Mohon tunggu...
Amila Safira
Amila Safira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - lagi belajar

Bismillah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Legal Opinion Pernikahan beda agama

16 Oktober 2021   19:30 Diperbarui: 16 Oktober 2021   19:31 2539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujian Tengah Semester

Politik Hukum Islam Di Indonesia

Pendapat Hukum (legal opinion)

______________________________________________________________________________

Nama   : Amila Safira H

NIM    : S20191046/HK2

Dosen Pengampu : Basuki Kurniawan, M.H, M.H

Kasus :

Penetapan hukum pengadilan dalam pengizinan perkawinan beda agama menurut undang-undang perkawinan dan hukum islam.

Uraian Fakta :

Samuel Mahardika (pria) beragama hindu hendak melangsungkan pernikahan dengan Putri Julianti (wanita) beragama islam. Dari kedua belah pihak berkeinginan untuk melangsungkan pernikahan yang secara langsung ditolak oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Catatan Sipil Jember. Alasan KUA menolak adanya pernikahan tersebut karena pihak laki-laki beragama hindu sedangkan Kantor Catatan Sipil Jember menolak karena pihak perempuan yang beragama islam. Oleh karena itu mereka mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jember agar penolakan dari kedua instansi tersebut ditolak karena memberikan alasan yang tidak kuat.

Pembahasan :

Beragamnya  agama  dan  berbagai macam aliran  kepercayaan  yang ada di  Indonesia  tidak  menutup kemungkinan akan menimbulkan terjadinya  perkawinan  antar  pemeluk  agama  dan  aliran  kepercayaan, secara kontekstual adanya kehalalan menikahi ahli kitab dalam al Qur'an, di dorong Pasal 35  dan  penjelasannya,  serta Pasal 37 ayat  (1) Undang-Undang  Nomor 23  Tahun  2006 tentang  Administrasi Kependudukan  yang  secara  tidak  langsung  memberikan  peluang terjadinya perkawinan beda agama. Tetapi berbeda dengan fatwa MUI yang menyatakan bahwasanya pernikahan beda agama itu dilarang bahkan dihukumi haram. Di dalam hukum positif pun juga diterangkan adanya larangan pernikahan beda agama dan dinyatakan tidak sah baik itu secara langsung maupun tidak langsung yang terdapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Di Indonesia, secara  yuridis  formal,  perkawinan  di  Indonesia  diatur  dalam  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik  Indonesia  Nomor  1  Tahun  1991  tentang  Kompilasi  Hukum  Islam. Kedua  produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2  ayat  (1)  disebutkan:  "Perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan menurut  hukum masing-masing  agamanya  dan kepercayaannya  itu."

Dalam  rumusan  ini  diketahui  bahwa tidak  ada  perkawinan  di  luar  hukum  masing-masing  agama  dan  kepercayaan. Hal serupa juga diterangkan di dalam  beberapa Pasal dalam Instruksi  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor  1  Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:

Pasal  4:  "Perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan  menurut  hukum  Islam  sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan."

Pasal 40: Dilarang  melangsungkan perkawinan  antara seorang  pria  dengan  seorang wanita karena keadaan tertentu;

  • Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
  • Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
  • Seorang wanita yang tidak beragama islam

Pasal 44: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkanperkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam"

Pasal 61: "Tidak  sekufu  tidak  dapat  dijadikan  alasan  untuk  mencegah  perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien"

Dalam perspektif hukum islam pun pernikahan beda agama sangat-sangat ditekankan untuk dihindari bahkan dilarang. Di dalam al-qur'an diterangkan dengan jelas larangan orang islam menikah dengan orang musyrik yang terdapat dalam surah al-baqarah ayat 221 yang artinya : "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."

Larangan perkawinan dalam surah al-baqarah ayat 221 tersebut sangat jelas atas larangan yang Allah turunkan untuk kaum muslimin agar tidak menikahi atau menikahkan orang-orang musyrik.

