguh kini kutakut itu ada.Tuhan...kutepis kehampaan itu, hidup tanpa siapa-siapa aku masih punya engkau Tuhan,kuikhlaskan satu-persatu menjauh meniti kehidupan masing-masing.

Ayah,mohon maaf, saat itu aku tak peduli umurmu,ceritamu dan nasehatmu ,bahkan senyummu pun tak kubalas.Kini,hati teriris itu kurasakan ayah,betapa semua barisan kata-kata itu penting untuk anakmu.Engkau menyampaikan bahwa kehidupan pasti akan ada akhir kau lantumkan dalam nyanyian yang tak jelas lagi.Kini usapan tanganmu, belaian kasihmu telah kau bungkus dengan senyum kepergianmu.

Kini aku merasa sendiri, mengenangmu di dekat tidurmu, bersama airmata penyesalan, mengapa kemarin tak kutemani, mengapa kemarin tak kudengarkan. Kini baru terasa ketika dirimu telah kembali kepada Tuhan Yang Maha Segalanya.Selamat jalan ayah,doa dan dhikir untukmu,Alloh mengampunimu,menyayangmu sebagaimana sayangmu kepada anak-anakmu.Madiun,19 Juni2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun