Mohon tunggu...
amie retna wulan dewi
amie retna wulan dewi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Saya seorang wiraswasta yang semula menjadi karyawan swasta. Hobi saya menulis, membaca, dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kurban Dikalahkan oleh "Kebendaan"

21 Agustus 2018   05:35 Diperbarui: 21 Agustus 2018   06:14 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Raya Idul Adha yang akan dirayakan oleh seluruh Umat Muslim di seluruh dunia pada esok hari, sering disebut Hari Raya "Haji", atau yang akrab juga disebut Hari Raya "Qurban". Hari tsb bertepatan dengan dilakukannya Wukuf di padang Arafah oleh Umat Muslim yang melaksanakan Ibadah Haji di Mekah, sekaligus pelaksanaan ibadah qurban, yaitu memotong hewan qurban sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Hewan tsb berupa sapi, unta, kambing, atau domba. 

Namun di Indonesia, hewan yang lazim dijadikan hewan qurban adalah sapi, kambing, atau domba. Kita tentu telah sering mendengar bagaimana "Sejarah Qurban" tsb, yang merupakan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim A.S dan putranya Nabi Ismail A.S, sebagai bentuk keimanan, ketaatan, dan cinta kepada Allah SWT yang menguji mereka berdua. Hingga akhirnya Allah SWT pun memberikan pertolongan langsung kepada mereka berdua. Kisah mereka berdua merupakan "cikal bakal" ditentukannya kewajiban ibadah qurban bagi Umat Muslim yang beriman dan mampu untuk melaksanakannya.

Disini saya ingin fokus membahas mengenai "qurban". Bila ibadah Haji memerlukan persiapan yang cukup banyak (bukan hanya keimanan atau ketaatan, namun juga materi yang tidak sedikit, persiapan fisik dan mental, juga "daftar tunggu" yang panjang, terutama di Indonesia), bagaimana dengan ibadah qurban? Sejatinya ibadah qurban memiliki esensi dan fungsi bagi umat Islam, bukan hanya sebagai bentuk keimanan dan ketaatan terhadap Allah SWT, juga sebagai aplikasi semangat berbagi serta bentuk solidaritas dan kepedulian sosial terhadap sesama yang tidak mampu, sehingga mampu mempererat tali silaturahmi juga mempersempit jurang antara "Si Kaya" dan "Si Miskin".

Ada "Fenomena" unik bahkan terkesan aneh di Indonesia mengenai qurban ini. Yang pertama soal "antrian panjang" mendapatkan hewan qurban. Bagi orang-orang miskin atau tidak mampu yang penghasilannya tidak seberapa, bisa makan "enak" dengan daging sapi, kambing, atau domba bisa dibilang hal yang 'langka'. 

Bagi mereka, asal bisa makan nasi dengan lauk seadanya misalnya tempe, tahu, atau gorengan saja sudah cukup. Karena itu di momen Idul Adha atau Idul Qurban tsb, bagi mereka seperti "mendapat rejeki nomplok", yang jarang-jarang mereka dapatkan. Seringkali mereka harus berjuang dengan cara "berburu" ke tempat-tempat yang terdapat pembagian hewan qurban dan rela mengantri panjang atau berdesak-desakan untuk mendapatkan "jatah" daging qurban. Bahkan tak sedikit dari mereka yang berburu daging qurban dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mendapatkan satu kantong kresek kecil berisi daging qurban tsb. Bila orang-orang yang memang secara ekonomi tidak mampu mungkin hal tsb cukup wajar adanya.

Namun ternyata, bukan hanya orang tak "mampu" saja yang rela melakukan hal tsb, melainkan orang yang kondisi ekonominya bisa dibilang mampu(memiliki rumah sendiri yang cukup bagus, perabotan yang lengkap, barang-barang elektronik yang mahal, perhiasan emas, dan kendaraan pribadi seperti motor) tak mau kalah untuk berburu tempat pembagian qurban. Dan demi menutupi kondisi ekonomi mereka yang sebenarnya, mereka pun "menyamar" dengan memakai baju yang lusuh dan penampilan yang kotor, agar tidak dicurigai oleh warga yang mengenal mereka. 

Terlepas dari apapun alasan atau latar belakang mereka melakukan hal itu, rentu "Fenomena" tsb bisa dibilang cukup miris. Bagaimana bisa orang-orang yang secara ekonomi mampu untuk berqurban, namun tidak mau melakukannya dan malah ikut mengantre daging qurban bahkan sampai "menyamar" segala. Entah karena kurangnya pendidikan, atau kurangnya pemahaman agama, namun orang-orang tsb terbiasa melakukan hal itu seolah tidak ada yang salah. 

Fenomena lainnya adalah seputar orang yang bisa dibilang "kaya raya"(kondisinya jauh di atas orang mampu yang "menyamar" di tempat antrian daging kurban tadi) yang memiliki semua materi yang cukup melimpah termasuk mobil pribadi, namun mereka belum pernah berqurban. Bila ditanya alasannya kenapa, mereka jawab karena masih banyakhutang terutama cicilan barang termasuk kendaraan, rumah, dsb sehingga mereka belum "mampu" untuk berqurban. Hal ini tentu sangat ironis. Padahal untuk menyediakan DP sebuah mobil kreditan yang jumlahnya puluhan juta mereka mampu, namun menyisihkan uang untuk membeli hewan qurban minimal kambing yang harganya kurang dari dua juta, mereka ternyata tak mampu.