Sedangkan laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi wanita muslimah sudah tidak ada kesamaan lagi. Seperti yang sudah diterangkan dalam qur-an surah al-mumtahanah ayat 10 dan al baqarah ayat 221. Maka Imam Ibnu Qodamah Al-Maqdisi menegaskan: "Dan tidak halal bagi  Muslimah menikah  dengan  lelaki  kafir,  baik  keadaanya  kafir  (ahli  kitab)  ataupun  bukan Kitabi." Karena Allah Ta'ala berfirman: Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman...." (al-Baqarah: 221).

Syaikh  Abu  Bakar  Al-Jazairy Hafidhahullah berkata,  "Tidak  halal  bagi  muslimah menikah  dengan  orang  kafir  secara  mutlak,  baik  Ahlul  Kitab  maupun bukan. Para  ulama mengemukakan  larangan  Muslimah  dinikahi  oleh  lalaki ahli  kitab atau  non-Muslim  itu sebagaian  cukup  menyebutkanya  dengan  lafal  musyrik  atau  kafir, karena  maknanya  sudah jelas: kafir itu mencakup ahli kitab dan musyrik. Di samping itu tidak ada ayat ataupun hadis yang  membolehkan  lelaki  kafir  baik ahli  kitab ataupun  musyrik  yang  boleh  menikahi Muslimah  setelah  turun  ayat  10  Surat  Al-Mumtahanah.

Al-Imam  Al-Qurthubi berkata, "Jangan menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan umat ini telah berijma' bahwa laki-laki  musyrik  itu  tidak  boleh  menggauli wanita  mukminah,  bagaimanapun  bentuknya,  karena  perbuatan  itu  merupakan  panghinaan terhadap Islam. Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma') bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir.

Di  samping  itu  ada  keputusan  Musyawarah  Nasional  ke  II  Majelis Ulama  Indonesia (MUI) No.05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan Beda agama Umat Beragama, bahwa:

  • Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumnya.
  • Seorang  laki-laki  muslimah  diharamkan  mengawini  wanita  bukan  muslimah.

Tentang perkawinan  antara  laki-laki  muslimah  dengan  wanita ahli  kitab terdapat  perbedaan pendapat. Setelah  mempertimbangkan  bahwa  mafsadahnya  lebih  besar  daripada  maslahatnya, maka  MUI  memfatwakan  perkawinan  tersebut haram  hukumnya. Dengan  adanya  farwa ini maka  Majelis  Ulama  Indonesia  mengharapkan  agar  seorang  pria Islam  tidak  boleh  kawin dengan wanita non Islam kareka haram hukumnya.

Pendapat Hukum (Legal Opinion) :

Beberapa pendapat mengenai pernikahan beda agama yaitu :

  • Perkawinan beda agama merupakan salah satu pelanggaran terhadap pasal 2 ayat (1) jo. Pasal huruf f UU No. 1 Tahun 1974
  • Perkawinan beda agama ini sama sekali tidak diatur bahkan tidak dianjurkan dalam UU No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 No. 1 Tahun 1974 permasalahan mengenai perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan-peraturan perkawinan campuran yaitu GHR karena belum diatur dalam UU Perkawinan.
  • Saat ini perkawinan beda agama bukan lagi disebut sebagai perkawinan campuran seperti yang ada pada GHR, akan tetapi secara de facto dan de jure merupakan kasus yang keabsahannya masih ada peluang untuk melakukan penafsiran secara pluralistic. Disebut pluralistik karena undang-undang tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak mengatur perkawinan dari orang-orang yang beda agama. Maka dari di dalam pasal tersebut tidak ada ketentuan yang mengatur sahnya perkawinan beda agama. Akibat dari permasalahan sah tidaknya perkawinan beda agama akan sangat berpengaruh dari perspektif aturan-aturan agama yang ada didalam hukum islam tersebut.

