Mohon tunggu...
Amilatur Rohma
Amilatur Rohma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Physics Student | Content Writer | Social Media Enthusiast

A Marketer who enthusiasting on writing. Menulis untuk menyampiakan hal yang tak mampu diucapkan oleh lisan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menilik Keunikan Paciran Part 1: Dari Kawasan Pesisir hingga Ikon Wisata Kebanggaan Lamongan

18 Januari 2022   22:32 Diperbarui: 26 Januari 2022   01:50 3146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Malam di Pesisir Paciran (dokumentasi penulis)

“Kamu orang mana?” 

“Saya dari Lamongan, kak”.

“Oh, Lamongan mana?” 

“Solokuro, kak”.

“Waduh, dimana itu, baru denger”.

Barangkali percakapan diatas adalah kejadian yang sering saya alami ketika ditanya tentang asal daerah saya. Solokuro adalah salah satu kecamatan di Lamongan. 

Letaknya yang jauh dari pusat kota dan fasilitas-fasilitas umum popular barangkali menjadi alasan kurang bersahabatnya nama ini di telinga masyarakat. Sebuah ide pun muncul, bagaimana jika saya mengatakan berasal dari Paciran, kecamatan yang bersebelahan langsung dengan Solokuro. 

Menariknya, kebanyakan mereka ternyata tahu Paciran, bahkan yang bersangkutan bukan orang asli Jawa Timur, khususnya daerah Keresidenan Bojonegoro (Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Jombang, Mojokerto). Keisengan saya pun berlanjut. Bagaimana mungkin Paciran begitu dikenal.    

Kecamatan Paciran terletak di jalur utama Pantura, yang menghubungkan Surabaya dan Semarang. Kalau ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang lebih 2 jam dari arah Utara Surabaya. 

Wilayah kecamatan Paciran sebelah timur berbatasan langsung dengan Kecamatan Panceng, yang sudah masuk Kabupaten Gresik, sebelah selatan dengan Kecamatan Solokuro, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Brondong. Cukup strategis.

Bersekolah di Paciran membuat saya sedikit tahu dan mengamati keadaan dan kebiasaan orang sana. Masyarakatnya banyak mengandalkan hasil laut dan perdagangan sebagai mata pencaharian, rumah-rumah berjejeran begitu padat, deru ramai suara klakson, rem dan mesin kendaraan saling bersahut-sahutan hingga suara ombak laut menjadi gambaran suasana sehari-hari. 

Bagi beberapa rumah tangga di kawasan Gang Ikan Duyung, anak-anak bekerja sebagai buruh pengupas kepiting (rajungan) sepulang sekolah. Pola interaksi masyarakat Paciran harus diakui sangat dinamis. 

Selama bertahun-tahun mereka sangat tergantung pada potensi yang dimiliki, yaitu laut. Sumber daya alam laut yang terbuka dan tidak ada klaim atas kepemilikan laut kemudian memicu pola kompetisi antar nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapannya masing-masing. Kompetisi yang berada di laut akhirnya berdampak pada kehidupan masyarakat nelayan ketika berada di daratan. 

Dari cara berkomunikasi dan pola pikir, dialektika masyarakat terasa begitu hidup dan bergairah. Apalagi kehidupan di pesisir mendatangkan peluang masuknya penduduk dan individu baru yang berasal dari luar daerah itu. Sebagai contoh adalah Gresik, Tuban dan Surabaya.

Potret perahu pencari ikan milik nelayan di Paciran (dokumentasi penulis)
Potret perahu pencari ikan milik nelayan di Paciran (dokumentasi penulis)

Kehidupan sosial-kebudayaan masyarakat Paciran dan sekitarnya sangat terpengaruh oleh kehidupan keagamaan dan keadaan tipologi yang ada di sana. Keduanya membentuk sebuah akulturasi budaya dengan kebudayaan lokal yang telah ada sebelumnya. Hasil akulturasi itu hingga kini dapat kita saksikan melalui infrastruktur simbol-simbol agama seperti masjid dan makam. 

Keberadaan para wali dan beberapa tokoh besar keagamaan di Paciran menjadikan Lamongan sebagai salah satu basis kekuatan Islam di Jawa Timur. Masjid masih menjadi sarana pemersatu dan basis kekuatan utama umat di Paciran.

Beberapa tahun terakhir, infrastruktur mulai dari jalan, bangunan umum hingga wisata kian menggeliat maju. Tak dapat dipungkiri, keuntungan lain dari kawasan pesisir adalah jalannya roda pekonomian dari sektor wisata. 

Dibandingkan dengan awal tahun 2016 saat saya mulai berhijrah untuk sekolah, Paciran tidak seramai kini. Jika dahulu hanya fasilitas berlibur seperti Wisata Bahari Lamongan (WBL), Maharani Zoo Lamongan (Mazola) dan wisata religi Makam Sunan Drajad yang paling ikonik, kini sektor wisata dengan konsep kekinian dan anak muda lebih banyak mendominasi. 

