Hari Raya Idul Adha yang akan dirayakan oleh seluruh Umat Muslim di seluruh dunia pada esok hari, sering disebut Hari Raya "Haji", atau yang akrab juga disebut Hari Raya "Qurban". Hari tsb bertepatan dengan dilakukannya Wukuf di padang Arafah oleh Umat Muslim yang melaksanakan Ibadah Haji di Mekah, sekaligus pelaksanaan ibadah qurban, yaitu memotong hewan qurban sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Hewan tsb berupa sapi, unta, kambing, atau domba.Â
Namun di Indonesia, hewan yang lazim dijadikan hewan qurban adalah sapi, kambing, atau domba. Kita tentu telah sering mendengar bagaimana "Sejarah Qurban" tsb, yang merupakan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim A.S dan putranya Nabi Ismail A.S, sebagai bentuk keimanan, ketaatan, dan cinta kepada Allah SWT yang menguji mereka berdua. Hingga akhirnya Allah SWT pun memberikan pertolongan langsung kepada mereka berdua. Kisah mereka berdua merupakan "cikal bakal" ditentukannya kewajiban ibadah qurban bagi Umat Muslim yang beriman dan mampu untuk melaksanakannya.
Disini saya ingin fokus membahas mengenai "qurban". Bila ibadah Haji memerlukan persiapan yang cukup banyak (bukan hanya keimanan atau ketaatan, namun juga materi yang tidak sedikit, persiapan fisik dan mental, juga "daftar tunggu" yang panjang, terutama di Indonesia), bagaimana dengan ibadah qurban? Sejatinya ibadah qurban memiliki esensi dan fungsi bagi umat Islam, bukan hanya sebagai bentuk keimanan dan ketaatan terhadap Allah SWT, juga sebagai aplikasi semangat berbagi serta bentuk solidaritas dan kepedulian sosial terhadap sesama yang tidak mampu, sehingga mampu mempererat tali silaturahmi juga mempersempit jurang antara "Si Kaya" dan "Si Miskin".
Ada "Fenomena" unik bahkan terkesan aneh di Indonesia mengenai qurban ini. Yang pertama soal "antrian panjang" mendapatkan hewan qurban. Bagi orang-orang miskin atau tidak mampu yang penghasilannya tidak seberapa, bisa makan "enak" dengan daging sapi, kambing, atau domba bisa dibilang hal yang 'langka'.Â
Bagi mereka, asal bisa makan nasi dengan lauk seadanya misalnya tempe, tahu, atau gorengan saja sudah cukup. Karena itu di momen Idul Adha atau Idul Qurban tsb, bagi mereka seperti "mendapat rejeki nomplok", yang jarang-jarang mereka dapatkan. Seringkali mereka harus berjuang dengan cara "berburu" ke tempat-tempat yang terdapat pembagian hewan qurban dan rela mengantri panjang atau berdesak-desakan untuk mendapatkan "jatah" daging qurban. Bahkan tak sedikit dari mereka yang berburu daging qurban dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mendapatkan satu kantong kresek kecil berisi daging qurban tsb. Bila orang-orang yang memang secara ekonomi tidak mampu mungkin hal tsb cukup wajar adanya.
Namun ternyata, bukan hanya orang tak "mampu" saja yang rela melakukan hal tsb, melainkan orang yang kondisi ekonominya bisa dibilang mampu(memiliki rumah sendiri yang cukup bagus, perabotan yang lengkap, barang-barang elektronik yang mahal, perhiasan emas, dan kendaraan pribadi seperti motor) tak mau kalah untuk berburu tempat pembagian qurban. Dan demi menutupi kondisi ekonomi mereka yang sebenarnya, mereka pun "menyamar" dengan memakai baju yang lusuh dan penampilan yang kotor, agar tidak dicurigai oleh warga yang mengenal mereka.Â
Terlepas dari apapun alasan atau latar belakang mereka melakukan hal itu, rentu "Fenomena" tsb bisa dibilang cukup miris. Bagaimana bisa orang-orang yang secara ekonomi mampu untuk berqurban, namun tidak mau melakukannya dan malah ikut mengantre daging qurban bahkan sampai "menyamar" segala. Entah karena kurangnya pendidikan, atau kurangnya pemahaman agama, namun orang-orang tsb terbiasa melakukan hal itu seolah tidak ada yang salah.Â
Fenomena lainnya adalah seputar orang yang bisa dibilang "kaya raya"(kondisinya jauh di atas orang mampu yang "menyamar" di tempat antrian daging kurban tadi) yang memiliki semua materi yang cukup melimpah termasuk mobil pribadi, namun mereka belum pernah berqurban. Bila ditanya alasannya kenapa, mereka jawab karena masih banyakhutang terutama cicilan barang termasuk kendaraan, rumah, dsb sehingga mereka belum "mampu" untuk berqurban. Hal ini tentu sangat ironis. Padahal untuk menyediakan DP sebuah mobil kreditan yang jumlahnya puluhan juta mereka mampu, namun menyisihkan uang untuk membeli hewan qurban minimal kambing yang harganya kurang dari dua juta, mereka ternyata tak mampu.
Tentu hal ini bertolak belakang dengan berbagai kisah dari orang-orang yang secara ekonomi jauh dari kata "mampu", namun mereka mampu untuk berqurban. Misalnya beberapa tahun lalu ada seorang ibu yang merupakan seorang pemulung yang tinggal di sebuah "gubug" sederhana yang tak ada barang mewah apapun di dalamnya, namun ia mampu berqurban seekor kambing.Â
Penghasilannya yang tidak seberapa selain ia gunakan untuk makan dan kebutuhan lainnya, juga ia sisihkan setiap hari untuk membeli hewan qurban karena ia sudah berniat dan bertekad ingin berqurban. Hal ini tentu sangat mengharukan! Wajahnya pun terlihat sangat senang dan ikhlas. Tentu hal tsb merupakan sebuah hal yang "luar biasa" bagi orang yang kondisi ekonominya justru terlihat memprihatinkan.
Lain halnya dengan orang yang "super kaya" yang dicirikan dengan barang-barang "banded", mobil mewah yang harganya selangit, atau jalan-jalan ke luar negeri hampir setiap bulan, berqurban seekor sapi tentu hal yang terlihat biasa saja, dan malah terkesan "kurang" dari semestinya, karena gaya hidup mereka pun memerlukan biaya besar yang jauh melebihi dari harga seekor sapi!Â