Tentu hal ini bertolak belakang dengan berbagai kisah dari orang-orang yang secara ekonomi jauh dari kata "mampu", namun mereka mampu untuk berqurban. Misalnya beberapa tahun lalu ada seorang ibu yang merupakan seorang pemulung yang tinggal di sebuah "gubug" sederhana yang tak ada barang mewah apapun di dalamnya, namun ia mampu berqurban seekor kambing. 

Penghasilannya yang tidak seberapa selain ia gunakan untuk makan dan kebutuhan lainnya, juga ia sisihkan setiap hari untuk membeli hewan qurban karena ia sudah berniat dan bertekad ingin berqurban. Hal ini tentu sangat mengharukan! Wajahnya pun terlihat sangat senang dan ikhlas. Tentu hal tsb merupakan sebuah hal yang "luar biasa" bagi orang yang kondisi ekonominya justru terlihat memprihatinkan.

Lain halnya dengan orang yang "super kaya" yang dicirikan dengan barang-barang "banded", mobil mewah yang harganya selangit, atau jalan-jalan ke luar negeri hampir setiap bulan, berqurban seekor sapi tentu hal yang terlihat biasa saja, dan malah terkesan "kurang" dari semestinya, karena gaya hidup mereka pun memerlukan biaya besar yang jauh melebihi dari harga seekor sapi! 

Di zaman yang serba maju dan global seperti saat ini memang memberi dampak yang luar biasa bagi masyarakat kita, termasuk pada pola pikir dan obsesi pribadi masing-masing individu, yang cenderung ber"orientasi" pada materi atau hal yang bersifat "kebendaan". Hal tsb membuat "prestise" atau kebanggaan diri terhadap materi mengalahkan segalanya, termasuk soal ibadah kepada Sang Pencipta, dan juga berbagi dengan sesama. Masyarakat kita dipacu untuk bekerja keras dari pagi hingga malam, untuk mendapatkan materi yang berlimpah, misalnya uang yang banyak, rumah yang mewah, barang yang mahal, dan juga kendaraan pribadi yang bagus, meski harus dimiliki secara kredit. Hidup layak dan penghargaan dari orang lain seakan menjadi "target utama". 

Tentu tidak ada yang salah dengan hal tsb. Agama Islam pun tidak melarang Umatnya untuk kaya raya, bahkan sangat menganjurkan umatnya untuk bekerja keras dan menjadi orang kaya. Kemiskinan justru mendekatkan pada kekufuran. Namun tentu saja kekayaan tsb harus menjadikan manusia menjadi lebih taat dan bertakwa kepada Allah SWT, selain tentunya juga memberi "manfaat" bagi sesama yang kondisinya jauh di bawah atau tidak mampu. 

Bukan malah menumpuk-numpuk harta untuk kesenangan dan kebanggaan pribadi. Padahal dalam agama Islam sendiri telah diajarkan bahwa dalam harta yang kita miliki, ada hak untuk kaum dhuafa atau fakir miskin. Karena itulah Islam mengajarkan zakat, infak, sedekah, dan juga qurban untuk merepresentasikan hal tsb.

Masalah Ibadah memang masalah hati, yang tidak bisa dipaksakan. Semua tergantung dari niat yang tulus dan tekad yang kuat. Tanpa kedua hal tsb, rasanya sulit kita untuk melakukannya, termasuk untuk berqurban. Masalahnya bukan pada "kemampuan materi", melainkan pada "kemauan dan kesadaran pribadi". 

Tak jarang orang beralasan untuk apa beramal seperti bersedekah, untuk apa berqurban,  kalau tidak ikhlas dan terpaksa, tentu tidak akan menjadi pahala?! Masalahnya, bagaimana hati kita bisa ikhlas dalam beramal, bila tidak dipupuk dan dididik untuk melakukannya?! Jangan sampai hati menjadi "keras" dan "berkarat", hingga tak mampu menampung petuah dan nilai-nilai kebajikan, yang membuatnya tak mampu juga untuk melakukan kebajikan. Tentu kita sendiri yang akan merugi di hadapan Sang Pencipta, Allah SWT.

 Tidak ada UU yang mengatur soal qurban ini, namun tentu ajaran agama dan ketentuan Allah SWT seharusnya mampu menjadi "pemacu" kita untuk beribadah semaksimal mungkin tanpa memilih-milih ibadah mana yang sesuai dengan "selera" Kita. Dan hendaknya momentum "Idul Adha" yang didalamnya termasuk ibadah qurban selain ibadah Haji, kita gunakan untuk "merefleksi diri" sejauh mana kita telah beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, sekaligus memberi manfaat bagi orang lain, terutama orang yang tidak mampu. Wallahu alam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun