Mohon tunggu...
Amien Laely
Amien Laely Mohon Tunggu... Administrasi - menyukai informasi terkini, kesehatan, karya sendiri, religiusitas, Indonesia, sejarah, tanaman, dll

Tak ada yang abadi. Semua akan basi. Sebelum waktu disudahi. Musti ditanya seberapa banyak telah mengabdi

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gundah Si Pencari Getah

28 Agustus 2014   14:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:18 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_355775" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber Gambar: http://www.sayangi.com"][/caption]

Ingin dihempaskan saja rasa itu
Di bawah daun kering yang jatuh subuh tadi
Ketika embun malam mendekap senyap
Ketika lentera langit tertinggal di sudut gelap

Rasa itu seperti resah yang mencekam
Menghanguskan kepongahan
Melantakkan kehendak
Menyerpih-nyerpih kesadaran dengan kejam
Melalap sekejap sisa harap

Dia hampir tak kuasa lagi
Menahan pedihnya rasa hati
Rasa sakit yang menusuk sesak di pedalaman jiwanya
Rasa yang mencengkeram jiwa hampir setengah masa purnama
Yang mencekat nafas-nafasnya di paruh usia

Dia tak tahu mengapa rasa itu menyatu membatu
Melekat rekat dalam jiwa tuanya
Jiwa yang telah lebih dari lima windu menemaninya
Menerjang samudera hidup seorang pencari getah
Rasa yang terpatri mati bersama diri

Jiwanya kini tak mampu lagi me-liat kuat seperti getah-getah itu
Getah yang dicampakkannya di bejana usang di belakang rumah
Jiwa yang kini lemah
Sejak setengah masa purnama
Sejak berasnya habis dan anaknya merengek
Menanyakan air tajin asin yang tak lagi disuguhkan oleh ayahnya

Dulu dia sangat membanggakan getah-getah liat itu
Karena telah memberinya beberapa keping uang
Dan mengajari kerasnya kehidupan
Agar gagah kuat seliat getah

Namun kini uang-uang getah itu tak cukup lagi
Membeli beras, minyak, krupuk, dan membayar listrik
Apalagi membeli susu untuk anaknya
Membeli gincu istrinya yang pernah dia janjikan
Dan dia berkhianat tak menepati janji

Pagi itu kepalanya tertunduk lesu
Malu …………
Kepada diri dan orang-orang yang dicintainya
kepada teman dan tetangganya
Batinnya tersiksa gundah tak bersudah
Meratapi perjalanan seorang pencari getah

Pilu hati di pagi itu ingin dia akhiri
Dengan sehelai kertas putih bertuliskan kata-kata suci
Yang dulu diberikan oleh ibunya
Dua puluh tahun yang lalu

Mantera-mantera dilafalkannya kata demi kata
Butir air mata membasahi pipi dan lubang hidungnya
Dan Satu-satu gundah hatinya berjatuhan
Hanyut terbawa mantera
Entah kemana
Mungkin ke sungai-sungai tawakkal yang masih diyakininya

Harapannya bersemi kembali
Kepada getah kotor beraroma tak sedap
Yang kepada benda itu dia serahkan cita-cita anaknya
Barangkali esok uang getah itu ditambah oleh pak lurah
Seperti janjinya dulu sebelum terpilih

Mugkin dengan begitu dia bisa membeli beras lagi
Dan sebatang ikan asin yang dijual tukang sayur di pinggir rel kereta api

Biarlah pagi ini gundah hatinya masih tersisa
Barangkali itu hanya ujian dari Pencipta getah
Untuk dirinya yang hampir sampai di perhentian jalan
Agar dia tak lupa kemana jalan pulang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun