Syaikh  Abu  Bakar  Al-Jazairy Hafidhahullah berkata,  "Tidak  halal  bagi  muslimah menikah  dengan  orang  kafir  secara  mutlak,  baik  Ahlul  Kitab  maupun bukan. Para  ulama mengemukakan  larangan  Muslimah  dinikahi  oleh  lalaki ahli  kitab atau  non-Muslim  itu sebagaian  cukup  menyebutkanya  dengan  lafal  musyrik  atau  kafir, karena  maknanya  sudah jelas: kafir itu mencakup ahli kitab dan musyrik. Di samping itu tidak ada ayat ataupun hadis yang  membolehkan  lelaki  kafir  baik ahli  kitab ataupun  musyrik  yang  boleh  menikahi Muslimah  setelah  turun  ayat  10  Surat  Al-Mumtahanah.
Al-Imam  Al-Qurthubi berkata, "Jangan menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan umat ini telah berijma' bahwa laki-laki  musyrik  itu  tidak  boleh  menggauli wanita  mukminah,  bagaimanapun  bentuknya,  karena  perbuatan  itu  merupakan  panghinaan terhadap Islam. Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma') bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir.
Di  samping  itu  ada  keputusan  Musyawarah  Nasional  ke  II  Majelis Ulama  Indonesia (MUI) No.05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 Juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan Beda agama Umat Beragama, bahwa:
- Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumnya.
- Seorang  laki-laki  muslimah  diharamkan  mengawini  wanita  bukan  muslimah.
Tentang perkawinan  antara  laki-laki  muslimah  dengan  wanita ahli  kitab terdapat  perbedaan pendapat. Setelah  mempertimbangkan  bahwa  mafsadahnya  lebih  besar  daripada  maslahatnya, maka  MUI  memfatwakan  perkawinan  tersebut haram  hukumnya. Dengan  adanya  farwa ini maka  Majelis  Ulama  Indonesia  mengharapkan  agar  seorang  pria Islam  tidak  boleh  kawin dengan wanita non Islam kareka haram hukumnya.
Pendapat Hukum (Legal Opinion) :
Beberapa pendapat mengenai pernikahan beda agama yaitu :
- Perkawinan beda agama merupakan salah satu pelanggaran terhadap pasal 2 ayat (1) jo. Pasal huruf f UU No. 1 Tahun 1974
- Perkawinan beda agama ini sama sekali tidak diatur bahkan tidak dianjurkan dalam UU No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 No. 1 Tahun 1974 permasalahan mengenai perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan-peraturan perkawinan campuran yaitu GHR karena belum diatur dalam UU Perkawinan.
- Saat ini perkawinan beda agama bukan lagi disebut sebagai perkawinan campuran seperti yang ada pada GHR, akan tetapi secara de facto dan de jure merupakan kasus yang keabsahannya masih ada peluang untuk melakukan penafsiran secara pluralistic. Disebut pluralistik karena undang-undang tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak mengatur perkawinan dari orang-orang yang beda agama. Maka dari di dalam pasal tersebut tidak ada ketentuan yang mengatur sahnya perkawinan beda agama. Akibat dari permasalahan sah tidaknya perkawinan beda agama akan sangat berpengaruh dari perspektif aturan-aturan agama yang ada didalam hukum islam tersebut.
Penetapan hukum dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa :
- Kedua mempelai telah mencapai usia 21 tahun yang mana jika melangsungkan pernikahan tidak perlu adanya perizinan orangtua. Selain itu orangtua dari pihak wanita (Putri Julianti) mengizinkan anaknya untuk menikah dengan Samuel Mahardika.
- Dikarenakan kedua belak pihak berbda agama yang satu beragama hindu dan yang satu beragama islam makan jelas tidak mungkin diadakan pernikahan di KUA, oleh karena itu KUA menolak dengan pengajuan pernikahan tersebut
- Dengan diajukannya permohonan untuk melangsugkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil Jember harus dijelaskan bahwa Samuel Mahardika hendak melangsungkan perkawinan tidak secara islam. Samuel Mahardika tidak lagi mempermasalahkan status agama dari calon mempelai wanita sehingga pasal 8 huruf f undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan untuk melanjutkan pernikahan beda agama ini. Karena Kantor Catatan Sipil hanya satu-satunya tempat yang dapat dijadikan tempat berlangsungnya perkawinan beda agama ini.
Jika masih terdapat penolakan maka dapat dilakukan beberapa cara berikut untuk tetap dapat melangsungkan pernikahan yaitu :
Pertama,
Salah satu  pihak  dapat  melakukan  perpindahan agama baik itu dari pihak Samuel Mahardika (pria) atau dari Putri Julianti (wanita),  namun  ini  dapat  berarti  penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No.1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan. Namun  setelah  perkawinan  berlangsung  masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
Kedua,