Pembahasan :
Beragamnya  agama  dan  berbagai macam aliran  kepercayaan  yang ada di  Indonesia  tidak  menutup kemungkinan akan menimbulkan terjadinya  perkawinan  antar  pemeluk  agama  dan  aliran  kepercayaan, secara kontekstual adanya kehalalan menikahi ahli kitab dalam al Qur'an, di dorong Pasal 35  dan  penjelasannya,  serta Pasal 37 ayat  (1) Undang-Undang  Nomor 23  Tahun  2006 tentang  Administrasi Kependudukan  yang  secara  tidak  langsung  memberikan  peluang terjadinya perkawinan beda agama. Tetapi berbeda dengan fatwa MUI yang menyatakan bahwasanya pernikahan beda agama itu dilarang bahkan dihukumi haram. Di dalam hukum positif pun juga diterangkan adanya larangan pernikahan beda agama dan dinyatakan tidak sah baik itu secara langsung maupun tidak langsung yang terdapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Di Indonesia, secara  yuridis  formal,  perkawinan  di  Indonesia  diatur  dalam  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik  Indonesia  Nomor  1  Tahun  1991  tentang  Kompilasi  Hukum  Islam. Kedua  produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2  ayat  (1)  disebutkan:  "Perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan menurut  hukum masing-masing  agamanya  dan kepercayaannya  itu."
Dalam  rumusan  ini  diketahui  bahwa tidak  ada  perkawinan  di  luar  hukum  masing-masing  agama  dan  kepercayaan. Hal serupa juga diterangkan di dalam  beberapa Pasal dalam Instruksi  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor  1  Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:
Pasal  4:  "Perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan  menurut  hukum  Islam  sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan."
Pasal 40: Dilarang  melangsungkan perkawinan  antara seorang  pria  dengan  seorang wanita karena keadaan tertentu;
- Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
- Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
- Seorang wanita yang tidak beragama islam
Pasal 44: "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkanperkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam"
Pasal 61: "Tidak  sekufu  tidak  dapat  dijadikan  alasan  untuk  mencegah  perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien"
Dalam perspektif hukum islam pun pernikahan beda agama sangat-sangat ditekankan untuk dihindari bahkan dilarang. Di dalam al-qur'an diterangkan dengan jelas larangan orang islam menikah dengan orang musyrik yang terdapat dalam surah al-baqarah ayat 221 yang artinya : "Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."
Larangan perkawinan dalam surah al-baqarah ayat 221 tersebut sangat jelas atas larangan yang Allah turunkan untuk kaum muslimin agar tidak menikahi atau menikahkan orang-orang musyrik.
Sedangkan laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi wanita muslimah sudah tidak ada kesamaan lagi. Seperti yang sudah diterangkan dalam qur-an surah al-mumtahanah ayat 10 dan al baqarah ayat 221. Maka Imam Ibnu Qodamah Al-Maqdisi menegaskan: "Dan tidak halal bagi  Muslimah menikah  dengan  lelaki  kafir,  baik  keadaanya  kafir  (ahli  kitab)  ataupun  bukan Kitabi." Karena Allah Ta'ala berfirman: Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman...." (al-Baqarah: 221).