Penetapan hukum dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa :

  • Kedua mempelai telah mencapai usia 21 tahun yang mana jika melangsungkan pernikahan tidak perlu adanya perizinan orangtua. Selain itu orangtua dari pihak wanita (Putri Julianti) mengizinkan anaknya untuk menikah dengan Samuel Mahardika.
  • Dikarenakan kedua belak pihak berbda agama yang satu beragama hindu dan yang satu beragama islam makan jelas tidak mungkin diadakan pernikahan di KUA, oleh karena itu KUA menolak dengan pengajuan pernikahan tersebut
  • Dengan diajukannya permohonan untuk melangsugkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil Jember harus dijelaskan bahwa Samuel Mahardika hendak melangsungkan perkawinan tidak secara islam. Samuel Mahardika tidak lagi mempermasalahkan status agama dari calon mempelai wanita sehingga pasal 8 huruf f undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan untuk melanjutkan pernikahan beda agama ini. Karena Kantor Catatan Sipil hanya satu-satunya tempat yang dapat dijadikan tempat berlangsungnya perkawinan beda agama ini.

Jika masih terdapat penolakan maka dapat dilakukan beberapa cara berikut untuk tetap dapat melangsungkan pernikahan yaitu :

Pertama,

Salah satu  pihak  dapat  melakukan  perpindahan agama baik itu dari pihak Samuel Mahardika (pria) atau dari Putri Julianti (wanita),  namun  ini  dapat  berarti  penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No.1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan. Namun  setelah  perkawinan  berlangsung  masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.

Kedua,

Berdasarkan   Putusan   MA No.1400   K/Pdt/1986   Kantor   Catatan   Sipil diperkenankan  untuk   melangsungkan  perkawinan  beda  agama. Kasus  ini  bermula  dari perkawinan  yang  hendak  dicatatkan  oleh Lidya  Kandau (perempuan/Kristen)  dengan  Jamal Mirdad  (laki-laki/Islam. Dalam  putusannya  MA menyatakan  bahwa  dengan  pengajuan

pencatatan  perkawinan  di  KCS  Jamal  Mirdad  maka  telah  tidak menghiraukan  peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya   tidak   dilangsungkan   menurut   agama   Islam. Dengan  demikian,   mereka berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan tersebut.

Secara a contrario maka   KUA   wajib   melangsungkan   perkawinannya,   karena perempuan yang  beragama  Nasrani  tidak  lagi   menghiraukan  statusnya  yang beragama Nasrani.

Oleh karena itu melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh hukum Islam yang terkait dengan perkawinan.

Dengan  demikian,  dari  semula  pasangan  yang  berbeda  agama  tidak perlu  melakukan penyelundupan    hukum    dengan    mengganti    agama    untuk    sementara,    namun    bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama.

Di Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki berbagai macam agama di dalamnya, jadi tidak dapat di jadikan permasalahan yang serius dengan adanya pernikahan beda agama. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang islam maka hal itu sangat tidak disarankan bahkan dilarang keras. Tetapi di dalam hukum positif Indonesia hal tersebut tidak dipermasalahkan secara tegas. Namun dari aturan-aturan yang ada di Indonesia melihat Indonesia merupakan negara non sekuler maka di Indonesia tidak dapat dilangsungkan dengan adanya pernikahan beda agama.

Sumber :

Peraturan Pemerintah Pelaksanaan   Undang-Undang   Nomor   1  Tahun   1974   tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang  Nomor 1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan,  Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050.

Undang-Undang  Perkawinan, Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan, Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1974  Nomor  1, Tambahan  Lembaran Negara Nomor 3019.

Melida,  Djaya  S. Masalah  Perkawinan  Antar  Agamadan  Kepercayaan  di  Indonesia  dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Vrana Widya Darma, 1988.

Sosroatmodjo, Arso, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, Cet. Ke-2.

Subadio, Maria Ulfa. Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan. Jakarta: Idaya, 1981.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun