Bersekolah di Paciran membuat saya sedikit tahu dan mengamati keadaan dan kebiasaan orang sana. Masyarakatnya banyak mengandalkan hasil laut dan perdagangan sebagai mata pencaharian, rumah-rumah berjejeran begitu padat, deru ramai suara klakson, rem dan mesin kendaraan saling bersahut-sahutan hingga suara ombak laut menjadi gambaran suasana sehari-hari.Â
Bagi beberapa rumah tangga di kawasan Gang Ikan Duyung, anak-anak bekerja sebagai buruh pengupas kepiting (rajungan) sepulang sekolah. Pola interaksi masyarakat Paciran harus diakui sangat dinamis.Â
Selama bertahun-tahun mereka sangat tergantung pada potensi yang dimiliki, yaitu laut. Sumber daya alam laut yang terbuka dan tidak ada klaim atas kepemilikan laut kemudian memicu pola kompetisi antar nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapannya masing-masing. Kompetisi yang berada di laut akhirnya berdampak pada kehidupan masyarakat nelayan ketika berada di daratan.Â
Dari cara berkomunikasi dan pola pikir, dialektika masyarakat terasa begitu hidup dan bergairah. Apalagi kehidupan di pesisir mendatangkan peluang masuknya penduduk dan individu baru yang berasal dari luar daerah itu. Sebagai contoh adalah Gresik, Tuban dan Surabaya.
Kehidupan sosial-kebudayaan masyarakat Paciran dan sekitarnya sangat terpengaruh oleh kehidupan keagamaan dan keadaan tipologi yang ada di sana. Keduanya membentuk sebuah akulturasi budaya dengan kebudayaan lokal yang telah ada sebelumnya. Hasil akulturasi itu hingga kini dapat kita saksikan melalui infrastruktur simbol-simbol agama seperti masjid dan makam.Â
Keberadaan para wali dan beberapa tokoh besar keagamaan di Paciran menjadikan Lamongan sebagai salah satu basis kekuatan Islam di Jawa Timur. Masjid masih menjadi sarana pemersatu dan basis kekuatan utama umat di Paciran.
Beberapa tahun terakhir, infrastruktur mulai dari jalan, bangunan umum hingga wisata kian menggeliat maju. Tak dapat dipungkiri, keuntungan lain dari kawasan pesisir adalah jalannya roda pekonomian dari sektor wisata.Â
Dibandingkan dengan awal tahun 2016 saat saya mulai berhijrah untuk sekolah, Paciran tidak seramai kini. Jika dahulu hanya fasilitas berlibur seperti Wisata Bahari Lamongan (WBL), Maharani Zoo Lamongan (Mazola) dan wisata religi Makam Sunan Drajad yang paling ikonik, kini sektor wisata dengan konsep kekinian dan anak muda lebih banyak mendominasi.Â
Di sepanjang Jalan Raya Deandles, jalan raya sepanjang pesisir utara banyak dijumpai kafe-kafe dan kedai belanja yang menawarkan banyak fasilitas seperti spot foto, free wifi dan tentunya pemandangan ciamik khas laut pantai utara.Â
Hal ini tentunya bukan hal baru mengingat Paciran adalah wilayah dengan penduduk padat dan mobilitas tinggi. Masyarakatnya tidak hanya bekerja pada sektor perikanan, namun juga transportasi dan perdagangan lintas daerah.