Di sepanjang Jalan Raya Deandles, jalan raya sepanjang pesisir utara banyak dijumpai kafe-kafe dan kedai belanja yang menawarkan banyak fasilitas seperti spot foto, free wifi dan tentunya pemandangan ciamik khas laut pantai utara. 

Hal ini tentunya bukan hal baru mengingat Paciran adalah wilayah dengan penduduk padat dan mobilitas tinggi. Masyarakatnya tidak hanya bekerja pada sektor perikanan, namun juga transportasi dan perdagangan lintas daerah.

Paciran tentunya punya banyak potensi. Letaknya yang berbatasan langsung dengan laut, menjadikan pembangunan infrastruktur yang banyak berkembang dan menjanjikan adalah wisata. Hal itu bukan hanya karena didukung topografi kaum milenial, namun Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Lamongan juga mengakomodasi tempat-tempat potensial untuk ditetapkan sebagai objek wisata. 

Selain kafe dan warung-warung lesehan ikonik yang sudah ada seperti rujak Mak Tas dan angkringan kopi, belakangan saya dikejutkan dengan banyaknya bangunan-bangunan baru dan tata kelola tempat yang dulunya kumuh disulap menjadi objek wisata yang benar-benar baru. 

Sebut saja di kawasan barat ada Pantai Kutang dan Pantai WBA (Wisata Boom Anyar), bergeser ke timur ada Pantai Pengkolan dan AOLA café, beranjak ke timur lagi ada Pantai Lorena dan objek wisata baru Taman Kuliner Paciran (TKP) serta paling timur ada Pantai Klayar. 

Satu lagi, objek wisata kegamaan baru di jantung Kecamatan Paciran yaitu Masjid At-Taqwa, sekaligus bukti transformasi masjid sebagai sarana pemersatu umat Islam.

Desain interior langit-langit di Masjid At-Taqwa, Paciran (dokumentasi penulis)
Desain interior langit-langit di Masjid At-Taqwa, Paciran (dokumentasi penulis)
Dewasa ini, mulai muncul institusi yang berlabel keagamaan semakin menunjukkan taringnya di Paciran selain dua kutub organisasi massa berbasis agama terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ (NU). Bukan tanpa alasan mengingat banyak sekali organisasi religius yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan Islam di pesisir Lamongan. Alhasil, budaya yang dihasilkan tidak satu jenis Islam saja, melainkan banyak aliran di dalamnya. 

Keberadaannya bukan hanya berdampak pada pola kehidupan sosial saja, namun lembaga-lembaga tesebut gigih menyumbangkan ide dalam pendidikan, salah satunya adalah dengan mendirikan pesantren. Tak heran, Paciran memiliki banyak pesantren.

Selain pesantren, infrastruktur keagaaman yang sangat banyak kita jumpai adalah masjid. Salah satu masjid besar dan megah yang berdiri adalah Masjid At-Taqwa. Masjid ini menggantikan bangunan masjid lawas yang dirubuhkan dan kini menjadi lahan parkir. 

Berkat renovasi pembangunannya, Masjid At-Taqwa kini tidak hanya menjadi tempat beribadah namun juga objek wisata baru. Suasana masjid dengan konsep timur tengah ditambah pemandangan sejuk laut menambah daya tarik tersendiri.  

Transformasi wajah baru masjid At-Taqwa tidak memakan waktu lama, hanya butuh waktu sekitar 1-2 tahun. Relevan sekali dengan karakter masyarakatnya yang ulet dan dinamis. Setiap hari, puluhan hingga ratusan jamaah dari berbagai daerah singgah ke Masjid At-Taqwa baik untuk melaksanakan ibadah atau sekedar berkunjung untuk menikmati keindahan bangunannya.

Masjid memiliki peran strategis. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari masjid sering diartikan sebagai bangunan untuk shalat untuk umat islam, namun dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini, masjid dapat difungsikan secara kompleks untuk sarana kegiatan kemasyarakatan. 

Sejarah menunjukkan bahwa masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah tidak hanya berfungsi untuk sarana ibadah, namun juga sebagai pusat pendidikan, pengkajian keagamaan, militer dan kegiatan sosial ekonomi. Hal yang sama dilakukan oleh pengurus Masjid At-Taqwa yang dikenal juga sebagai Masjid Perdamaian. 

Satu hal menarik adalah bahwa tidak ada perbedaan golongan, jabatan dan organisasi ketika sudah di masjid. Masjid adalah simbol perdamaian. Tidak ada kegaduhan, yang ada hanya ketenangan dan rasa persatuan yang kuat. Adanya transformasi masjid At-Taqwa ini mampu mempersatukan umat Islam dari berbagai daerah dan tentunya simbol kebanggaan Indonesia.

Referensi :

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 326.

Robert W. Hefner. Geger Tengger.(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 25.

ndangcerung.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun