Di Indonesia kampanye sering diartikan sebagai pertunjukan hiburan oleh para artis atau pidato berapi-api dari para juru kampanye (jurkam) yang bertujuan untuk mencaci maki dan menyinggung kontestan lain. Dengan cara-cara seperti itu maka pengertian kampanye sudah banyak yang disalah artikan karena realitas lapangan sering kali tidak sesuai dengan tujuan kampanye.
Menurut Hafied Cangara, kampanye adalah aktivitas komunikasi yang ditujukan untuk mepengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan penyebar atau pemberi informasi. Dalam konteks komunikasi politik, kampanye dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu hal atau seorang.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka sangat salah jika kampanye dilakukan dengan cara-cara yang tidak simpatik, karena tujuan kampanye adalah untuk merebut hati masyarakat agar dapat memberi suara atau dukungan kepada partai atau calon yang akan maju menaiki kursi politik.
Kampanye? Itu Konser Dangdut Gratis !
Seperti penjelasan diatas, kampanye di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari kehadiran para artis dangdut. Dimana ada kampanye, baik kampanye parpol atau perorangan bahkan kampanye-kampanye penyuluhan pun sering menggunakan jasa musisi dangdut. Dari artis dangdut local sampai artis ibukota.
Penggunaan jasa artis dangdut bisa diwajarkan, adanya slogan dangdut is the music of my country menjadikan kampanye sebagai komunikasi politik bisa sekaligus menjadi demo mencintai musik asli Indonesai yang satu ini. Dan walau hanya dengan “dangdutan” toh massa yang datang tidak pernah sepi dan dapat menaikan gengsi sebuah partai.
Bahkan hanya dengan “artis dangdut” saja banyak massa yang rela datang jauh-jauh untuk mengikuti kampanye yang diselenggarakan biasanya di lapangan-lapangan besar itu.(positive thingking aja, mereka mau mendengarkan orasi kok. Bukan ngefans sama artisnya.). yang salah dari kampanye ini adalah, terkadang durasi orasi yang diberikan lebih sedikit dari durasi hiburannya (ini kampanye apa konser ya?).
Saya mengutip tulisan seorang jurnalis liputan6.com, ditulisnya “Berdangdut dan berjoget rupanya telah menggantikan orasi tentang ide-ide untuk mensejahterakan masyarakat. Yang ada hanya janji kosong tanpa disertai logika solusi. Jangan berharap ada perdebatan cerdas dan pendidikan politik. Jangan pula berharap politisi menawarkan solusi bagi persoalan masyarakat. Kampanye kini tak lebih sekadar ajang rekreasi dangdutan sesaat. Singkatnya, kampanye sama dengan dangdut massal.”
Dari video-video di youtube dan dari pengalaman saya mengikuti kampanye, bisa saya ambil perbandingannya 70% durasi kampanye digunakan untuk nyanyi-nyanyi alias hiburan, sementara sisanya hanyalah speak-speak gak jelas(gak ada visi-misi, yang ada hanya bersu’udzon dengan lawan, membanggakan partai sendiri).
Pantas saja kebanyakan massa yang hadir dalam kampanye lebih tertarik kepada artis dangdut yang datang daripada visi-misi partai. Mereka seakan tidak peduli dengan pencitraan yang sedang dibangun, atau mungkin mereka sudah lelah memakan janji-janji palsu dari partai.
Lagipula, mereka yang datang belum memastikan pilihannya. Apakah akan memilih partai yang berkampanye atau partai lain. Sepertinya mereka hanya ingin menikmati hiburan yang ada karena belum tentu mereka bisa mendapatkan hiburan secara “cuma-cuma” itu di lain kesempatan. Untuk membayar juga pasti enggan.
Kampanye seperti itu sama sekali tidak membawa keuntungan untuk partai, kampanye itu kan ajang pencitraan, seharusnya partai politik dapat membangun image yang baik agar menarik dukungan masyarakat. Memperhatikan dan memberikan solusi atau bantuan terhadap keadaan masyarakat secara seksama sepertinya menjadi cara lebih efektif. Bukankah jauh lebih baik uang ratusan juta yang dibayarkan ke seorang artis dijadikan dana tambahan guna membangun insfrastuktur jalan atau menyangoni janda-janda tua.
Walaupun hanya sebatas pencitraan, saya rasa masyarakat kita lebih membutuhkan kampanye seperti itu dibandingkan hura-hura nggak jelas yang sering dilakukan sekarang ini. Banyak yang beralasan kampanye seperti itu untuk menarik massa dalam jumlah besar. Aduh pak/bu, gak perlu pake dangdut-dangdutan juga kan? Seperti oponi dari rekan-rekan lain di akun jejaring sosialnya masing-masing :
Di twitter, account @Husen_Jafar menilai, kampanye dengan menggelar dangdutan tidak bermutu. Apalagi sebagian penyanyi dangdut sering menampilkan joged erotis.
Presenter berita top Karni Ilyas dalam account twitternya @karniilyas berharap, di pemilu nanti tidak ada lagi pertunjukan musik dangdut dalam kampanye politik. Alasannya, informasi politik tidak tersampaikan dengan baik, karena massa yang hadir justru lebih menikmati dan mengingat artis dangdutnya.
Belum lagi massa yang datang kebanyakan adalah bapak-bapak atau ibu-ibu dan sering mengajak anak-anak mereka yang masih dibawah umur untuk ikut serta dalam kegiatan itu. Seringkali atraksi yang dilakukan “artis” dangdut untuk mendapatkan perhatian penonton terlalu menohok. Tidak pantas di tonton oleh anak dibawah umur. Sangat disayangkan bukan, anak-anak Indonesia harus di cekoki tontonan tidak bermutu sejak kecil. Tolong jangan salahkan orang tua mereka yang memabawa serta, salahkan lah system kampenye Indonesia yang acak kadut.
(Sumber berita : Kampanye Partai sama dengan Dangdut Massal diakses tanggal 05 September 2016, pukul 16:03)
Nama : Amina
NIM : 07031281520188
Mata Kuliah : Komunikasi Politik (Kampanye Politik)
Dosen : Nur Aslamiah Supli, BIAM. M.Sc
Jurusan : Ilmu Komunikasi (b)
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sriwijaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H